PANDEMI


 

PANDEMI

Karya : Ahmad Tetsuya


 

Langit ini tak pernah berubah sejak hari itu, langit yang gelap menghalangi sinar mentari. Kesunyian kota yang sangat terasa, tak ada lagi kendaraan yang hailir mudik. Para anjing bebas berkeliaran mencari sisa-sisa makanan di tempat sampah. Jalanan penuh dengan sampah masker yang berceceran di jalanan.

Di kota yang sepi ini masih ada orang yang mencoba bertahan hidup. Mereka membentuk kelompok kecil agar dapat bertahan dari bencana ini. Namun, kelompok kami, aku tidak yakin dapat bertahan lebih lama lagi. Kami hanya sekumpulan remaja tanggung yang mencoba sekuat tenaga agar dapat bertahan. Mereka berjalan di tengah kota dengan suara gonggongan anjing dan teriakan kucing jalanan.

Saat berada di gang kecil, seorang pria dengan pakaian lusuh dan janggut tebal menahan perjalanan mereka.

“Hei kau, pria tinggi yang disana. Bolehkah aku sedikit meminta makanan mu? Aku belum memakan apapun sajak tiga hari terakhir, tolong berikan aku makanan”.

“Kak Delvin, sepertinya orang itu lapar”, kata Azkia sambil menggenggam tangan kakaknya itu. Delvin melihat wajah Azkia yang polos itu sambil berharap kalau kakaknya memberi sepotong roti kepada pria itu.

Dengan menghela napasnya ia berbalik menghadap pria itu, “Maaf pak, kami tidak bisa memberikan apapun kepada anda. Saya harap anda mengerti”.

“Tapi setidaknya sepotong roti saja. Tolonglah nak, hanya sepotong roti saja”.

“Maaf, tapi apakah anda tidak malu meminta makanan pada kami, yang jauh lebih muda dari anda? Seharusnya dengan tubuh itu anda bisa mencari makanan yang bahkan lebih banyak dari kami, jadi…maaf”.

Setelah mendengar jawaban dari Delvin, tubuh pria itu bergetar, air mata terus keluar, dan air liurnya juga. “Aku hanya meminta sepotong roti padamu, tapi, tapi, tapi… Kau…”, ia berlari ke arah kakak beradik itu.

Saat mengetahui mereka dalam bahaya, Delvin mencoba melindungi adiknya dengan memeluk Azkia. Sebelum pria itu dapat berhasil menghampiri kakak beradik itu, pria itu di tendang tepat pada bagian leher dengan kuat sehingga membuat pria itu jatuh pingsan seketika. Seseorang yang bertopeng dan menggunakan hoodie biru ke hitam-hitaman menyelamatkan mereka. Orang bertopeng itu melihat sejenak ke arah pria yang di tendangnya itu, lalu pergi berjalan ke arah Delvin dan Azkia. Ia membuka topengnya dan menyikap hoodienya, ternyata ia adalah seorang gadis cantik dengan rambut hitam dan  kebiru-biruan pada ujungnya.

“DELVIN! Kenapa kau selalu membahayakan Azkia yang masih polos ini? Kau ingin mati ya? Haa?”.

“Aku tidak membahayakan Azkia, aku mencoba melindunginya”.

“waaah, kak Safira kuat”. Kata Azkia dengan wajah polosnya, membuat Safira malu-malu sendiri.
    

Delvin jongkok dan memegang bahu Azkia sambil berkata, “Azkia, kakak ingin memberi tahu sesuatu pada Azkia. Sebenarnya kak Safira itu adalah seorang monst…”.

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Safira memukul kepala Delvin dengan cukup kuat sehingga membuatnya tidak sadarkan diri. Azkia langsung khawatir melihat kakaknya tidak sadarkan diri dengan mulut yang berbuih. Safira dan Azkia kembali berjalan menyusuri gang kecil itu, sambil menyeret tubuh Delvin yang tinggi itu. Karena mereka kelelahan menyeret Delvin, mereka berhenti di amperan sebuah toko yang sudah tutup.

Tak lama saat itu, Delvin terbangun karena mendengar suara gelak tawa Azkia dan Safira. Namun ia tidak mengingat apa yang membuatnya jatuh pingsan. Setelah itu mereka kembali berjalan menuju rumah mereka. Rumah dengan luas 16:9 meter ini merupakan rumah kediaman Delvin dan Azkia. Mereka bertiga masih bertahan di rumah itu walau hanya mereka yang tinggal di wilayah itu.

Malam hari tiba tanpa disadari oleh mereka. Walaupun sudah menjadi kota mati, listrik, air, dan sinyal internet masih mereka dapatkan. Malam Itu mereka hanya makan sepotong roti per orang, walau begitu Delvin dan Safira memberi setangah dari bagian mereka pada Azkia. Wajah bahagia terpancar dari Azkia kecil.

“Azkia, setelah makan mari kita mandi. Biar kakak yang mandiin Azkia dan Delvin  yang membersihkan ini”.

“yeey mandi bareng kak Safira, yeey”.

Setelah selesai menghabiskan roti itu, Azkia turun dari kursi dan langsung berlari menaiki tangga untuk mengambil handuk di kamarnya. Delvin dan Safira hanya tersenyum melihat tingkah lucu Azkia. Di meja makan yang hanya ada mereka berdua, terasa sangat canggung. Namun Delvin memulai pembicaraan.

“Kau tidak apa-apa Safira? Bukannya kau sudah berjanji untuk tidak akan menangis lagi?”

“Aku tidak menangis” kata Safira sambil mengusap air matanya yang hampir keluar.

“Aku hanya berpikir, betapa buruknya nasib Azkia bila terjadi sesuatu pada mu. Kau tahukan, pria tadi itu sudah terinfeksi? Bila aku kehilangan kalian berdua, maka aku…aku”.

Delvin langsung menghampiri Safira dan duduk di sebelahnya, ia menyandarkan kepala Safira di bahunya dan membiarkan Safira tenang.

“Delvin, berjanjilah kalau kau tidak akan meninggalkan aku, meninggalkan Azkia. Aku tidak ingin sendiri lagi, tolong berjanjilah kalau kita akan melalui ini bersama-sama”. Tatap safira penuh harap, tangannya merangkul Delvin sambil menempelkan wajahnya di dada Delvin. Delvin benar-benar tak menduga hal itu, namun ia membelai rambut panjang Safira dengan sangat lembut.

Azkia yang melihat Safira dan kakaknya sedang berpelukan, langsung berlari ke arah mereka sambil teriak “Azkia juga iiikuut” dan memeluk kaki Safira. Safira kaget langsung mengangkat kepalanya, namun kepala Safira dan dagu Delvin saling membentur.

“Kak Safira sedang ngapain sama kak Delvin? Azkia juga ikut dong”.

“Ya itu… lagi gak ngapa-ngapain kok Azkia” kata Safira dengan wajah yang memerah karena malu, sedangkan Delvin sibuk mengurusi dagunya yang terbentur kepala keras Safira. “Sudah, ayo kita mandi Azkia. Delvin jangan lupa bersihkan meja makannya ya”.

Safira pergi bersama Azkia ke kamar mandi dan Delvin sibuk membersihkan meja makan. Dalam hatinya dia berpikir kalau Safira itu mosnter dengan kepribadian ganda, ia cepat sekali mengubah sifatnya. Sedangkan di kamar mandi, Safira yang sedang berendam bersama Azkia di bathtub nampak melamun. Azkia sedang asik bermain dengan bebek karetnya melihat Safira yang melamun, Azkia kembali bermain bersama bebeknya kali ini sambil mengoceh.

“Bebek, bebek tau kenapa kak Safira sedih?” ia mendekatkan bebek yang di pegangnya ke telinganya. Ia mengangguk-angguk seolah bebek itu berbisik padanya, “Apa kak Delvin bertengkar dengan kak Safira?”. Safira yang mendengar perkataan Azkia kembali sadar dari lamunannya dan tidak membenarkan perkataan Azkia kecil.

“Tentu saja kakak tidak bertengkar dengan kak Delvin Azkia, walaupun kakak bertengkar dengannya itu tandanya kakak akrab dengan Delvin”.

“Begitu ya kak? Tapi Azkia senang melihat kak Safira dan kak Delvin bersama. Mirip dengan Ayah dan Bunda”.

Safira kaget sekaligus sedih mendengar perkataan anak kecil itu. Ia memeluk Azkia yang asik bermain dengan bebek dengan mata yang basah karena air mata. Selesai mandi dan berganti pakaiam, Safira mengantarkan Azkia ke tempat tidurnya.  Delvin menyaksikan di pintu dan Safira memberukan kecupan selamat malam kepada Azkia dan saat lampu di matikan, Azkia meminta kakaknya untuk menceritakan sebuah kisah pengantar tidur.

“Azkia, ini sudah larut lebih baik Azkia tidur sebelum di makan ikan tuna yan…” sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, Safira melototi Delvin dengan sangat menyeramkan. Ia pun menghampiri adik kecilnya itu dan duduk di ranjang, “Azkia mau di ceritakan cerita apa?”.

“Cerita dari buku ini” kata Azkia sambil memberikan buku itu pada Delvin.

“’Kau dan Aku Bertemu Di Dunia Abu-Abu’? Azkia mau mendengar cerita ini? Cerita ini kan tidak terlalu bagus untuk anak-anak”.

“Tapi, Azkia sudah besar. Iya kan kak Safira?”. Safira diam dan mengangguk, “Buktinya ada yang tumbuh di dada Azki…”

“Baiklah, ya akan kakak bacakan”. Delvin melihat ke arah Safira dan wajah Safira merah sekali karena malu.

Satu jam berlalu, dan semuanya yang ada di kamar itu tertidur selain Delvin. Azkia tertidur di pertengahan cerita, begitu pula Safira yang ikut mendengarkan cerita itu. Cuma Delvin yang menikmati cerita itu. Melihat Safira yang sudah tertidur pulas, ia menggendong Safira keluar dari kamar Azkia dan membaringkan Safira di kamarnya. Sebelum Delvin pergi keluar kamar, Safira terbangun dari tidurnya.

“Delvin…” Dengan suara lembut, Safira memanggil Delvin. Delvin menoleh ke arah Safira dan menghampirinya dan duduk di sebelah ranjangnya. “Kau tahu, apa yang di katakan Azkia kecil pada ku? Katanya aku mirip dengan Bundanya, dengan ibumu.”

“Ya. Kau terlihat mirip dengan bunda, Safira”.

“Lalu katanya, kau terlihat mirip seperti pak Farzan, yah itu wajar sih. Dan dia menganggap kita ayah dan ibunya. Ia merindukan pak Farzan dan buk Kiana, aku juga merindukan mereka”.

“Kita semua merindukan mereka Safira, kita semua.”

Suara jangkrik dan gonggongan anjing mengisi malam yang sunyi itu, Safira mencoba untuk menahan air matanya sambil menggenggam tangan Delvin. Dan Delvin mengusap rambut Safira yang hitam kebiru-biruan itu agar ia tenang. Tak lama setelah itu Safira tertidur, Delvin berusaha menarik tengannya yang di genggam Safira dengan perlahan. Di saat hampir berhasil, Safira kembali tersadar.

“Delvin, kumohon jangan pergi. Aku takut sendiri”. Tangan Safira gemetar karena takut.

Delvin pun memenuhi permintaan Safira, ia tetap di tempatnya sambil mengusap rambut Safira hingga ia tertidur. Setelah safira tertidur pulas, Delvin yang sudah mengantuk berat pergi memutari ranjang itu dan langsung tidur di sebelah Safira yang sudah tertidur lelap. Sebelum ia tertidur ia masih mengusap rambut Safira hingga ia akhirnya tertidur.

Malam itu benar-benar sunyi, malam hanya di isi oleh nyanyian katak yang memanggil hujan dan lolongan dari anjing jalanan. Tak ada suara gelak tawa yang biasanya mereka dengar dari para tetangga. Langit masih sama, tak pernah berubah. Tak panas atau tak hujan, selalu mendung berawan. Seolah memberi harapan, namun tak kunjung datang.

2 Tahun sebelumnya

"Delvin, Azkia, bangun nak waktunya sekolah." Teriak ibunya dari lantai satu, karena tidak ada suara sautan ia langsung pergi menghampiri anak-anaknya ke kamarnya. Langkah tegap terdengar menaiki tangga dan dengan cepat sampai ke lantai kedua. "DELVIN! Bangun sudah jam 9, kau tidak sekolah hah?"

"Lima menit lagi Bun" katanya dengan iler yang meluncur deras ke bantal. Ibunya yang jengkel mengambil nitendo swicth nya dan mengancamnya.

"Jika kau tidak bangun, maka kontroler game mu akan ibu sita sampai kau menikah".

Mendengar ancaman dari ibunya, Delvin langsung tersadar dan seketika berdiri di hadapan ibunya dan langsung melakukan sujud meminta maaf. Sedangkan Azkia yang masih tertidur sambil mengisap jempolnya di bawa turun oleh ayahnya. Azkia di dudukkan di kursi di meja makan, dan kakaknya turun bersama si Ibu. Mereka duduk di meja masing-masing, dan piring di bagikan ke semua anggota keluarga. Anak mereka yang masih setengah sadar, kini telah sadar sepenuhnya saat mencium aroma nasi goreng.

"Nah, mari sarapan dulu. Ini nasi goreng spesial dari Bunda, dalam rangka, Azkia yang sudah kelas 4 SD. Bunda goreng nasinya pakai band biru (ini bukan promosi ya) dan pakai bumbu royoko (sekali lagi ini tidak ada sponsor dalam cerita ini).

"Wah tidak terasa, anak Ayah sudah besar" sambil mengusap rambut Azkia yang kegirangan makan nasi goreng. "Bagaimana dengan mu Delvin? Apa kau sudah mengajak Safira pergi kencan?"

Delvin yang sedang mengunyah makanan saat itu juga langsung tersedak mendengar perkataan ayahnya. "A..a..apa yang ayah bicarakan? Aku dan Safira tidak punya hubungan yang spesial. Kami hanya... Hanya teman, ya teman". Wajah Delvin memerah karena malu, namun orang tuanya yang sudah berpengalaman paham dengan kondisi saat ini. Dalam hati mereka berdua berkata 'hoo, ternyata begitu'.

Delvin yang malu kembali menyantap nasi gorengnya begitu juga mereka semua menyantap sarapannya masing-masing dan hanya suara berita di televisi yang mengisi ruangan makan itu. Hari menunjukkan pukul setengah tujuh pagi Delvin dan Azkia bersiap-siap berangkat sekolah. Sekolah mereka tidak jauh dari rumah mereka. Setelah Delvin mengantarkan Azkia ke sekolah ia bertemu dengan Safira di perempatan dekat sekolah Azkia. Dan seperti biasa, mereka pergi ke sekolah bersama-sama.

Bel sekolah berbunyi tepat pada pukul 7:15 pagi. Semua pelaksanaan belajar mengajar berlangsung di sekolah itu. Di kelas Delvin mereka belajar mengenai pelajaran mikroorganisme. Namun ketika semua siswa memperhatikan dengan tekun penjelasan dari guru mereka, Cuma Delvin yang asik memandang cerahnya langit biru, burung-burung yang berterbangan, dan awan-awan yang mengambang indah di angkasa.

"Delvin. Psst Delvin, kau di panggil pak Ridwan" kata Safira yang kebetulan duduk di sebelah Delvin. Namun Delvin tak mendengar ucapan Safira dan asik melamun tinggi di angkasa. Sampai sebuah sebuah spidol snowman terbang melayang melewati para siswa dan tepat mengenai Delvin yang melamun di kursi belakang.

Sontak Delvin kaget dan kembali dari lamunannya. Berkat tindakannya ia dihukum dengan menulis sepuluh halaman penuh kalimat permintaan maaf. Pukul 13:00 waktu istirahat siang bagi para siswa. Delvin yang jarang bicara memiliki sedikit sekali teman, namun untungnya ia memiliki gadis cantik ini yang selalu menemaninya.

"Delvin, kamu tidak makan siang?" kata Safira sambil memainkan rambut Delvin.

"Aku lupa bawa uang jajan, padahal ibuku sudah meletakkannya di atas meja. Haaaaah hari ini aku sial sekali" katanya dengan suara putus asa sambil menyandarkan kepalanya di meja.

"Ooo begitu ya. Kalau kamu mau, kamu bisa makan bekal ku. Kebetulan sekali aku bangun pagi-pagi sekali dan aku memasak terlalu banyak. Dan kebetulan sekali aku membawa dua bekal. Jadi, kalau kamu mau kamu bisa makan bekalku" dengan pipi yang memerah Safira memberikan bekalnya pada Delvin.

Delvin mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Safira. Wajah Safira yang tersipu malu itu sangat cantik. Delvin mengambil bekal itu dengan tersipu malu juga. Sedangkan teman sekalas mereka hanya diam dan memperhatikan mereka sambil tersenyum dan laki-laki jones yang ada di kelas itu kelihatan marah karena mereka sangat iri pada Delvin yang dapat perhatian spesial dari perempuan tercantik di kelas.

Waktu istirahat selesai dan mereka kembali melanjutkan pembelajaran. Sisa hari itu terasa seperti biasa, tak ada banyak hal yang terjadi. Bel pukul 14:30 menandakan belajar mengajar telah berakhir, para sisiwa yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler pergi menjalankan kegiatan mereka. Safira yang ikut ekskul bela diri karate pergi ke gedung olahraga sekolah, sedangkan Delvin yang ikut ekskul pemograman pergi ke ruangannya.

Pukul 17:00 Bel berbunyi, menandakan kegiatan ekskul telah selesai dan semua siswa diharapkan untuk meninggalkan sekolah. Seperti biasa, Delvin dan Safira pulang bersama di karenakan rumah mereka saling berdekatan.

"Safira, kira-kira kapan ayahmu pulang? Kudengar dari cerita Ayah, ia mengerjakan megaproyek di Aceh. Kalau tak salah di Leuk...apa gitu".

"Di Lhokseumawe. Ya katanya ia akan pulang akhir Agustus ini". Wajah Safira berubah sedih setelah membahas ayahnya. Delvin merasa bersalah setelah melihat Safira menjadi sedih.

"Safira. Anu kalau kamu mau, bagaimana kalau malam ini kamu ikut makan malam dengan keluargaku. Anggap saja ini sebagai balas budi karena kau telah memperbolehkanku memakan bekalmu yang enak itu". Safira ingin menerima ajakan dari Delvin, namun masih ada keraguan di hatinya. " Maaf aku mengajakmu secara mendadak. Kamu bisa kok meno..."

"Aku mau kok".

Di kediaman Delvin, Azkia sedang asik bermain dengan sang Ayah dan Ibunya sedang memanaskan makanan di dapur. Terdengar suara pintu terbuka menandakan Delvin telah pulang. Azkia yang mendengar itu langsung lari menghampiri kakaknya, namun ia terhenti karena melihat Safira di belakang Delvin.

"Waaah kak Safiraaa" teriak Azkia sambil berlari ke arah Safira dan langsung memeluknya.

"Azkia, sudah lama tidak jumpa. Azkia sekarang sudah jadi lebih tinggi ya".

Karena suara teriakan Azkia, ayah dan ibunya melirik ke pintu depan dan melihat Safira bersama Delvin. Dalam hati si Ayah berkata kalau anaknya sangat berani membawa calon menantu ke rumah. Malam itu, kehagiaan terpancar dari kediaman Delvin. Kunang-kunang ikut menerangi malam itu, dan pada malam itu merupakan malam dimana terakhir kalinya mereka bisa tertawa bersama.

Keesokan harinya ramai beredar berita mengenai penyakit misterius di China. Dan berbagai video beredar menampilkan seseorang yang di rawat di rumah sakit berteriak meronta-ronta sambil mengeluarkan air mata dan air liur yang terus keluar dari tubuh mereka. Tak lama setelah itu berita memberitahu kalau orang yang terinfeksi semakin banyak. Satu bulan kemudian di beritakan separuh warga di China terjangkit penyakit baru ini.

Seluruh warga dunia waspada terhadap penyakit ini. Berbagai cara dilakukan WHO dan para peneliti dari seluruh dunia berusaha untuk menganalisis penyakit ini. Teridentifikasi kalau penyakit itu disebabkan oleh sebuah parasit Cerebro, parasit yang menyerang otak dan sistem saraf. Berbagai cara di lakukan namun penyebaran parasit itu terus meluas hingga satu bulan setelahnya separuh populasi di dunia terinfeksi.

Termasuk Indonesia tak lepas dari wabah ini. Dalam pekan pertama banyak korban yang berjatuhan. Masyarakat dan pemerintah Indonesia tidak siap dengan wabah ini. Bahkan setelah satu tahun, wabah itu semakin ganas. Populasi dunia menurun drastis, begitu juga Indonesia. Dari 246 juta penduduknya kini menjadi setengahnya dan itu hanya berlangsung dalam waktu satu tahun.

Ayah Safira tidak bisa menepati janji untuk pulang ke rumah. Provinsi Aceh melakukan lockdown hingga tidak ada yang bisa keluar masuk, kecuali pengangkut longistik. Sampai Akhir hayatnya, dia tidak bisa menemui putri tersayang nya. Safira sangat meratapi kepergian ayahnya, di rumah itu Safira meringkuk dalam kegelapan, menangisi kepergian ayahnya. Sampai Delvin menariknya dari kegelapan, memberinya kehangatan dan menerimanya sebagai keluarga. Ayah dan Ibu Delvin menerima Safira apa adanya dan memperlakukannya layaknya keluarga.

Namum keadaan semakin ricuh, kepanikan melanda masyarakat dunia. 10 negara kini telah hancur akibat konflik. Masyarakat menjadi agresif, dan wabah semakin menjadi-jadi. Dalam kepanikan masyarakat di Kota Padang, ayah dan ibu Delvin terbunuh oleh aksi dari segerombolan masa. Dan setelah hampir dua tahun sejak munculnya wabah, jumlah populasi dunia hanya tersisa 2 miliar jiwa dan di Indonesia hanya tersisa 10 juta penduduk yang masih bertahan, dan di kota padang sendiri hanya 20 orang yang tetap tinggal di kota mati itu termasuk Delvin, Safira dan Azkia.

Saat ini

Langit mendung yang menghiasi hari tak kunjung berubah. Menyembunyikan mentari, bulan, dan bintang dari anak manusia. Di kota mati ini anjing berkeliaran mencari makan, kucing-kucing mengais-ngais sampah demi tulang ikan. Burung gagak terbang mengelilingi kota mengintai makanan yang rubuh. Pelan tapi pasti pandemi ini sudah mencapai akhirnya.

Hari telah sedikit terang, burung-burung gereja singgah di jendela kamar rumah itu. Delvin yang baru saja bangun dari tidur, melihat sekeliling kamar. Di lihatnya Safira masih tertidur dengan lelap sambil memeluk Azkia yang ada di antara mereka. Matanya yang sayu dan pikiran yang masih setengah sadar, mencoba untuk bangun dari ranjang. Delvin berdiri di samping ranjang dan meregangkan tubuhnya sambil berjalan mendekati jendela kamar.

Hari ini langit nampak lebih mendung dari biasanya, akankah hari ini akan turun hujan? Ia terus saja menatap keluar dengan seriusnya. Tak lama kemudian Safira bangun dari tidurnya. Di gosoknya matanya dan ia melihat Delvin sedang berdiri di depan jendela, dan Azkia yang tertidur pulas sambil menggenggam tangannya. Safira mencoba untuk berdiri tanpa membangunkan Azkia dan berjalan ke arah Delvin.

"Selamat pagi, Delvin"

"Pagi Safira. Bagaimana tidurmu semalam?"

"Aku tidur dengan nyenyak berkat mu. Kapan Azkia pindah kamar? Seingatku ia kan tidur di kamarnya"

"Ntah lah, aku juga tidak sadar."

Mereka berdua berhenti bicara dan saling menatap keluar jendela. Suasana menjadi hening, hanya kicauan burung yang mengisi kamar yang hening itu. Sampai dering dari notifikasi memecah keheningan itu.

Sebuah pesan masuk dari dokter Arkana. Ia menyuruh mereka untuk datang ke tempatnya.

"Ada keperluan apa dokter Arkana memanggil kita Delvin?"

"Aku juga tidak tau, dokter Arkana tidak memeberitahukannya. Jadi sebaiknya kita segera pergi mememuinya, kita tidak boleh membiarkan dokter menunggu terlalu lama"

"Ya kau benar, biar aku bangunkan Azkia. Delvin kau siap-siaplah terlebih dahulu, aku dan Azkia akan menyusul"

"Oke"

Mereka segera bersiap bersiap dan pergi ke tempat dokter Arkana. Disisi lain, dokter Arkana masih sibuk dalam penelitiannya mengenai parasit cerebro. Di kota mati ini, ia adalah satu-satunya dokter sekaligus peneliti yang masih bertahan, sedangkan para dokter lainnya telah pindah ke zona aman di Padang Panjang.

Setelah bersiap-siap, mereka berangkat menuju tempat Dokter Arkana. Di tengah kota yang sunyi mereka berjalan dengan sangat waspada akan serangan dari para anjing liar maupun dari orang-orang yang terinfeksi. Burung gagak menatap mereka dari atap perumahan, mengawasi semua gerak gerik mereka. Di tengah perjalanan, mereka menemukan tubuh manusia tergeletak di pinggir jalan. Tubuh yang kaku, dan mulai mengeluarkan cairan serta bau busuk yang sangat menyengat.

"Azkia, pakai masker mu dan tutup matamu dan jangan di buka sampai kakak bilang buka ya"

"Ya kak Delvin"

Azkia mengenakan maskernya dan menutup matanya. Delvin meraih tangan Azkia dan menggandeng tangan Azkia sambil berjalan melanjutkan perjalanan. Sekitar lima belas menit berjalan akhirnya mereka sampai ke tempat Dokter Arkana. Sebuah rumah tingkat dua yang nampak seperti rumah pada umumnya. Mereka mengetuk pintu dan memanggil dokter itu, namun tidak ada jawaban yang berarti dari dalam rumah. Mereka kembali mengetuk pintu dan memanggil dokter itu namun tidak ada jawaban dari dalam rumah. Tak lama kemudian terdengar suara gaduh dari dalam rumah, mereka langsung masuk ke dalam rumah dan berlari ke sumber suara. Disana terlihat seorang pria kepala tiga dengan rambut yang hampir di tutupi uban, yang sedang terduduk sambil memegangi kepalanya. Pria itu menoleh ke arah mereka sambil tersenyum.

"Lebih cepat dari dugaanku kalian datang ke sini."

"Kami hanya tidak ingin membuat dokter menunggu terlalu lama, makanya kami bergegas datang kemari"

"Jadi dokter, ada keperluan apa dokter memanggil kami kesini?"

"Pertanyaan bagus Safira. Jadi aku memanggil kalian un..."

Pembicaraan dokter itu terpotong dengan suara kaca yang pecah. Ia menoleh ke arah Azkia dan melihat gelas kimianya pecah dan cairan di dalamnya berserakan dimana-mana. Dokter itu berteriak histeris dan berlari menuju ke tempat pecahnya gelas kimia itu sambil menatapnya dengan kosong. Dengan raut wajah marah ia menoleh ke arah Azkia.

"Apa yang kau lakukan dasar boc..."

"Maafkan Azkia dokter. Azkia tidak sengaja menjatuhkan gelasnya, Azkia haus jadi, jadi..."

Air mata jatuh ke pipi Azkia, ia menyesali perbuatannya tersebut. Dokter Arkana yang tadinya marah, kini menjadi sedikit lebih tenang. Di angkatnya Azkia dan kembali duduk ke sofa tempatnya semula sembari memanggku Azkia dan mengusap kepalanya. Delvin dan Safira hanya terdiam melihati kelakuan Azkia yang sepertinya sangat senang memainkan jas lab dokter Arkana.

"Kembali ke urusan kita, sebenarnya aku memanggil kalian kesini untuk meminta bantuan kalian"

"Bantuan ? Bantuan sepertia apa dokter?"

"Dikarenakan bantuan, seperti makanan dan lain-lain telah sampai. Aku ingin meminta bantuan kalian untuk membagikan paket bantuan ini ke orang yang masih bertahan di kota Padang ini".

"Kenapa tidak dibagikan seperti biasa dokter?"

" untuk saat ini aku tidak bisa melakukannya Safira, karena hari ini aku harus pergi sebentar ke Padang Panjang untuk menemui peneliti dari Amerika yang datang kemarin. Kabarnya vaksin untuk penyakit ini telah di temukan, dan peneliti itu datang kemari untuk membagikan vaksinnya"

"Akhirnya, pandemi ini akan berakhir. Baiklah dokter, kami akan membantu dokter"

"Baiklah, kalau begitu tolong ikut dengan ku"

Dokter Arkana pergi membawa mereka turun ke basemen. Di sana terlihat beberapa barang penelitian, beberapa obat-obatan dan sebuah mikroskop. Dokter itu membagikan 2 tas ransel besar yang isinya penuh bahan makanan dan sebagainya untuk di bagikan ke orang-orang yang masih bertahan di kota ini. Dan tak lupa ia memberikan sebuah peta yang memperlihatkan tempat dimana orang-orang itu.

"Namun sebelum kalian pergi kalian harus berhati-hati, karena para penyerang sedang terlihat di pinggiran kota"

"Para penyerang? Apa itu?"

"Para penyerang adalah sekumpulan orang yang telah terinfeksi yang biasanya menyerang kita yang masih sehat. Mereka tidak dapat mengendalikan perilaku mereka karena otak mereka sepenuhnya telah di kontrol oleh parasit itu. Namun ada juga tubuh yang sudah mati dapat bergerak sendiri akibat parasit yang telah bermutasi, walau tubuh itu tidak dapat bertahan lama."

"Baiklah Dokter, kami akan berhati-hati. Kalau begitu kami berangkat dahulu."

Mereka berangkat ke lokasi yang paling dekat dari tempat dokter Arkana. Hanya membutuhkan 15 menit mereka sampai di tujuan. Seorang anak datang menghampiri mereka, dan Safira membagikan paket bantuan itu kepada anak laki-laki itu. Anak itu tersenyum dan berterima kasih pada mereka. Dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka dan pergi ke tempat selanjutnya.

Ternyata butuh waktu lama untuk menyelesaikan tugas mereka. Dan akhirnya mereka sampai di tempat terakhir. Namun tidak ada tanda-tanda adanya yang tinggal di rumah yang mereka datangi ini. Mereka terus mengetuk pintu rumah itu namun tidak ada yang menjawab.

"Delvin, lebih baik kita berpencar dan memeriksa rumah ini."

"Baiklah kalau begitu, aku akan coba mengecek di dalam rumah dan Safira, tolong cek di sekitaran rumah ini ya".

"Azkia ikut dengan kak Safira" Kata Azkia sambil berlari dan mengikuti Safira dari belakang.

Delvin mulai masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua yang cukup besar dan kira-kira membutuhkan waktu untuk mengecek keseluruhan rumah itu. Delvin mulai dari ruangan yang ada di lantai satu. Seluruh ruangan nampak berantakan sekali, namun ada tanda kalau rumah itu ditempati oleh seseorang, seperti segelas kopi yang masih hangat dan sebuah smartphone yang masih menyala.

Setelah memeriksa seluruh ruangan yang ada di lantai satu, Delvin pindah dan memeriksa ruangan di lantai dua. Di lantai dua hanya berisikan 4 kamar tidur dan satu kamar mandi. Delvin mengecek satu persatu kamar tersebut, hingga ia sampai di kamar paling ujung. begitu masuk di kamar itu, Delvin hanya diam terpatung menatap kamar itu. Di dalam kamar itu sangat berantakan, namun bukan itu yang membuat ia kaget melainkan sebuah tubuh terkapar bersimbah darah. Delvin mendekati mayat tersebut, ia melihat beberapa luka tusukan di sekujur tubuh pria itu. Namun tak lama kemudian terdengar suara jeritan dari luar rumah itu, Delvin yang mendengar suara itu langsung bergegas ke luar rumah.

Sementara itu di luar rumah Safira dan Azkia mengecek keadaan di belakang rumah. Dan mereka bertemu dengan pria yang kemarin mereka temui. Kali ini ia membawa sebuah pisau dapur yang berlumuran darah. Azkia yang ketakutan bersembunyi di belakang Safira.

"Hei, adik kecil. Apa kau punya makanan? Om sangat lapar sekali"

Azkia tidak menjawab pertanyaan dari pria itu dan membuat pria itu marah. Pria itu berlari dan hendak menusuk mereka. Safira mendorong Azkia ke belakang dan berlari ke arah pria itu. Pria itu mengayunkan pisaunya namun Safira berhasil menghindar dan melancarkan tendangan keras ke leher pria tersebut dan membuat pria itu jatuh tersengkur. Safira berbalik ke arah Azkia dan hendak menghampirinya, namun pria itu memegang kaki Safira dan melukai kaki Safira. Melihat hal itu Azkia berteriak ketakutan.

Safira yang tidak bisa bangkit, mencoba merangkak ke arah Azkia. Namun pria itu berdiri dan menghampiri Azkia yang terdiam kaku. Begitu sampai pria itu mencekek leher Azkia sampai kakinya terangkat dari tanah. Safira menyadari kalau pria itu terinfeksi, air matanya jatuh sambil meneriak nama Azkia.

"Kali ini kau bisa tenang bocah. Om akan buat ini menjadi tidak menyakitkan"

"Azzkiaaa!!"

Tanpa terduga Delvin datang dan menghajar pria itu. Pria itu kembali tersungkur dan melepaskan Azkia. Karena merasa tidak mampu pria itu pergi meninggalkan mereka.Delvin melihat Safira yang terluka dan ia segera menutup luka tersebut. Akibat kejadian itu Azkia pingsan dan Safira hanya mendapatkan luka di kakinya.

"Apa yang sebenarnya terjadi Safira?"

"Delvin, pria itu, pria itu terinfeksi"

"Jangan katakan... Apa Azkia..."

Delvin melihat Azkia dengan tatapan sedih dan Safira hanya bisa menahan air matanya. Dan untuk sekian lamanya langit yang mendung ini, menurunkan hujan. Saat mereka sampai di rumah, hari telah gelap di tambah hujan yang lebat dan petir yang menggelegar di langit. Delvin membaringkan Azkia yang pingsan di tempat tidurnya, mengganti bajunya yg basah, dan membaringkannya kembali. Ia lakukan semua itu dengan sangat hati-hati tanpa bersentuhan secara langsung dengan Azkia. Setelah selesai mengurusi Azkia, Delvin pergi menghampiri Safira yang duduk di ruang makan. Jelas sekali kalau Safira merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi ini.

Delvin duduk di sebelah Safira dan hendak menenangkannya. Namun jauh di dalam hatinya, ia memang menyalahkan Safira. Walau begitu ia mencoba untuk membuang jauh-jauh pikiran itu. Ketika Delvin hendak memulai pembicaraan, Safira berusaha meraih pisau yang ada di hadapannya dan mau menusuk dirinya sendiri. Dengan sigap, Delvin dapat menghentikan perbuatan Safira.

"Kenapa kau hentikan aku Delvin? Aku sudah tak berhak untuk hidup. Setelah semua yang terjadi. Aku tidak bisa melindungi Azkia, padahal aku sudah berjanji pada mu, pada ibu mu, pada pak Farzan. Namun aku tidak bisa menepatinya"

Air mata menitik ke meja makan, Safira melepaskan pisau yang ada di tangannya dan kembali duduk di kursi itu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Delvin mencoba untuk menenangkan Safira, namun ia tidak tahu caranya. Cara untuk memperbaiki suasana ini.

Dari lantai atas terdengar suara gaduh yang cukup keras. Mendengar hal itu Delvin langsung berlari ke kamar Azkia. Ketika membuka pintu ia melihat adiknya terjatuh dari tempat tidur. Tubuhnya mulai kejang-kejang dan air mata terus bercucuran tanpa henti. Delvin mencoba memeluk adiknya itu agar bisa kembali sedikit tenang, namun hal itu tidak berhasil. Safira menyusul Delvin ke kamar Azkia, ia menjadi semakin merasa bersalah saat melihat apa yang terjadi pada Azkia, dan di depan kamar itu air matanya berjatuhan. Dengan sekuat tenaga ia menghampiri Delvin yang berusaha menenangkan Azkia, dan memeluk mereka berdua sambil meminta maaf pada Azkia.

Setelah itu, Azkia kembali tenang dan tertidur. Delvin kembali membaringkan adiknya itu ke tempat tidur dan mereka berdua keluar dari kamar itu. Mereka kembali turun dan pergi ke ruang makan. Safira duduk di salah satu kursi yang ada di meja itu dan Delvin duduk di seberangnya. Kepala Safira tertunduk dan seakan tidak bisa menatap wajah Delvin.

"Terima kasih Safira, atas apa yang kau lakukan tadi. Setidaknya kita bisa membuat Azkia menjadi lebih tenang". Wajah Safira masih tertunduk dan matanya masih meneteskan air mata. Delvin kembali melanjutkan ucapannya.

" Aku akan pergi menemui dokter Arkana dan membawanya kemari dengan vaksin untuk penyakit ini. Di rumah besar yang sebelumnya aku menemukan sebuah kunci mobil dan untungnya mobilnya dalam keadaan baik, jadi aku akan berangkat secepatnya. Oleh karena itu tolong jaga Azkia selama aku pergi, tolong ya Safira"

Delvin berdiri dan hendak bersiap-siap untuk berangkat. Namun sebelum pergi meninggalkan ruang makan, Safira menghentikan Delvin dengan menarik tangannya.

"Kenapa kau bisa sebaik ini pada ku? Tidak adakah rasa marah kepadaku, setelah apa yang terjadi ini Delvin? Gara-gara aku adik mu menjadi terinfeksi, gara-gara aku ayah dan ibumu terbunuh pada malam itu. Dan gara-gara aku, aku membahayakan diri mu."

"Ini semua bukanlah salahmu. Sebagian karena kesalahan ku. Kenapa aku tidak menyuruh Azkia untuk tetap di rumah?, atau untuk meminta Azkia untuk bersama dokter Arkana? Ini semua karena keegoisan ku, aku yakin kalau Azkia tetap bersamaku semua akan baik-baik saja. Namun aku salah."

Keheningan sangat terasa di ruangan itu berbanding terbalik dengan keadaan di luar.  Delvin berbalik ke arah Safira dan kini ia sedang melihat sisi rapuh dari temannya itu. Air mata nya tak kunjung berhenti membasahi pipinya. Wajah yang hanya menatap ke bawah, memandang bayang-bayang kesalahan yang menghantui Safira.

"Sudahlah Safira, jangan kau ratapi masa lalu itu. Mari kita melihat kedepan, Azkia masih bisa kita selamatkan, setelah itu kita bisa berkumpul bersama lagi memulai hidup ini dari awal. jadi berhentilah menangis, ya"

Air mata itu kini berhenti mengalir. Safira mengangkat wajahnya yang tertunduk, matanya berkaca-kaca memandangi Delvin. Delvin menyapu air mata di pipi Safira yang kini memerah. Delvin mendekatkan tubuhnya dan memeluk Safira. Kehangatan dari pelukan itu sangat lembut, membuat rasa nyaman dan seakan kau tidak ingin pernah lepas darinya.

"De...Delvin. Berjanjilah pada ku, kalau kau akan kembali pada kami. Kembali pada ku."

"Aku berjanji Safira. Tak peduli rintangan apa yang akan aku hadapi, aku akan kembali pada kalian. Pada orang yang sangat kucintai sedari dulu."

Pipi Safira memerah mendengar perkataan itu dan disembunyikannya wajahnya dalam pelukan Delvin. "Aku menunggu sangat lama, untuk mendengar itu Delvin."

Malam yang gelap gulita, tidak ada cahaya bulan dan bintang yang menerangi kota itu. Hujan masih turun dengan sangat deras beserta petir yang kerap kali menyambar di langit sana. Pada saat yang bersamaan, Delvin menerjang hujan dan bergegas secepat mungkin sampai di rumah besar itu.

Memang tak mudah namun ia berhasil sampai. Ia mencari kunci yang sebelumnya ia temukan di rumah kosong yang gelap itu hanya ditemani dengan cahaya dari senter.

Setengah jam berlalu, namun ia tak kunjung menemukan kuncinya. Ia menyusuri setiap ruangan dengan sangat teliti sampai ia menemukannya. Ia bergegas ke garasi dan menyalakan mobil itu. Dan untungnya sebelumnya ia pernah belajar mengendarai mobil bersama teman nya. Dan akhirnya Delvin berangkat meninggalkan kota itu.

Berkendara di malam yang gelap dengan cuaca buruk dapat menyebabkan kecelakaan. Delvin tau betul konsekuensi itu. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain ini. Ia terus melajukan mobil itu sampai kecepatan 90km/jam di jalanan yang sepi ini.

Kini daerah yang dilalui sudah tidak rata lagi. Delvin menurunkan kecepatan mobilnya untuk berhati-hati di daerah tikungan tajam. Hampir dua jam ia berkendara dan hujan mulai reda, cahaya bulan kini terlihat menyinari malam. Namun dari kejauhan terlihat segerombolan orang berdiri di tengah jalan. Saat cahaya lampu mobil menyinari mereka, Delvin baru menyadari kalau mereka adalah para penyerang. Mau tidak mau Delvin menambah kecepatan mobil nya dan menerobos kerumunan itu.

Para penyerang terdiri atas orang-orang yang terinfeksi parasit cerebro yang telah bermutasi. Mereka masih hidup, namun sudah kehilangan kendali atas diri merek sendiri. Bisa dikatakan kalau mereka bukanlah manusia lagi.

Mobil yang dikendarai Delvin melambat di karenakan beberapa penyerang terikut di mobil itu. Kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi Delvin dengan medan perbukitan seperti sekarang ini. Ia tidak dapat melakukan manuver sembarangan atau ia akan terjatuh ke jurang yang ada di sebelahnya.

Beberapa penyerang yang terikut di mobil Delvin berhasil memecahkan jendela kaca mobil itu. Delvin melakukan segala cara untuk menjatuhkan mereka dari mobil Delvin. Para penyerang kini berhasil memecahkan kaca jendela pada bagian kemudi. Mereka berusaha untuk memutar stir ke arah jurang dan berusaha untuk menyerang Delvin. Dengan satu tangan tetap di kemudi, dan tangan satu lagi menghajar para penyerang itu agar mereka dapat lepas dari mobil itu. Namun ada dari mereka yang berhasil merobek pakaian Delvin hingga mereka dapat menyentuh Delvin secara langsung.

Dengan usaha yang keras, semua penyerang telah berhasil disingkirkan dari mobil itu. Dan Delvin berusaha untuk sampai di Padang panjang segera, karena ia tahu kalau ia telah terinfeksi. Di malam yang hanya bercahayakan sinar bulan itu, Delvin melaju menuju ke tempat tujuan. Sedangkan di sisi lain, Safira berada di kamar Azkia dan tetap merawatnya dengan sangat hati-hati agar parasit yang ada pada tubuh Azkia bisa sedikit melambat. Walau begitu penyakit pada Azkia telah memasuki tahap selanjutnya.

Sejak dimulainya Pandemi ini, jumlah pasien di kota-kota besar meningkat dengan sengat cepat. Ada beberapa kota yang dapat segera mengendalikan keadaan, namun ada pula kota yang tidak dapat bertahan dalam situasi tersebut yang menyebabkan kota itu ditinggalkan dan menjadi kota mati. Sebaliknya kota yang dapat bertahan dan menekan jumlah orang yang terinfeksi, menjadi zona aman yang ditinggali oleh masyarakat, pejabat, serta beberapa ilmuwan.

Namun saat ini zona aman ini hanya ditempati oleh beberapa pejabat penting dan beberapa ilmuwan dan hanya sedikit menyisakan warga atau masyarakat biasa yang tinggal di sana. Di kota Padang Panjang sendiri, hanya ada 13 keluarga yang dipilih atas kontribusinya selama disana. Hal itu terjadi karena kurangnya ketersediaan bahan pangan, yang menyebabkan pemerintah di setiap zona aman mengeluarkan perintah kalau di dalam zona aman hanya boleh ditempati oleh kepala pemerintahan, pejabat-pejabat tinggi, ilmuwan, dan warga yang bisa menempati zona aman hanya 20 keluarga saja.

Dokter Arkana melihat keluar jendela sambil memikirkan kondisi yang terjadi saat ini di setiap kota zona aman. Masyarakat yang harus bertahan hidup di luar zona aman, memang itu bisa dilakukan namun itu akan sangat sulit. Tanpa sadar ia teringat kepada tiga bocah yang kini ada di luar zona aman, yang mencoba bertahan hidup tanpa ragu.

Dokter itu tersenyum sembari menatap bulan yang kini bersinar terang tanpa ada awan yang menghalangi. Tiba-tiba saku celananya bergetar akibat ada panggilan masuk. Ia tidak mengenali nomor dari si penelpon dan tanpa pikir panjang Dokter itu mengangkat panggilan itu. Dan betapa terkejutnya ia mengetahui kalau Delvinlah yang menelponnya.

"Dokter Arkana, sekarang doter ada di mana? Bisakah kita bertemu? Ini sangat gawat sekali dokter."

"Sekarang aku ada di penginapan, sebenarnya ada apa Delvin? Sekarang kau ada dimana?"

"Saat ini aku ada di depan gerbang zona aman, para penjaga tidak membiarkanku masuk. Hei bisakah kau bersik..."

Panggilannya terputus, dan segera Dokter Arkana pergi ke gerbang untuk menjemput Delvin. Berkat Dokter Arkana, akhirnya Delvin bisa masuk ke dalam kota. Dokter itu membawa Delvin ke tempatnya untuk berbincang. Delvin terlihat sangat kelelahan setelah melalui malam yang panjang dan sulit itu. Ia mencoba untuk duduk di sofa yang ada di ruangan itu dan membiarkan dirinya beristirahat sejenak. Ia duduk dan menyandarkan tubuhnya yang lelah itu dan mulai menutup matanya. Namun walau tubuhnya berusaha untuk beristirahat, pikirannya tidak bisa tenang memikirkan keadaan Azkia. Dan tubuhnya sendiri mulai terasa dingin, dan keringat terus keluar dari tubuhnya.

Dokter Arkana datang dengan menghidangkan secangkir teh hangat untuk Delvin. Delvin meminum minuman yang telah disediakan dan dokter itu duduk di seberangnya.

"Jadi Delvin, ada keperluan mendesak apa yang membuatmu mendatangiku kesini?"

Delvin pun menjelaskan semuanya kepada Dokter Arkana. Perbincangan mereka sampai menghabiskan waktu setengah jam. Dokter Arkana mencerna apa yang terjadi dan berpikir tindakan apa yang akan ia lakukan untuk menyelamatkan Azkia. Ia berpikir dengan sangat keras sampai wajahnya menjadi sedikit menyeramkan.

"Kau ingat Delvin, alasan kenapa aku kesini?"

"Kalau tidak salah untuk mengambil vaksin"

"Benar. Namun kenyataan tidak begitu. Aku dipanggil ke sini untuk membantu dalam pengembangan vaksin yang belum sempurna. Sebenarnya obat untuk penyakit ini sudah di produksi secara besar-besaran, namun akibat bermutasinya parasit ini membuat keefektifan vaksin ini menjadi menurun. Dan sekarang kami sedang dalam tahap pengembangannya."

"Dengan kata lain kita tidak bisa menyelamatkan Azkia. Begitukah maksud Dokter?"

"Ya, begitulah maksudku. Tapi sebenarnya aku telah berhasil menyempurnakan vaksin tersebut dan tinggal melalui uji tes."

"Kalau begitu mari kita ambil vaksin dokter dan memberikannya pada Azkia".

"Mengambil vaksinnya tidak begitu sulit, namun ada kemungkinan kalau vaksin itu gagal dan malah mencelakakan Azkia. Walau kemungkinan terjadinya hanya 50%, apa kau akan tetap melakukannya Delvin?"

Mendengar perkataan Dokter Arkana membuat cahaya harapan yang ada di mata Delvin, kini menjadi redup. Ia menjadi ragu untuk sejenak, setelah memikirkan semuanya dengan matang Delvin berkata.

"Walaupun begitu, aku akan melakukan apa saja agar Azkia dapat sembuh. Aku tidak ingin melihat Azkia dan Safira menderita".

"Baiklah kalau begitu, aku akan membantumu. Baik ini rencana kita".

Nampaknya harapan belum benar-benar sirna dari Delvin. Dokter Arkana mulai membicarakan rencananya dan Delvin menyimak semua rencana itu secara seksama. Walau kurang meyakinkan, namun hanya itulah satu-satunya cara agar Azkia selamat. Mereka sepakat untuk menjalankan rencana itu dan mempersiapkan diri sebelum memulai rencana mereka.

Suasana di kota zona aman sangat sunyi, hanya ada beberapa penjaga yang berpatroli keliling kota. Suara burung hantu memecah kesunyian malam di temani nyanyian katak di kolam-kolam. Di tengah malam yang sunyi itu, dokter Arkana berjalan di dalam gedung tempat penelitian terhadap vaksin itu dikerjakan. Ia mengambil beberapa contoh vaksin yang ada di sana dan memasukkannya di dalam saku jas laboratorium. Setelah itu ia keluar gedung itu Dokter Arkana berjalan ke arah gerbang. Di gerbang terlihat seorang penjaga yang bertugas menjaga gerbangnya. Dan untungnya penjaga itu sedang tertidur pulas di posnya. Setelah merasa aman, Delvin yang bersembunyi di balik bayang-bayang keluar dan menemui Dokter Arkana yang sudah ada di dalam mobilnya dan mereka dapat keluar dari kota zona aman itu tanpa ketahuan.

Hari sudah mulai subuh dan sebentar lagi matahari akan terbit. Di dalam perjalanan Delvin berusaha untuk mengontrol dirinya agar tidak dikuasai oleh parasit itu. Tubuhnya terus berkeringat dan kepalanya mulai terasa pusing. Dokter Arkana menyadari kondisi Delvin dan ia memberhentikan mobilnya. Di ambilnya satu botol vaksin dari saku jas labnya. Kemudian ia keluar dari mobil dan mengambil sebuah tas dari bagasi mobilnya. Di sana ia mengambil peralatan medisnya dan mulai menyuntikkan vaksin itu kepada Delvin. Dan mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Secara berangsur-angsur kondisi Delvin kembali membaik. Melihat hal itu membuat dokter Arkana senang mengetahui vaksin yang sedang dikembangkan itu telah sempurna.

"Dokter, apa yang akan terjadi pada dokter setelah mereka tahu kalau dokter mencuri vaksin itu?"

"Entahlah aku juga tidak tahu. Mungkin aku akan di hukum"

"Maaf karena telah melibatkan Dokter dalam hal ini"

"Jangan pikirkan itu Delvin. Aku hanya menjawab panggilan dari pekerjaan ku".

Matahari mulai menampakkan sinarnya pada dunia yang telah menerangi langit timur sana. Selama ban mobil itu masih terus berputar maka mobil yang mereka naiki akan terus melaju hingga sampai ke tempat tujuan. Di kota mati itu, anjing-anjing menggonggong dengan keras membuat Safira terbangun dari tidurnya. Safira tidak sengaja tertidur saat sedang merawat Azkia.

Dilihatnya kondisi Azkia yang Kini semakin memburuk. Tubuhnya terus berkeringat, air matanya terus keluar dan jari-jarinya mulai menghitam. Safira hanya bisa memberikan cairan kepada Azkia agar ia tidak dehidrasi. Namun tubuh Azkia mulai kejang-kejang, tangannya mulai bergerak tak menentu. Safira mengambil sepotong kain dari lemari Azkia dan mengikat kedua tangan Azkia agar tidak menyebabkan cedera yang lebih parah. Walaupun begitu tubuh Azkia masih saja kejang-kejang.

"Kumohon cepatlah Delvin".

Delvin dan Dokter Arkana sudah sampai di kota padang. Agar menghemat waktu, Delvin menyarankan untuk mengambil jalan pintas ke rumahnya. Dan Dokter Arkana membelokkan mobilnya ke jalan yang di arahkan Delvin. Jalan yang mereka lalui ini cukup sempit namun jaraknya lebih dekat dari pada melalui jalan besar.

Saat dalam perjalanan mereka terhenti karena jembatan yang ingin mereka lalui ambruk dan tidak bisa di lalui oleh kendaraan. Dokter Arkana mengambil tasnya dan keluar dari mobil, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Dengan hati-hati mereka melalui jembatan yang hancur itu, dan mereka sampai di seberang.

Ketika mereka ingin melanjutkan perjalanan, Delvin yang ada di belakang dokter Arkana di serang oleh seorang pria. Delvin mendapati luka di lengannya. Seorang pria bertubuh besar dengan menggunakan hoodie dan di tangannya memegang sebuah pisau.

"Dokter cepatlah pergi. Biar aku yang menghadapi pria ini".

"Jangan gegabah Delvin. Kau tidak bisa menang melawannya kalau sendiri, mari kita hajar terlebih dahulu pria ini dan..."

"Dokter. Kumohon, pergilah dan selamatkan Azkia. Kita tidak punya banyak waktu lagi, jadi pergilah dokter. Dan tolong katakan pada Safira untuk menjaga Azkia"

Dengan berat hati Dokter Arkana pergi meninggalkan Delvin sendiri menghadapi pria besar itu. Dokter itu berlari sekuat tenaga dan dari tempat sebelumnya dokter Arkana hanya membutuhkan waktu yang sedikit untuk sampai ke kediaman Delvin. Ia masuk begitu saja dan langsung pergi menuju kamar Azkia disana ia melihat Safira yang sedang kewalahan.

Air mata Safira jatuh saat melihat dokter Arkana berdiri di depan kamar Azkia. Dan dengan segera dokter itu membuka tasnya dan mengeluarkan peralatan nya. Safira bingung karena ia tidak melihat Delvin.

"Dokter Arkana dimana Delvin?"

"Kami mengalami masalah dan Delvin sedang menanganinya dan ia menyuruhku bergegas kemari".

"Apa maksudnya Dokter? Masalah apa? Aku akan membantunya".

"Jangan". Kata dokter itu sambil memegang tangan Safira. "Kita harus menyelamatkan Azkia terlebih dahulu dan aku tidak bisa menanganinya sendiri. Aku butuh bantuan mu Safira".

"Tapi Delvin..."

"Percayalah padanya Safira".

Safira bimbang terhadap dirinya. Apakah ia akan tetap disini dan membiarkan laki-laki yang dicintainya pergi atau ia pergi menyelamatkan Delvin dan membiarkan Azkia yang pergi. Ia menutup matanya dan membiarkan hatinya yang memilih keputusannya. Dan Safira memilih untuk membantu dokter Arkana dalam menyembuhkan Azkia.

Di sisi lain, Delvin berhadapan dengan pria misterius yang menyerangnya dengan menggunakan pisau. Dokter Arkana mungkin telah sampai, dan sekarang ia harus fokus mengalahkan pria yang ada di hadapannya. Delvin berpikir apakah ia bisa menang menghadapi pria itu.

Pria itu mulai menyerang Delvin menggunakan pisaunya. untungnya pergerakan pria itu lambat sehingga memudahkan Delvin untuk menghindar. Namun lama kelamaan pria itu semakin cepat mengayunkan pisaunya sehingga Delvin tidak bisa menghindari sebagian serangan pria itu. Ia mendapati banyak luka di tubuhnya, Delvin merasa kewalahan menghadapi pria itu dengan tangan kosong.

Saat pria itu hendak menyerangnya Delvin mengambil sebuah tongkat besi yang ada tak jauh darinya dan ia berhasil menghantamkan tongkat besi itu ke kepala pria itu dan membuat penutup kepala pria itu terbuka. Delvin menyadari kalau pria itu adalah pria yang menyerang Safira dan menginfeksi Azkia sebelumnya. Dengan di penuhi amarah Delvin berlari menyerang pria itu, namun arah serangan Delvin di baca dengan mudah dan pria itu berhasil menancapkan pisau itu ke perut Delvin.

Perutnya terus mengeluarkan darah, dan Delvin tidak bisa lagi bergerak dan ia terbaring di jalanan. Pria itu mulai tersenyum dan mendekati Delvin. Ia mencekik leher Delvin dan mengangkat tubuhnya sampai kakinya tidak lagi menyentuh tanah.

"Hahahahaha. Sungguh lucu sekali. Kau membiarkan pria sebelumnya pergi padahal kalau bersamanya kalian bisa mengalahkan ku dengan mudah. Namun bocah, kau membiarkannya pergi. Apakah ingin terlihat seperti pahlawan? Lucu sekali perbu..."

Pria itu terhenti dan melihat di lehernya tertancap sebuah pisau. Ia menjatuhkan Delvin dan darah terus menyembur dari leher pria itu. Pria itu berusaha untuk mencabut pisau itu dari batang lehernya, namun karena ia kehilangan darah begitu banyak dalam waktu singkat membuatnya kehilangan nyawanya.

"Kau terlalu banyak bicara br*ngs*k"

Delvin terbaring di jalanan itu sambil menatap langit. Tangannya berusaha untuk menekan perutnya yang terus mengeluarkan darah dalam jumlah yang banyak. Kesadarannya mulai menghilang sedikit demi sedikit,dan matanya perlahan tertutup. Namun ia mendengar suara Safira yang terus berdengung di kepalanya mengucapkan kalimat yang lembut kepadanya.

Vaksin yang di berikan Dokter Arkana berhasil menyembuhkan Azkia. Tubuh Azkia kembali membaik seperti sediakala, hingga Azkia membuka mata pada malam hari. Saat terbangun ia melihat Dokter Arkana duduk di sebelah ranjangnya sambil membaca sebuah buku.

"Dokter kana?"

"Oh syukurlah kau sudah sadar Azkia".

"Apa yang terjadi pada Azkia dokter? Kak Delvin dan kak Safira mana dokter?"

"Safira ada di kamarnya, tapi sebaiknya Azkia isti..."

Azkia bangun dari tempat tidurnya dan berlari keluar kamar tanpa mendengar ucapan dari Dokter Arkana. Azkia bergegas menghampiri kamar Safira dan membuka pintu kamar itu. Ia melihat Safira yang tertidur pulas di sebelah Delvin. Azkia pun menghampiri mereka dan naik ke ranjang itu dan mencoba tidur di antara mereka. Dan malam itu mereka tertidur sangat pulas sekali sampai seakan melupakan kerasnya hidup.

Setelah itu Dokter Arkana kembali ke zona aman dan berniat memberitahu vaksin itu telah sempurna. Dan akhirnya vaksin itu di produksi secara besar-besaran dan hanya membutuhkan waktu empat bulan, parasit Cerebro telah hilang dari dunia. Masyarakat dunia kembali membangun peradaban mereka yang telah hancur. Tidak mudah memang, namun dengan keyakinan yang kuat mereka pasti akan berhasil.

5 Tahun Kemudian

Dunia kembali pulih sepenuhnya, ekonomi kembali berjalan dan sarana prasarana kembali membaik. Kini manusia belajar dari masa lalu dan berusaha untuk mencegah hal yang sama terulang kembali.

Setelah lima tahun semenjak kejadian itu, Delvin dan Safira Akhirnya menikah dan kini mereka di karuniai seorang putri yang sangat cantik. Azkia kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan berprestasi. Dokter Arkana tidak dihukum atas perbuatannya dahulu, dan ia dianugerahi penghargaan dan ia menjadi salah satu orang yang dianggap berjasa melawan Pandemi itu. Masa depan memang tak jelas, kita tidak bisa menebak apa yang akan terjadi kedepannya, namun kita bisa mengarahkannya ke tempat yang lebih baik.

--TAMAT--

Padang, 2020
Bionarasi : Ahmad Tetsuya atau Novry Ardiyan mempunyai hobi menggambar, menulis dan menyukai beberapa bidang kreatif lainnya. Cerita ini terinspirasi dari peristiwa Pandemi yang menggemparkan dunia pada tahun 2020 awal yang dirasasakan sendiri oleh Ahmad. 

Komentar

Postingan Populer