BOOK OF CRIME CHAPTER II: CAHAYA KEMATIAN

 

BOOK OF CRIME 

Chapter II

Cahaya Kematian 

Karya: Ahmad Tetsuya

 



Setiap hari tugas selalu menumpuk dan rasanya membebani batinku, mulai dari matematika, fisika, dan yang paling buruk dari semua itu adalah kimia. Ya, guru kimia kami memang guru yang paling killer dari semua guru yang ada di SMA 1 Kota Zapad ini. Selain dari itu kehidupan sekolahku biasa-biasa saja, mempunyai banyak teman, gebetan, mungkin, dan banyak menemui orang baru. Mengenai orang baru, kemarin aku bertemu dengan seorang pria. Pria itu cukup tampan tapi ia tampak selalu sedih seperti sedang memikirkan sesuatu. Saat itu aku lihat ia sedang duduk di sebuah bangku di bawah pohon yang ada di taman kota dan saat aku lewat di depannya ia langsung menarik tanganku dan memanggil sebuah nama yang tak aku kenal. Lalu setelah itu ia pergi dan menghilang.

Hari ini pelajaran Sosiologi membuatku mengantuk sekali dan terkadang membuatku tertidur. Tapi untungnya temanku Tifah selalu menjagaiku saat aku sudah mulai terlelap. Bel istirahat berbunyi dan semua orang berbondong bondong keluar dari kelas, kecuali Arkam yang malah menghampiri kami.
“Angsa makan di tempat biasa yuk?!”, katanya dengan santai duduk diseberangku dan menyenderkan dagunya keatas meja. Aku sedikit kesal akan perkataannya barusan, “Angsa? Namaku itu Khalita Ansa bukan angsa kam!” kataku dengan nada suara yang sedikit tinggi. 
“Iya-iya. Nanti aku traktir deh sebagai tanda permintaan maaf”.
“Jadi Cuma Ansa nih yang ditraktir?”, kata Tifah yang sudah selesai memasukkan buku pelajarannya ke dalam tasnya. 
“iya-iya, Tifah juga kok”.
“Asik... Terima kasih Arkam”.

Arkam memang seperti itu, dia suka mentraktir orang walaupun sudah ku nasehati berulang-ulang kali, mungkin itu sudah seperti menjadi kebiasaan untuknya, meski itu bukanlah suatu kebiasaan yang baik. Setibanya di kantin kami bertiga mulai mengantri untuk membeli makanan favorit kami.  Kami makan di kantin favorit semua murid yang terletak di sebelah timur kelas kami. Di kantin itu makanan yang disediakan tergolong murah dan mengenyangkan.

Saat di kantin aku mendengar isu pembunuhan berantai di kota Est. Pembunuh itu kabarnya  membunuh korbannya dan membuang jasad korbannya ke gorong-gorong bawah tanah. Di beritakan si pelaku masih belum ditemukan sampai sekarang. Ku rasa polisi di sana tidak becus menangani kasus ini. Menurutku, semakin banyak si pelaku melakukan aksinya maka semakin mudah untuk mencari si pelaku.

Ku buang semua hal tentang kasus itu dan kulanjutkan menyantap makanan favorit di kantin ini, mie dengan kaldu ikan. Mie ini di isi dengan beragam topping seperti, saweran daging ayam, taburan daun bawang, dan kerupuk ikan, ditambah dengan mie yang kenyal dan lembut, lalu diberi kuah kaldu ikan yang menyatukan semuanya dan membuatnya semakin sempurna. Seperti ada yang kurang kalau tidak makan menu ini dalam seminggu.

Setelah itu, semua tampak membosankan mulai dari belajar, mengerjakan tugas, lalu pulang. Saat di depan gerbang sekolah, Arkam terlihat berdiri disana seakan sedang menunggu seseorang. Aku berlari menghampirinya dan ku lihat ada yang aneh dengan sikap Arkam. Pipinya sedikit memerah, dan matanya tidak ingin melihat kearahku. karena penasaran aku tanya padanya "Arkam kamu tidak apa-ap...".

"Ano... Ansa" , potong Arkam "Se...Sebenarnya" lanjutnya "Sebenarnya ada suatu hal yang ingin beritahukan padamu, tapi... Mungkin untuk saat ini aku merasa belum punya keberanian untuk memberitahukannya, jadi...Maukah kau pergi jalan besok malam?"

Jika kulihat dari reaksi Arkam, apakah ia akan menyatakan perasaannya pada ku? Memang benar kalau kami sudah berteman sejak kelas X, tapi aku tidak tau kalau Arkam menyimpan rasa pada ku, apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menerima ajakannya, atau menolaknya? 

"Arkam..." kataku dengan wajah yang sedikit tertunduk, ya kenapa aku harus ragu padahal aku sudah tau jawabannya. Aku berlari sedikit kedepannya, berbalik dan tersenyum pada Arkam dan jawabanku "Aku tidak sabar untuk besok Arkam".

"Jadi apa kau...Menerima..." wajah Arkam yang semula cemas berubah menjadi bahagia. Dan aku lanjut pulang ke rumah dengan senyum gembira. 

Saat dijalan sewaktu aku ingin pulang ke rumah aku bertemu dengan teman masa kecilku Sindy. Sudah lama kami tidak bertemu semenjak Sindy dan aku pisah sekolah, lalu kami putuskan untuk saling mengobrol di kafe Libra yang ada di kota Est. Belakangan kafe itu ramai di perbincangkan karena kafe itu mengusung konsep yang unik yaitu nongkrong dengan ditemani sekumpulan kucing. tidak butuh waktu lama untuk sampai di kota Est, kami hanya perlu menaiki kereta dan menggunakan tiket dengan harga pelajar yang sangat terjangkau. 

Sesampainya di depan kafe aku melihat seorang pria termenung di depan pintu masuk, bukan hanya kami yang melihat pria itu. Ada dua orang laki-laki di depan kami yang juga menatap tingkah laku pria itu. Pria itu tampak sedih dan air mata mulai menetes dari pria itu. Lalu seseorang dari dalam kafe keluar dan mengusir pria itu dan ia pergi, namun ia sempat melirik ke arah kami. Mungkin ia merasa sedikit tersinggung. Ya, bisa dibilang hal itu adalah kejadian langka. Kami pun masuk ke dalam kafe dan kami disambut kucing-kucing yang imut ini, kami langsung duduk dan memesan makanan lalu mengobrol sepuasnya melepas rindu yang selama ini tertahan.

Obrolan kami terpaksa terhenti ketika hp Sindy berdering. Seseorang meneleponnya dan sepertinya itu pacarnya. Dan benar saja, Sindy langsung buru-buru pamit karena pacarnya mengajaknya kencan. Aku ditinggalkan disini sendiri, pikirku semua orang pasti akan berubah. Setelah cukup lama berada di kafe ini, kuputuskan untuk pulang ke rumah. Dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul enam sore, aku harus bergegas pulang untuk makan malam.

Jarak dari kafe Libra ke rumah ku membutuhkan waktu 2 jam perjalanan naik motor, tapi lain cerita kalau aku naik kereta antar kota yang hanya membutuhkan waktu 30 menit. Beruntung aku, karena aku tidak ketinggalan kereta terakhir ke kota Zapad. Keadaan  gerbong yang kunaiki ini cukup sunyi hanya ada enam orang termasuk aku. Tetapi aku merasa seperti ada yang menguntit ku  walau aku tidak tau siapa diantara mereka yang melakukannya.

Setelah tiga puluh menit di landa khawatir akhirnya aku sampai di stasiun dekat rumahku. Aku keluar dari gerbong kereta dan aku melihat Arkam di peron stasiun dan aku pun menyapanya, “hei, Kam mau kemana malam-malam begini?” kata ku.
“Eh, ada Ansa. Aku ingin menjemput sepupu ku. Katanya ia ingin menginap malam ini”.
“Hee, aku baru tau kalau kau punya sepupu Kam. Biar aku tebak, pasti sepupu mu itu perempuan, berambut cokelat gelap, dan bermata coklat terangkan?”
“Wah, dari mana kau tau sedetail itu? Apa kau seorang cenayang yang bisa membaca pikiran?” Haha, dasar Arkam dia lupa kalau dia sering menceritakan sepupunya itu pada ku dan Tifah.
“Aku temani kamu ya Kam”.
“Tidak apa-apa Ansa, aku bisa sendiri kok. Lebih baik kamu pulang saja dulu, pasti orang tua mu sudah menunggumu di rumah”. Arkam benar, sepulang sekolah aku lupa untuk membereitahu ayah dan ibu kalau aku pergi ke kota Est, mungkin sekarang mereka sedang khawatir. Sebelum kami berpisah, aku berbalik dan mengucapkan salam perpisahan pada Arkam, "Kam, Aku tak sabar untuk menunggu hari esok". Dan aku pergi bergegas pulang kerumah. 

Setibanya di rumah aku disambut oleh ayah dan ibuku yang sudah menunggu ke pulangan ku, lalu kami makan bersama. Sepanjang malam aku selalu membayangkan kegiatan apa yang akan kami lalui besok, aku sangat bersemangat, hingga saat sedang memikirkan apa yang akan terjadi besok, mataku mulai terasa berat dan akhirnya aku tertidur, dan malam itu terasa indah sekali seperti biasa. Hingga di pagi hari saat ibu masuk ke kamarku, ia membisikkan kabar kalau Arkam telah tiada. Sontak saja aku menangis sekeras-kerasnya di pelukan ibuku. Aku tidak terima ini. Kenapa harus Arkam? Seharusnya aku menemaninya, sehingga hal ini tidak terjadi. Kenapa kau harus pergi, padahal aku juga...

Keluarga besar Arkam berkumpul di rumah duka, dan jasadnya telah masuk ke liang kubur. Para polisi berduka cita atas apa yang terjadi. Kudengar Arkam terbunuh saat ia sedang mengambil tas sepupunya yang ketinggalan di peron, dan ketika sepupunya mengecek keadaan Arkam yang sudah beberapa menit tidak kembali, ia mendapati kalau  sebuah pisau menempel dibagian perutnya dan mengeluarkan darah yang sangat banyak. Sepupunya menemukan Arkam sudah tewas di peron stasiun yang sunyi dan gelap, dan ia langsung menelepon ambulans dan polisi datang setelahnya. Setelah di otopsi Arkam meninggal karena luka tusukan ditubuhnya dan ia meninggal karena kehabisan darah. Aku bersumpah pada diri ini, aku akan menemukan pelaku pembunuhan Arkam.

Keesokan harinya, kami sekelas sangat kehilangan sosok yang paling ceria di kelas ini. Untuk membalaskan kematian Arkam, aku mencari segala informasi mengenai kejadian itu di internet. Ada informasi, kalau si pelaku adalah perempuan, ada pula yang mengatakan kalau pelaku adalah orang psikopat, dan teori yang paling menarik adalah si pelaku merupakan pelaku pembunuhan dari kota Est. Dan menurutku teori yang terakhir kurang meyakinkan, tetapi aku harus menyelidikinya. 

Saat pulang sekolah aku pergi ke perpustakaan kota untuk melihat artikel terkait kasus pembunuhan yang terjadi di kota Est. Kasus pertama terjadi sekitar dua bulan yang lalu, korbannya adalah orang yang  dinyatakan hilang selama satu bulan dan ditemukan di depan jalur pembuangan kota. Setelah itu kasus serupa terjadi setiap kurang lebih satu minggu, sehingga total dalam satu bulan ada emapt korban dan setiap korbannya semuanya adalah perempuan. Setelah membaca artikel kasus pembunuhan itu, kulanjutkan unutk membaca buku kriminologi yang ditulis oleh Nero si detektif tersohor di kota Notos bahkan di zapad dan Est.

Setelah membaca bukunya, aku mulai memahami logika dari sebuah kejahatan. Aku mencatat semua hasil pemikiranku di sebuah note lalu menyimpannya. Di dalam note itu tertulis :

            -Apakah pelaku dari kota Est benar-benar yang membunuh Arkam?

            -Apa motif si pelaku?

            -Apa si pelaku adalah perempuan?

            -Adakah keuntungan dari membunuh Arkam?

Lalu aku menyadari kalau cara pembunuhan dari dua kasus ini hampir sama. sudah kupastikan kalau aku akan menyelidiki kasus di kota Est terlebih dahulu untuk menjawab siapa pelaku yang membunuh Arkam.

Tak terasa ternyata hari sudah senja, dan aku harus bergegas pulang ke rumah. Saat di luar perpustakaan aku melihat guru kimia ku, Pak Akil. Ku coba untuk menghampiri guru ku tersebut, namun tampaknya beliau sedang kesulitan dan langsung kutawarkan bantuan, “Ada yang busa saya bantu pak?” Beliau tampak agak kaget, tapi sepertinya beliau belum mengenal ku. Ku perkenalkan diriku kepada beliau lalu ia segera ingat.
“Maaf ya Ansa, tapi bisakah Ansa membantu bapak mencari kunci mobil bapak?”
“Tentu saja Pak saya akan bantu. Dimana terakhir bapak ingat, letak kunci itu?”
“Kalau tidak salah, terakhir kunci itu bapak lihat tergantung di lobang kunci itu, tapi setelah itu bapak keluar sebentar dari mobil untuk mengecek kondisi ban mobil dan setelah itu kuncinya hilang”.

Disaat aku dan Pak Akil mencari kunci tersebut, seorang pria memakai hoodie hitam datang membawa sebuah kunci.
“Maaf pak, sepertinya bapak kehilangan sesuatu ya? Apa kunci ini punya bapak?” kata pria itu sambil menyodorkan kunci mobil dengan beberapa gantungan yang tergantung di kuncinya.
“Hmm... Iya benar ini punya saya. Terima kasih ya anak muda”
“Ya pak sama-sama. Saya pergi dulu ya pak, dek” dan pria itu berjalan meninggalkan kami.

Rasanya aku tak asing dengan pria itu, tetapi aku lupa siapa dia. Setelah masuk dan menyalakan mobilnya, Pak Akil menawarkan tumpangan kepadaku, setelah di pikir-pikir tak ada ruginya menerima tawaran beliau, dan aku masuk ke dalam mobil dan kami berangkat dari sana. Selama perjalanan, pendapatku mengenai guru killer ini menghilang. Ternyata beliau adalah guru yang baik, lucu, dan tidak seperti bayangan ku.

Setelah berbincang panjang lebar dengan beliau, kami sampai di depan rumah ku. Aku pamit dengan beliau dan masuk ke rumah, seperti biasa ayah dan ibu menunggu ku untuk makan malam. Selesai makan aku mandi dan belajar, namun malam ini aku tidak bisa berpikir dengan jernih dan wajah pria berhoodie itu selalu terlintas di pikiran ku, aku hampir tau jawabannya namun jawaban tersebut seakan tersangkut sesuatu. Saat hendak memejamkan mata aku baru ingat pria itu, pria itu adalah pria yang kujumpai di taman beberapa hari yang lalu. Lega rasanya setelah semua rasa penasaran telah lenyap.

Matahari terbit dan menyinari kamar ku dan alarm mulai berdering berusaha agar aku bangun dan usahanya berhasil. Hari ini aku berencana ke kota Est dan menyelidiki kasus pembunuhan berantai itu unutk mengetahui siapa pelaku pembunuhan Arkam. Setelah semua peralatanku siap aku langsung berangkat dan hampir saja aku melupakan buku note ku yang sangat penting. Kupastikan sekali lagi kalau semua perlengkapan yang ku butuhkan sudah kubawa. Lalu aku ke stasiun dan berangkat ke kota Est.

Saat dalam perjalanan, grup kelas ku meributkan sesuatu dan setelah ku cari tau ternyata mereka meributkan berita tentang kasus pembunuhan salah satu guru di sekolahku, guru yang baru saja aku ketahui sisi lainnya, Pak Akil. Katanya beliau di temukan dengan luka tusukan di sekujur tubuh. Berita itu membuatku syok, dan semakin memantapkan niat ku untuk menemukan pembunuhnya.

Kereta yang membawa ku mulai berhenti di stasiun kota Est, aku turun dari kereta dan bergegas ke tempat ditemukannya para korban, di pembuangan akhir limbah kota. Keempat korban ditemukan disana dan para polisi menebak korban di bunuh di dalam gorong-gorong kota yang berbentuk seperti labirin. Lalu mayat korban dihanyutkan dan ditemukan di tempat pembuangan akhir. 

Sesampainya di tempat yang dituju, ada dua orang polisi dan police line yang menghalangiku untuk masuk kedalam. Dan didalam pos dekat dua polisi itu ada seorang pria yang berbadan tegap sedang memakai helm pekerja. Karena sudah jauh-jauh datang kesini, aku tidak mau pulang dengan tangan hampa. Aku berjalan ke arah kedua polisi itu dengan memegang hp, seolah-olah aku sedang merekam video. Dan akhirnya polisi itu menegurku "HEEI!! Ini bukan area untuk anak-anak!!".

"Maaf pak, tapi saya disini untuk tugas sekolah pak" elak ku, berbohong pada para polisi itu. "Saya Khalita Ansa, siswa dari SMA 1 Zapad, saya disini datang untuk mencari tahu informasi tentang kasus yang terjadi disni pak untuk tugas jurnal saya".

"Bukannya mencari informasi dari internet sudah cukup?" jawab polisi muda itu.

"Memang benar, tapi guru saya memerintahkan untuk mencari jawaban langsung ke tempat kejadian, atau menanya ke pihak yang berwajib, begitu pak".

Polisi muda itu masih tidak yakin dengan jawaban yang aku berikan, dan disaat ia ingin membantahku, rekannya polisi dengan perawakan kumis tebal itu menepuk bahu polisi muda itu dan berkata "Tidak apa-apa nak Jim, adek ini hanya ingin mengerjakan tugas sekolahnya". 

"Tapi pak..." bantah polisi muda itu, namun rekannya hanya menggeleng ke arahnya dan polisi yang di panggil Jim itu akhirnya menurut dan rencanaku berhasil.

Aku mulai mengeluarkan buku note yang sudah aku bawa dan mulai melemparkan beberapa pertanyaan yang sudah aku catat sebelumnya, "Terima kasih pak karena sudah mengijinkan saya. saya langsung mulai bertanya ya pak". Aku mencoba memilih pertanyaan yang kira-kira dapat dijawab oleh para polisi ini dan berkaitan dengan kasus Arkam. "Kira-kira apa motif dari kasus pembunuhan berantai ini pak?" 

Para polisi itu diam sejenak, mereka saling bertukar pandang seolah mengirim isyarat satu sama lain dan Opsir Jim yang menjawab pertanyaan ku, katanya "Untuk saat ini, motif dari si pelaku masih belum kami ketahui, dikarenakan para korban terlihat dipilih secara random oleh si pelaku. dan kami memperkirakan kalau motif dari tindakannya itu hanyalah semata-mata untuk melepaskan nafsu membunuhnya". 

Jawaban dari Opsir ini membuatku kurang puas, seolah-olah ia ingin mengatakan kalau si pelaku hanya ingin melepaskan nalurinya untuk membunuh seseorang seperti binatang. Lalu aku memikirkan pertanyaan berikutnya, kemudian aku ingat satu topik yang disinggung di artikel yang aku baca, "Mengenai lokasi eksekusi para korban, apa benar kalau para polisi sampai saat ini belum menemukannya pak?".

"Sayang sekali itu benar" jawab polisi berkumis itu. "Kami sudah mencari di seluruh gorong-gorong kota, namun karena strukturnya yang sudah mirip seperti labirin, kami mengalami kesulitan. Kami bahkan sudah bekerja sama dengan teknisi yang kira-kira hapal dengan seluk-beluk gorong-gorong kota ini namun belum juga ketemu".

Oo, tidak kusangka kalau bakalan serumit itu. Aku berpikir kalau penelusuranku akan mudah seperti yang ada di dalam cerita misteri, dan andai saja aku memiliki peta. Benar juga kenapa aku tidak minta petanya? Dan kubiarkan diriku nekat untuk bertanya soal peta tersebut. "Oya pak, apakah ada peta struktur gorong-gorong kota Est ini? Jika ada apakah saya boleh mengambil fotonya untuk menambah nilai tugas saya?".

Dengan cepat Opsir Jim menolak permintaan ku tersebut. Ini memang sebuah tindakan nekat, namun jika aku berhasil kemungkinan aku akan mendapatkan petunjuk mengenai kasus Arkam dan jika aku gagal kemungkinan kedokku akan terbongkar dan semua renacana ku akan gagal. Aku menatap Opsir Jim dengan wajah melasku dan karena mungkin hari ini adalah hari keberuntunganku, Opsir Jim memperbolehkan aku untuk mengambil foto peta struktur gorong-gorong tersebut.

Mereka mengantarkan ku kedalam pos yang ada disana, dan disana aku bertemu dengan pria yang besar dan tegap, kulitnya sawo matang dan terlihat tangannya yang nampak kasar. Pria tersebut bernama Andre. Dia adalah teknisi yang disinggung oleh Pak polisi itu. Para polisi tadi menjelaskan semuanya pada Andre dan setelah itu ia menatapku dengan tajam. Ia mengambil sebuah gulungan kertas besar dan membukanya di sebuah meja yang luas. ia tersenyum dan mempersilahkan aku untuk memfotonya. setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, saatnya untuk melakukan penyelidikan.

Aku mulai menyelidiki semua jalur masuk kedalam gorong-gorong, dan setelah menyelidiki empat jalur masuk, aku masuk ke dalam gorong-gorong melalui jalur yang ada di dekat stasiun lama yang sudah tidak beroperasi. Aku mengambil alat penerangan yang sudah kubawa dari rumah dan mulai menelusri gorong-gorong yang gelap, lembap, dan bau ini. Menurutku tempat ini memang sesuai untuk melakukan pembunuhan. Sudah setengah jam aku berjalan di gorong-gorong gelap ini dengan ditemani cahaya senter, berbekal peta yang sudah aku dapatkan, aku mencoba untuk memberi tanda agar aku tidak tersesat. Aku tidak tahu harus kemana, dan ku coba untuk berjalan menurut hati ku. Memang hari ini adalah hari keberuntungan ku, aku menemukan sebuah bercak darah, yang menandakan kalau aku berada di jalur yang benar. Aku mengikuti jejak darh itu dan tak lupa memberi tanda. Dan Semakin dalam kususuri lorong gelap ini aku menemukan, sebuah kursi dengan tali lalu, tak jauh dari situ terdapat bercak darah yang sangat banyak. aku mengasumsikan kalau ini adalah tempat yang dicari para polisi. Aku memeriksa lokasinya di peta dan langsung kutandai dan tidak lupa aku menuliskan "Si pelaku pasti sangat paham seluk beluk dari gorong-gorong ini"  di buku note ku. Ku lihat kalau hari sudah sore aku memutuskan untuk menyudahi penyelidikan hari ini.

Berkat tanda yang aku letakkan, aku berhasil keluar dari gorong-gorong itu, namun langit sudah mulai gelap dan awan badai mulai mendekat. Aku bergegas pergi ke stasiun, namun kereta menuju Zapad mengalami keterlambatan sekitar 15 menit, dan aku terpaksa menunggu di peron. Namun entah kenapa perasaanku mulai tidak enak. Dan firasatku mengatakan kalau aku harus cepat-cepat pulang. Setelah menunggu selama 15 menit, akhirnya keretanya datang dan aku bergegas naik. Disepanjang perjalanan perasaan tidak enak itu semakin menguat di iringi langit yang sudah menggelap dan rintik hujan mulai turun. 

Begitu sampai di stasiun Zapad, aku berlari sekuat tenaga agar sampai di rumah secepatnya. Hujan mulai turun dan petir mulai menyala. Dan dihadapan ku petir menyambar tiang listrik yang menyebabkan area disekitaran rumahku mengalami pemadaman lampu. Aku terjatuh karena kaget petir menyambar di dekatku. Aku berusaha untuk bangun dan bergegas pulang kerumah. Setibanya di depan rumah, aku mencoba membuka pintu rumahku, namun entah kenapa aku merasa takut sekali. 

Dengan tangan yang gemetar aku membuka pintu depan dengan perlahan, semabri memanggil ayah dan ibuku. Namun keadaan dalam rumah sangatlah gelap. Aku mencoba untuk berjalan dengan perlahan dengan tubuh yang sudah basah kuyup. Ditemani cahaya senter yang aku miliki, aku berjalan ke ruangan keluarga, dan seketika senter yang kumiliki mulai mati. Disaat seperti ini hp ku sudah tidak mempunyai daya, sepertinya keberuntungan ku sudah habis kupaki waktu di kota Est. 

Aku meraba-raba dalam kegelapan dan aku ingat kalau ayah sering menyimpan pemantik apinya di dekat televisi, dan benar aku menemukannya. Kutelusuri ruangan dapur tempat kami biasa makan bersama dan kumpul bersama. Ditemani dengan cahaya dari pemantik ini aku menemukan ayah... dan ibu......ku...

Petir menggelegar di luar sana dan di dalam sini, aku terpaku tak bergerak menatap ayah dan ibuku sudah bersimbah darah. Seketika aku langsung muntah ditempat, kakiku mulai lemas dan aku terduduk di lantai, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Cairan merah kental memenuhi kolong meja makan, aku berusaha meraih sebuah kursi yang ada di dekatku untuk membantuku berdiri. Dan Aku melihat ayah dan ibu yang mati dengan posisi duduk di meja makan. 

"A...A...Ay...Yah..." kulihat keadaannya yang terduduk dengan kepala yang tersender di bagian atas kursi. 

"I..I..Bu..." kulihat kondisinya juga terduduk dengan kepala di atas meja.

Tak lama kemudian aku mendengar suara langkah kaki menuruni tangga. Apakah dia si pembunuh? Aku tidak berani melihatnya. Suara itu semakin mendekat dan ketika kilat diluar aku melihat bayangannya memasuki ruangan dapur. Seluruh tubuhku gemetar, aku takut setengah mati, namun ia berkata padaku "SEMUA INI SALAH MU!" dengan suara yang sangat pelan, namun aku pernah mendengar suara ini, refleks aku langsung menoleh kearahnya dan.... Sebuah pisau langsung menghujam perutku.

Perutku terasa hangat dan banyak darah yang keluar dari tubuhku. Sekali lagi aku tergeletak dan kesadaranku mulai menghilang. Kuliaht sosok itu hanya menatap dingin kearahku, Aku berusaha menyeret tubuhku keluar dari rumah dan meminta pertolongan. Tapi, aku mulai melihat cahaya putih datang mendekat. Oh, jadi ini yang namanya kematian. Maaf Arkam aku tidak bisa membalaskan dendam mu, setidaknya kita bisa bersatu di alam sana nanti.

 

--Bersambung--

Padang, 2019

Bionarasi : Ahmad Tetsuya atau Novry Ardiyan lahir tanggal 12 November 2001. Cerpen ini ditujukan sebagai kisah lanjutan dari kisah sebelumnya pada cerita "Delusi" dan termasuk karya trilogi.  

Komentar

  1. cerpen anda sangat bagus, penulisan nya juga rapi dan mudah di pahami, saya harap ceritanya berlanjut, soalnya masih penasaran apa alasan si pembunuh, membunuh si tokoh utama

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas responnya dan maaf karena sangat telat dalam menanggapi komentar anda. Untuk kelanjutan ceritanya kamu sudah bisa baca di chapter ketiga kok. Semoga cerita ini bisa menghibur.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer