SECRET SOCIETY SERIES Volume 1: SUMMER ISLAND
SECRET SOCIETY SERIES : SUMMER ISLAND
Karya
: Ahmad Tetsuya
“Ketakutan
terbesar dari manusia adalah ketidaktahuan”
Kesialan
1 Desember 2019, pukul
5.30 pagi.
Sebuah
truk dari perusahaan rokok terkenal sedang melintasi jalanan kota yang sepi
karena masih pagi buta, setelah berhenti sejenak di warung kopi 24 jam. Di
dalam truk, terdapat dua orang yang bertugas untuk mendistribusikan rokok ke
toko-toko atau swalayan-swalayan yang ada di Summer Island. Summer Island
adalah sebuah pulau yang menjadi tempat wisata favorit masyarakat di negara Venti.
Pulau itu menyuguhkan pesona pantai yang indah, dan terumbu karang yang
eksotik. Setiap tahunnya pulau itu ramai dikunjungi oleh wisatawan.
Pasha,
orang baru yang baru saja bekerja seminggu yang lalu. Ini adalah pengiriman
pertamanya ke Summer Island, dan juga kunjungan pertamanya ke pulau itu. Lalu
rekanya Rohan, orang yang sudah 10 tahun bekerja di pekerjaan ini yang sudah
berpengalaman dalam bidangnya dan sudah pergi ke berbagai tempat untuk
mendsitribusikan rokok dari perusahaannya.
Rohan
menyetir mobil truk itu dengan kecepatan yang sedang, dengan alunan musik dari
band “Bring Me The Horizon” dan “Avenged Sevenfold” yang menemani perjalanan
mereka. Rohan adalah pribadi yang terbuka dan mudah untuk diajak bicara.
Umurnya yang sudah kepala tiga akhir membuatnya menjadi pribadi yang akan
menceritakan apa saja yang ia lalui. Berbeda dengan Rohan, Pasha adalah orang
yang tertutup. Orang-orang sedikit sulit berbicara dengannya karena
perawakannya yang sedikit galak, bukan karena sifatnya namun karena mata dan
alisnya yang sedikit menyeramkan menurut beberapa orang. Namun karena Rohan
sudah mengetahui sifat dari juniornya itu, ia bisa mengobrol secara santai
dengannya.
Selama
di perjalanan mereka juga harus berhenti di berbagai kota untuk mengantarkan
rokok di kota itu, sebelum sampai di tujuan terakhir mereka di Summer Island.
Dan kota terakhir sebelum Summer Island adalah kota Nuevo. Keadaan kota pagi
itu cukup berkabut yang membuat jarak pandang sedikit berkurang. Mereka singgah
ke swalayan terakhir di kota Nuevo, dan mengantarkan paket rokok untuk toko
itu. Rohan membeli dua kaleng minuman kopi dan memberikannya pada Pasha yang
sudah selesai mengantar paket rokok dan sedang menunggu di dalam mobil. Mereka
meminum kopi itu dan terasa badan mereka segar kembali dan tak lama kemudian mereka
berangkat menuju Summer Island.
Setelah
melewati kota Nuevo, truk mereka masuk ke jembatan yang menghubungkan pulau
utama dengan Summer Island. Jembatan itu merupakan satu-satunya akses yang
menghubungkan pulau utama dengan Summer Island. Jembatan itu lumayan panjang
dan hampir sepanjang satu kilometer. Selama melintasi jembatan, mereka
membicarakan tentang seorang bangsawan Queen dari negara sebelah yang kabarnya
di culik.
“Nak Pasha, apa kau tau
berita mengenai putri kedua keluarga Queen itu?” kata Rohan membuka
pembicaraan.
“Iya. Aku sempat
mendengarnya di berita kemarin. Tetapi setelah aku cek lagi berita terbarunya,
katanya si pelaku sudah ditangkap oleh si detektif yang terkenal itu”.
Pak Rohan sedikit terkejut dan mengalihkan pandangannya ke
arah Pasha yang sontak membuat Pasha sedikit kaget dan meminta pak Rohan untuk
fokus ke jalan.
“Waahh....” kata pak
Rohan yang masih sedikit tidak percaya, “Aku tidak percaya negara Iustia itu
mempunyai seorang yang jenius sepertinya”.
Ucap pak Rohan dengan tatapan yang sedikit sedih terpancar dari
wajahnya.
Pasha yang menyadari hal tersebut menanyakan hal tersebut “
Apa ada masalah pak ?”
“Tidak.... tidak ada
apa-apa” ucapnya dengan pelan.
Mereka diam sejenak dan Pasha masih merasa
khawatir pada orang tua itu. Tatapan dari Pasha membuat pak Rohan menjelaskan
apa yang sebenarnya terjadi. “ Sebenarnya aku sudah memiliki keluarga” kata pak
Rohan memulai ceritanya, “Aku menikah dengan perempuan yang sangat luar biasa,
Nino namanya. Dia adalah perempuan yang berasal dari Iustia dan bekerja di Agra,
kami bertemu di Summer Island 12 tahun yang lalu. Kami memiliki banyak
kecocokan dan rasa cinta tumbuh diantara kami sehingga akhirnya kami menikah
dan dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Kuberi nama Meili dengan
harapan ia akan tumbuh menjadi perempuan yang cantik seperti ibunya. Namun lima
tahun yang lalu aku dan istriku bertengkar hebat dan akhirnya kami bercerai.
Meili, putriku ikut dengan ibunya pulang ke Iustia. Bertahun-tahun aku tidak
mendengar kabar dari putriku dan kerinduan terkadang merasuk ke hatiku saat aku
mendengar kata Iustia”
Raut wajah pak Rohan tidak berubah, namun Pasha paham kalau
itu adalah cara pak Rohan untuk menyembunyikan rasa sedihnya. Pasha cukup
merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu, jadi ia menepuk pundak pak
Rohan dan menyemangatinya sambil berkata, “Bagaimana kalau minggu depan pak
Rohan ambil cuti dan pergi mengunjungi putri anda?”
Mendengar saran dari Pasha, pak Rohan kembali bahagia.
Menurutnya itu adalah saran yang bagus dan ia berterima kasih pada Pasha.
Terkadang seseorang memang harus menceritakan masalahnya, pada orang yang tepat,
begitu menurut Pasha yang sedang melamun di atas mobil yang melaju di jembatan
yang tertutup kabut tebal.
Memang benar disepanjang melewati jembatan ini, kabut
semakin tebal saja. Sampai jarak pandang tidak sampai satu meter di depan mata.
Biasanya pemandangan laut yang indah bisa dilihat saat melintasi jembatan ini,
namun sekarang apapun tidak terlihat. Pak Rohan menurunkan kecepatan dan
menyalakan lampu truknya. Sudah beberapa kali pak Rohan ke Summer Island namun
baru kali ini dia mengetahui tempat itu ditutupi kabut seperti ini.
Sampai di ujung jembatan mereka melintasi tanda selamat
datang di Summer Island yang ada di sisi kanan jalan yang menandakan mereka
telah sampai di Summer Island. Summer Island memiliki luas sekitar 450 km2,
di sebelah barat daya pulau terdapat
taman bermain “Aryana”. Taman bermain itu merupakan taman bermain terbesar ke-3
di seluruh Venti. Dan ketika ingin kesana jalan masuknya tak jauh dari tanda
selamat datang yang ada di dekat jembatan. Lalu di tengah pulau terdapat kota
yang cukup megah, yaitu kota Olaq. Para wisatawan biasanya pergi kesana jika
ingin berbelanja sovenir dan cindramata. Kemudian terdapat hotel-hotel berkelas
di sebelah barat pulau dekat dengan objek wisata pantai yang menawan. Pantai
itu berada di sebelah barat dan membentang sampai ke utara pulau.
Lalu di utara kota Olaq, terdapat bangunan yang berbeda
dengan bangunan disekitarnya. Warga menamai bangunan itu sebagai monumen
Dirilis. Menurut warga setempat, bangunan itu dulunya berfungsi sebagai tempat
ibadah dari suatu agama, namun tempat itu sudah tidak berfungsi lagi, tetapi
bangunan itu tetap dijaga dan dirawat sebagai bangunan bersejarah. Di depan
bangunan itu terdapat alun-alun taman yang befungsi sebagai pusat dari kota
Olaq.
Para penduduk setempat tinggal di sebelah timur pulau,
berkebalikan dari para wisatawan yang tinggal di hotel yang ada di sebelah
barat pulau. Dan terdapat sebuah pembangkit lisrik yang berada di sebelah timur
laut pulau yang menghasilkan listrik untuk pulau Summer Island. Setibanya mereka di Summer Island yang juga
tertutupi kabut tebal, pak Rohan membawa truknya ke kota Olaq untuk
mengantarkan rokok ke toko-toko yang ada disana. Tetapi suasana di kota itu
terasa sangat tidak mengenakkan. Terlalu sepi bahkan untuk sebuah kota wiasata
di pagi hari. Jam sudah menunjukkan pukul 7.00 pagi namun tidak ada manusia
yang menampakkan batang hidungnya di kota itu. Begitu sampai di swalayan
Aprilmidi, pak Rohan dan Pasha turun dari truk mereka.
“Bukankah disini terlalu
sepi pak ?” kata Pasha yang merasa heran dengan situasi saat ini.
“Iya, kau benar nak Pasha.
Ada baiknya kita periksa kedalam toko, siapa tau ada orang”
“Iya, bapak benar”.
Pak Rohan pergi ke dalam truk dan mengambil dua pasang
senter yang ia siapkan untuk jaga-jaga saat dalam perjalanan. Ia memberikan
satu senter kepada Pasha dan mereka berjalan bersama ke arah swalayan itu.
Lampu di dalam swalayan masih menyala dan begitu pak Rohan ingin membuka pintu
depan, pintunya dapat di buka.
“Saya akan periksa
pintu belakangnya dulu, nak Pasha tolong periksa bagian dalam ya” kata pak
Rohan yang mulai kebingungan dengan apa yang terjadi.
“Baik pak. Bapak
hati-hati ya” kata Pasha pada pak Rohan dan setelah itu mereka berpisah.
`Pasha masuk ke dalam toko swalayan itu dengan langkah yang
perlahan. Ia menyusuri rak dagangan dan memeriksa semua bagian dari tempat itu,
namun tidak ada yang aneh. Lalu selanjutnya Pasha masuk ke ruangan para staf,
mulai dari ruangan istirahat, ruang ganti, dan juga kantor, ia tidak mendapati
adanya kehadiran dari seseorang ataupun hal yang aneh. Sisa ruangan gudang yang
belum diperiksa oleh Pasha. Ia berjalan ke arah gudang namun entah mengapa ia
mendadak merasa waspada. Seolah ada seseuatu yang mengamatinya. Lampu di gudang
penyimpanan tidak bisa menyala walau saklarnya sudah dinyalakan. Hal itu tidak
memberi pilihan Pasha untuk menyalakan senter yang ia bawa sebelumnya. Ia
memasuki gudang itu, mengecek segala tempat namun ia tidak menemukan keberadaan
seseorang.
Karena merasa telah selesai menyelidiki bagian dalam toko, Pasha
teringat dengan pak Rohan dan merasa khawatir padanya sehingga membuat Pasha
bergegas untuk menyusul pak Rohan. Begitu sampai di depan toko, Pasha mulai
berteriak memanggil pak Rohan. Namun pak Rohan tidak juga menyaut panggilannya.
Rasa khawatirnya semakin memuncak hingga membuat Pasha berlari ke belakang
toko. Sesampainya disana ia tidak menemukan pak Rohan walau ia berteriak
sekeras-kerasnya memanggil nama pak Rohan. Rasa takut mulai menjalar ke diri Pasha,
ia menjadi was-was dengan sekelilingnya. Tubuhnya mulai gemetar, keringat
mengucur deras dari dahi menetes deras ke pundaknya. Sekilas dari sudut matanya
ia melihat sekelibat bayangan bergerak dengan cepat menghilang dari
pandangannya. Hal itu semakin menambah ketakutan dari Pasha. Tubuhnya gemetar
semakin hebat seakan kakinya tidak bisa menahan beban badannya lagi.
Dan
seketika sesuatu menyentuh pundak Pasha dari arah belakang. Pasha yang sudah
sangat ketakutan berteriak sekeras-kerasnya bahkan sampai terduduk di lantai.
Teriakannya berhenti begitu ia mengetahui kalau, sosok itu adalah pak Rohan.
“Pak Tolong jangan buat
saya keget seperti itu pak!” kata Pasha dengan marah dan kesal, karena hal itu
bisa saja membuat jantungnya copot.
“Maaf nak Pasha tapi
tadi saya mendengar nak Pasha berteriak jadi saya langsung menghampiri kamu”.
Pasha kembali berdiri dan membersihkan bagian belakang
celananya yang kotor sambil berkata “Jadi apa yang bapak temukan?”
“Saya tidak bisa
menemukan apa-apa. Terlebih karena kabut ini saya hampir tidak bisa melihat
keadaan toko ini dengan jelas” ucap pak Rohan menjelaskan apa yang ia temukan.
“Tapi...” sambung pak Rohan “saya merasa ada orang yang mengikuti saya”.
“Saya juga merasa
diikuti pak” sambung Pasha dengan cepat.
Diskusi mereka berdua terhenti karena mereka mendengar
sebuah tawa seorang anak kecil. Tawa itu bergema di sekitar mereka, seakan
mengelilingi mereka. Semakin lama tawa itu terdengar semakin tidak nyaman,
menjadi lebih menyeramkan dan semakin menyeramkan. Pasha yang sudah sedari tadi
ketakutan tidak sanggup untuk berdiri, ia jongkok dan menutup mata dan
telinganya seperti anak kecil. Berbeda dengan Pasha, pak Rohan nampak siap
dengan senter dan sebatang tongkat kayu yang ia ambil tadi saat melakukan investigasi.
Suara tawa itu semakin menjadi-jadi dan membuat pak Rohan semakin mantap untuk
melakukan serangan.
Suara
tawa itu berhenti sejenak lalu berbisik di telinga pak Rohan dengan lembut
sambil berkata “ayah...”
Seketika pak Rohan menjatuhkan senter dan tongkat kayu dari
genggamannya. Mendadak ia melihat putrinya dihadapannya, mengenakan gaun kecil
berwarna merah muda, dengan rambut yang di ikat kebelakang dan hiasan rambut
berbentuk telapak kucing di rambutnya, tersenyum hangat pada Rohan.
“Meili.... Apa itu kamu
nak? Ini ayahmu nak. Ayah
merindukanmu... ayah san.... ayah sangat merindukan mu...” air mata jatuh deras
dari mata pak Rohan.
“Apa yang kau katakan
pak? Disana tidak ada siapa-siapa” kata Pasha yang melihat pak Rohan mulai
bertingkah aneh.
Pasha sama sekali tidak melihat siapa-siapa di hadapannya,
hanya ada kabut tebal. Berbeda dengan pak Rohan yang mana ia melihat putrinya
dihadapannya, tersenyum hangat pada ayahnya. Dan sepertinya kerinduan dari pak
Rohan terhadap anaknya sudah membutakan logikanya. Pasha merasa akan berbahaya
membiarkan pak Rohan dibiarkan begitu, sehingga ia harus mencoba menyadarkan
pak Rohan.
Pasha berdiri dan mulai mengguncang bahu pak Rohan. Namun
pandangannya masih menatap ke depan. Karena belum berhasil, Pasha berpindah ke hadapan
pak Rohan dan kembali mengguncang pundak pak Rohan sambil memanggil namanya.
Namun mau seberapa keras usahanya ia tetap tidak berhasil menyadarkan pak
Rohan.
Putri pak Rohan yang tersenyum itu, entah kenapa tiba-tiba
menangis, dan berlari menjauhi pak Rohan. Pak Rohan yang melihat hal itu
langsung bergegas mengejar putrinya dan tidak menghiraukan Pasha yang ada di
hadapannya dan meningalkannya begitu saja. Pasha yang merasa tidak bisa
melakukan apa-apa hanya bisa menunduk meratapi nasibnya sekarang, berada di
tempat yang menyeramkan, sendirian. Tetapi ia kembali teringat dengan kebaikan
yang pernah diberikan oleh pak Rohan padanya. Disaat hari pertama bekerja,
tatapannya yang galak, membuat orang-orang enggan untuk berbicara dengannya,
namun hanya pak Rohan yang berani berbicara padanya.
Pasha memantapkan hati dan berniat untuk menyusul pak
Rohan. Ia berlari ke arah pak Rohan pergi sebelumnya. Pasha berlari hingga
nafasnya sedikit terengah-engah. Seketika tubuh Pasha terbujur kaku ketika
menemukan pak Rohan sudah tidak bernyawa di tangan seorang gadis kecil
berkepang dua dengan mata hitam pekat tanpa adanya putih dimatanya, mengunyah
kepala pak Rohan seperti jajanan dengan giginya yang tajam. Tersenyum lebar
kehadapan Pasha, bagian dari otak pak Rohan jatuh ke jalanan, darah mengucur
deras dan membasahi gaun one piece putih milik gadis itu. Gadis, bukan, makhluk
itu jongkok dan mengambil potongan otak yang jatuh tadi dengan tangannya yang
hitam di bagian jari dan menawarkannya pada Pasha.
Pasha tak bisa bergerak karena sudah sangat ketakutakan,
keringat dingin terus mengucur deras, tangannya mendingin sedingin es, bahkan
tanpa ia sadari ia sudah kencing di celana. Angin sedikit bertiup dan menutupi
sosok itu hingga tidak terlihat lagi, Pasha memberanikan dirinya untuk
menyenteri tempat dimana makhluk itu berada, namun nampaknya sosok itu sudah
pergi. Hatinya nampak tenang walau hanya sedikit namun seketika terdengar suara
tawa kecil disebelah telinga Pasha yang membuat ia langsung lari terbirit-birit
meninggalkan tempat itu.
Ia terus berlari bahkan sampai Pasha tidak sadar kalau ia
sudah sampai di jembatan. Ia terus berlari selama 40 menit tanpa henti. Karena
sudah kelelahan Pasha tersungkur di jalanan, nafasnya terasa berat dan matanya
mulai kabur. Namun sesaat ia melihat burung-burung terbang menjauhi Summer
Island, dan suara tawa menggema dengan sangat jelas. Sebuah tawa yang begitu
jahat dan menyeramkan. Pasha masih mencoba untuk menjauh dari pulau itu dengan
cara menyeret tubuhnya. Perasaan takut, gelisah, sedih dan tak nyaman memenuhi
dirinya. Hingga akhirnya ia pingsan di jembatan.
Seorang pengendara mobil yang berasal dari kota Nuevo
melintasi jembatan bertujuan untuk mengunjungi sanak keluarganya di Summer
Island. Ditengah perjalanan ia menemukan seseorang yang pingsan dan langsung membawanya
kembali ke kota Nuevo. Pria itu dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan desas desus
apa yang terjadi di Summer Island mulai menyebar luas di Negara Venti. Para
masyarakat yang ada di selat Gaib dekat kota Nuevo mulai melihat keanehan dan
penampakan di Summer Island, yang membuatnya menjadi topik hangat di Venti.
Konspirasi
9 Desember 2019, pukul
7.30 pagi.
Di suatu
apertemen, lantai 3, kamar nomor 310, di kota Agra, seorang perempuan sedang
terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan pakaiannya dengan
tergesa-gesa, lalu di mulutnya terdapat roti tawar yang baru saja ia panggang
di panggangan roti. Apartemen itu begitu berantakan, kaleng-kaleng minuman
bersoda ada di lantai, pakaian berada di sofa, dan buku-buku berserakan di atas
meja makan. Selesai bersiap-siap perempuan itu mengunci pintu apartemennya dan
bergegas turun kebawah.
Perempuan itu bernama Rio Alamanda, seorang reporter dari
stasiun televisi, Doortv . Pagi itu
ia mendapat pesan dari atasannya untuk datang ke kantor karena ada rapat
penting yang mendadak, padahal hari itu merupakan hari liburnya. Tentu saja itu
membuat Rio menjadi kesal dan mengoceh pada atasannya, karena mengganggu hari
liburnya. Sesampainya di luar apartemen, temannya Rio yaitu Cassandro Riga,
orang yang bekerja di tempat yang sama dengan Rio dan juga merupakan seorang
kameramen, ia menunggu di dalam mobil van sambil memakan permen karet. Begitu
Riga melihat Rio di luar apartemen, ia langsung membukakan pintu vannya dan
memanggil Rio.
“Kak Rio, apa kakak
sudah siap berangkat?” katanya sambil mengunyah permen karet.
“Tunggu sebentar, aku
ingin mengecek apakah barangku tidak ada yang tertinggal” ucap Rio sambil
melihat-lihat isi tas tangannya. “Sepertinya semua sudah lengkap, ayo
berangkat”. Dan Rio masuk ke dalam van dan akhirnya mereka berangkat.
Pagi itu, jalanan belum terlalu ramai oleh kendaraan, jadi
kemungkinan mereka bisa sampai dengan cepat. Di dalam mobil, wajah Rio masih
saja cemberut kesal, ia membuang wajahnya ke arah jendela dan membiarkan rambut
hitam panjangnya di mainkan oleh angin. Riga melihat ke arah Rio dan mengetahui
rasa kesal yang dirasakannya, ia juga merasa kesal harus di panggil pagi hari
ke kantor di hari liburnya. Padahal kemarin malam Riga baru saja bergadang
menamatkan game Kid of War Ragnarok.
Dan karena hal itu saat ini ia merasa sangat mengantuk dengan kantung mata di
bawah matanya.
Lampu merah menyala dan mobil mereka berhenti, disaat Riga
sedang meregangkan badannya sambil menguap, tiba-tiba Rio berteriak mengumpat
pada atasanya, Kansovino. Ia mengumpat dan memberikan kata-kata mutiara pada
atasannya itu yang membuat Riga kaget.
“DASAR KANSOVINO
BANGSAT!!”
“Apa kak Rio tidak
apa-apa?” ucap Riga dengan perlahan.
Rio menatap tajam ke arah Riga dan berbicara, “TENTU SAJA
TIDAK!.....”. Rio terdiam sejenak dan menyadari kalau ia sudah melakukan hal
yang tidak baik dan meminta maaf pada Riga, “Maaf Riga, aku tiba-tiba teriak
pada mu”.
“Iya tidak apa-apa kak
Rio”. Riga melihat lampu merah telah berubah menjadi hijau dan ia kembali
melanjutkan perjalanannya. Untuk menenangkan hati Rio yang saat ini sedang
kesal, Riga juga mengutarakan perasaan kesalnya dengan berkata, “Aku juga kesal
dipanggil pagi begini sama si tua Kansovino itu”.
Dengan
wajah bahagia, Rio menganggukkan kepala dan berkata, “Kau benar Riga, kau
benar. Maksudku kita sedang menjalani hari libur yang sangat jarang kita
dapatkan, tetapi kita malah harus kembali bekerja. Padahal aku sedang ingin
memulai aktivitas liburanku”
“kak Rio benar, padahal
aku ingin segera memainkan game Recall of
Duty yang baru rilis dua hari yang lalu”.
“Apakah setiap hari kau
selalu bermain game Riga?” tanya Rio sambil kembali memandangi hal-hal diluar
jendela.
“Ya, tidak setiap hari
juga. Aku melakukannya hanya pada hari libur saja”.
“Hmmm....” kata Rio
sambil mencuri pandang ke arah Riga. “Apa kau tidak tertarik pergi ke suatu
tempat Riga?” tanya Rio yang spontan dengan wajah yang sedikit malu, membuat
Riga sedikit kaget dengan pertanyaan barusan.
“Mungkin tidak
ada.....” kata Riga dengan jeda yang sedikit panjang, lalu ia teringat dengan
sesuatu dan berkata pada Rio, “Ada. Sebenarnya ada tempat yang ingin aku
kunjungi”.
Wajah Rio yang kesal kembali sedikit bersemangat dan ia
menoleh ke arah Riga dengan berkata, “Ooh, tempat apa itu?”.
Riga menatap Rio dengan tatapan yang sedikit menyeramkan
sambil tertawa pelan. Dan dengan mendadak aura mengantuk dari Riga seketika
menghilang dan ia mendadak bersemangat kemudian berkata, “Aku ingin pergi ke
Summer Island”.
“Kau ingin pergi ke
Summer Island?” ucap Rio dengan penuh tanda tanya. “Kenapa kau ingin pergi ke
Summer Island?” tanya Rio dengan penuh heran.
“Eh?.... apa
jangan-jangan kak Rio belum lihat berita tentang Summer Island?” balik tanya
Riga.
“Tidak. Emangnya ada
apa dengan Summer Island?”
Dan setelah itu Riga menjelaskan berita atau kabar tentang
Summer Island yang ia dapatkan dari internet beberapa hari belakangan ini
kepada Rio. Selama 15 menit dalam
perjalanan Riga menjelaskan panjang lebar, dan Rio lupa kalau temannya itu
sangat menyukai hal-hal yang berabau konspirasi. Dan setelah Riga menjelaskan
panjang lebar, Rio hanya menanggapi semua hal itu dengan rasa tidak percaya.
Menurutnya semua kejadian, dan berita yang ada di internet itu hanyalah sekedar
hoax belaka. Mendengar hal itu membuat Riga tak sependapat dengan Rio yang
membuat mereka terus berdebat di sepanjang perjalanan. Perdebatan mereka
berhenti ketika mereka akhirnya sampai di Stassiun televisi Doortv.
Mereka naik ke lantai 4 dan masuk ke ruangan Maneger
Stasiun. Di dalam ruangan sudah menunggu seorang pria berumur lima puluhan
dengan rambut yang hampir memutih karena usia, dan begitu juga kumisnya yang
hampir menutupi keseluruhan mulutnya. Dengan setelan kemeja putihnya dan pena
merah yang berada di saku kanan kemejanya dan dengan tanda pengenal bertuliskan
Kansovino di kiri kemejanya, pria itu duduk di kursinya dan menyambut
kedatangan mereka berdua.
“Selamat datang kalian
berdua. Saya mengahargai kehadiran kalian disini, jadi silahkan duduk”.
Rio dan Riga saling menatap dan mereka duduk di hadapan
pria itu. Kansovino menyodorkan sebuah kertas berisi diagram perbandingan
antara program acara telivisi dari stasiun Doortv
dan juga program acara televisi dari stasiun UmbrellaTv. Ansovino mejelaskan kalau kedua stasiun tv ini
merupakan dua stasiun yang terus bersing beberapa tahun belakangan ini, namun
baru-baru ini terjadi peningkatan penonton dari salah satu program acara tv di UmbrellaTv. Yang mana acaranya membahas
tentang hal-hal gaib atau hal-hal spuranatural yang terjadi di Venti. Dan oleh
karena itu pemilik dari stasiun UmbrellaTv
yang juga merupakan teman Kansovino berkata kalau ia memenangkan persaingan
itu.
Dan karena hal itu pula, Kansovino memutuskan untuk membuat
membuat acara serupa di stasiun televisinya. Acara yang membahas hal-hal
supranatural dan gaib, lalu Kansovino menunjuk Rio sebagai host dari acara itu
dan Riga sebagai kameramen. Medengar hal itu membuat mereka menolak ide dari
atasnnya itu, dengan alasan keputusan itu dibuat terburu-buru tanpa mendengar
persetujuan mereka terlebih dahulu.
Mendengar komplain dari bawahannya, Kansovino mengeluarkan
tabletnya yang berisi berita mengenai
hal-hal aneh yang terjadi di Summer Island dan menunjukkannya pada Rio dan
Riga.
“Apa kalian sudah
mendengar tentang kabar ini?” tanya Kansovino kepada mereka berdua, dan tentu
Rio dan Riga mengiyakan pertanyaan tersebut. “Jadi...” sambungnya, “Aku
mengetahui keputusanku ini sedikit terburu-buru, dan belum menanyakan pendapat
kalian. Tapi aku ingin kalian pergi terlebih dahulu kesana untuk pengambilan
gambar sebelum UmbrellaTv atau
stasiun tv yang lain mendahului kita. Dengan hal itu, rating dan jumlah
penonton kita akan meningkat dengan drastis”.
“Bukankah berita yang
beredar di internet mengenai Summer Island itu hanyalah berita hoax belaka
pak?” kata Rio yang kokoh dengan pendiriannya sedari awal.
“Saya tidak begitu
peduli tentang hal itu. Mau berita itu palsu atau benar sekalipun saya tidak
memperdulikannya. Ini merupakan kesempatan emas bagi kita karena stasiun tv
yang lain belum melakukan pergerakan”.
Kansovino mengambil kembali tabletnya, lalu menyeruput kopi
yang ada di mejanya. Hasil rapat pagi itu adalah mereka akan pergi ke Summer
Island dan meliput berita disana, walau hari itu merupakan hari libur mereka.
Mereka keluar dari stasiun televisi dan sekarang berada di parkiran mobil.
Dengan rasa kesal yang tak terbendung lagi Rio melampiaskan kekesalannya dengan
cara mengumpat dan memukul-mukul dinding. Sedangkan Riga berteriak
sekeras-kerasnya berhubung tidak ada orang di parkiran saat itu. Namun sebuah
mobil baru saja memasuki lapangan parkir dan mereka kembali bertingkah normal
dan masuk kedalam van.
Rio dan Riga memutuskan kembali ke rumah masing-masing
untuk mempersiapkan beberapa pakian ganti, karena perjalanan dari ibukota ke
Summer Island setidaknya membutuhkan waktu 4 sampai 6 jam tergantung situasi di
jalan. Mobil van mereka sudah sampai di apartemen milik Rio, dan Riga akan
menjemputnya tengah hari nanti. Rio berjalan masuk ke dalam apartemennya dengan
lesu. Ia membuka apartemennya dan di sambut dengan pemandangan yang berantakan.
Rio menghela nafas, ia sangat ingin membersihkan ruangan ini, tetapi tuntutan
pekerjaan dan sedikitnya waktu ia dirumah membuatnya tidak bisa melakukan
aktivitas bersih-bersih.
Ia mengganti pakaiannya dan menyempatkan sedikit merapikan
ruangan apartemennya. Namun di tengah pekerjaannya itu sebuah telepon
berdering, dan ketika ia mengangkatnya ternyata yang menelepon adalah ibunya. Sudah
lama ia tidak mendengar kabar dari ibunya itu. Rio melepas rindu di telpon,
semua ia ceritakan pada ibunya mulai dari pengalaman saat ia bekerja hingga
saat kejadian dimana ia mencoba memasak ikan namun ikan tersebut malah terbang
keluar. Semua cerita itu membuat mereka tertawa hingga melupakan waktu.
Rio
bercerita panjang lebar setelah itu, sampai-sampai tanpa disadari, jam sudah
menunjukkan pukul setengah dua belas dan ia hanya punya waktu setengah jam
untuk mempersiapkan barang-barangnya untuk ke Summer Island. Rio berpamitan dengan ibunya dan mengambil
sebuah koper berukuran sedang dan memasukkan beberapa potong baju, celana, dan
barang-barang lainnya. Dan tak lupa pula ia memasukkan kartu persnya kedalam
tas. Untungnya ia berhasil mengemas barang-barangnya sebelum Riga datang. Tak
lama waktu berlalu, Riga mengabari kalau ia sudah sampai di depan apaertemen
Rio. Rio membawa keluar kopernya lalu mengunci kamar apartemennya dan pergi
menghampiri Riga yang ada di depan. Setelah merasa tidak ada yang tertinggal,
mereka berangkat.
Di dalam perjalanan Riga bercerita bahwa setelah pulang
dari kantor itu, ia langsung tidur agar tidak mengantuk saat menyetir nanti.
Riga juga tak lupa membawa perlengkapan kameranya dan ia membawa sebuah kamera
handycam untuk berjaga-jaga. Dan setelah
itu mereka mulai membahas tentang bagaimana pengambilan gambar akan dilakukan.
Mereka berdebat karena Rio merasa gaya pengambilan dokumeter lebih cocok untuk
acara seperti ini, sedangkan menurut Riga gaya pengambilan reality show lebih
cocok. Mereka berdebat panjang di sepanjang perjalanan, hingga mereka sepakat
untuk memilih gaya pengambilan dokumenter.
Tak terasa sudah lima jam waktu yang mereka tempuh dari
ibukota dan akhirnya mereka sampai di kota Nuevo. Mereka berhenti sejenak
disana untuk membeli beberapa snack dan minuman di sebuah swalayan. Lalu mereka
melanjutkan perjalanan, namun begitu sampai di depan jembatan penghubung ke
Summer Island mobil mereka diberhentikan oleh beberapa petugas polisi. Rio
menjelaskan kalau mereka dari stasiun televisi ingin meliput berita di Summer
Island, namun sayangnya para polisi itu bersikeras tidak memperbolehkan
siapapun ke Summer Island untuk saat ini. Para petugas polisi itu meminta
mereka untuk memutar balik kendaraan mereka. Rio yang merasa bingung mencoba
meminta penjelasan dari penutupan itu dan pihak polisi hanya mengatakan kalau
saat ini sedang ada kebocoran nuklir dari pembangkit listrik yang ada di Summer
Island.
Dengan berat hati Rio dan Riga harus memutar mobil mereka
kembali. Namun mereka tidak berencana untuk pulang begitu saja ke kota Agra.
Mereka berenca untuk kembali ke kota Nuevo dan melanjutkan penyelidikan esok
hari. Jadi mereka segera mencari penginapan di kota Nuevo dan dengan batuan
dari GPS, mereka berhasil sampai di penginapan di kota Nuevo. Lalu mereka
menyewa dua kamar untuk satu malam. Setelah selesai mengangkat barang ke kamar,
mereka beristirahat sejenak dan melakukan mandi sore di kamar masing-masing.
Malamnya Rio dan Riga pergi keluar untuk mencari makan
malam, dan mereka memutuskan untuk makan cumi bakar yang ada di salah satu rumah
makan di kota Nuevo. Setelah selesai makan malam, mereka berencana untuk
membahas pengambilan gambar untuk esok hari. Riga mengusulkan untuk pergi ke
rumah sakit kota Nuevo dan mewawancarai orang yang selamat dari Summer Island.
Kabar mengenai orang itu yang ditemukan di jembatan Summer Island membuat
berita mengenai sudah terjadi sesuatu di Summer Island menjadi semakin
menjadi-jadi. Karena tidak ada pilihan lain Rio menyetujui keputusan Riga, dan
mereka kembali ke penginapan untuk bersitirahat.
Di dalam kamarnya Rio membuka handphone dan menscroll layar
hp nya pada kabar-kabar yang beredar di internet mengenai Summer island. Rio
membaca berbagai tanggapan dan pendapat orang tentang hal itu, ada yang tidak
percaya sama seperti dirinya, namun ada juga yang percaya. Alasan mereka
percaya adalah karena mereka tidak bisa menghubungi teman, atau keluarga mereka
yang tinggal disana. Orang-orang berpendapat kalau pemerintah sebenarnya sedang
menutupi sesuatu. Orang-orang di internet berpendapat kalau sebenarnya
pemerintah sedang melakukan suatu proyek rahasia di Summer Island, dan
menjadikan penduduk bahkan wisatawan yang disana sebagai objek percobaan
mereka. Pendapat itu tidak masuk akal, namun banyak yang mempercayainya. Ada
pula orang yang berpendapat kalau suatu makhluk yang menyebabkan semua hal aneh
di Summer Island. Pendapat itu disertai dengan berbagai ragam foto yang sengaja
atau tidak sengaja di ambil oleh orang-orang dari seberang pulau. Bahkan mereka
mengatakan, mereka mendengar sebuah raungan dari arah Summer Island.
Kembali lagi, semua gambar atau rekaman suara itu bisa saja
merupakan hasil editan seseorang yang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk
menjadi viral. Hal itu merupakan pemikiran yang paling logis menurut Rio.
Tetapi walau akalnya merasa kalau argumen itu adalah alasan yang paling masuk
di akal, tetapi hatinya merasa ada yang salah dengan itu. Para polisi
mengatakan kalau terjadi kebocoran di pembangkit listrik, jadi seharusnya para
penduduk di ungsikan ke tempat yang aman, tetapi orang-orang mengatakan kalau
mereka tidak bisa menghubungi orang yang tinggal di Summer Island. Hal itu
menjadi sangat aneh kalau dipikir-pikir.
Karena terlalu memikirkan hal itu Rio yang tadinya
berbaring di tempat tidurnya, bangun dari kasurnya. Ia mengambil air yang ada di meja di
sebelahnya, dan mengambil obat tidur yang ada di dalam tasnya. Kemudian ia
meminum obat itu untuk bisa tidur malam itu dan kembali merebahkan badannya di
tempat tidur. Walau ia masih saja kepikiran dengan semua itu, ia mencoba
menutup matanya, dan akhirnya Rio tertidur. Didalam mimpi Rio kembali teringat
dengan masa lalu dimana ia sempat dirundung oleh teman sekelasnya pada saat
SMP. Mereka membully Rio dikarenakan Rio tidak mengenal siapa ayahnya, dan
sedari kecil ia memang di asuh oleh ibunya sendiri. Ia tidak mengenal ayahnya
dan saat ingin membicarakan tentang ayahnya, ibunya selalu nampak sedih. Hal
itu juga yang membuat Rio menjadi benci dengan ayahnya, walau ia tidak
mengenalnya.
Setelah kembali mengingat masa lalunya disaat tidur, Rio
terbangun oleh alarm yang berasal dari handphonenya. Ia terbangun pukul 7 pagi,
dengan mata yang masih mengantuk Rio pergi ke kamar Riga yang ada di sebelah
dan mengetuk pintu kamar untuk memastikan apakah Riga sudah bangun atau belum. Tak
lama setelah Rio mengetuk pintu kamar, Riga berjalan ke arah pintu kamar untuk
membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, Rio yang masih mengumpulkan kesadaran
tanpa sadar melihat tubuh bagian atas Riga yang begitu atletis. Sesaat Rio
memandangi tubuh itu dengan kagum dan tanpa sadar terus memperhatikannya.
Sedangkan Riga yang baru saja bangun masih setengah sadar, ia menggaruk
kepalanya dan menguap sambil memejamkan mata. Namun saat ia membuka matanya, ia
melihat Rio dengan piyama berwarna hitam dengan dua kancing bagian atasnya yang
terbuka. Melihat itu, Riga dengan reflek mengalihkan pandangannya dari Rio dan
bertanya apa keperluannya.
“Kak Rio....sedang apa
sepagi ini?”
“Aku hanya mengecek
apakah kau sudah bangun atau belum. Lalu aku ingin bilang kita ke rumah sakit
pukul 9, jadi jangan lupa bersiap-siap. Kita bisa mencari sarapan nanti” kata
Rio sambil mengusap matanya
Walau
Rio berkata begitu, ia melihat ada yang aneh dengan tingkah laku Riga. Ia
melihat Riga seperti tidak ingin melihatnya. Rio mengira apakah ada hal yang
aneh dengannya, lalu ia melihat pakaiannya yang terbuka dan sedikit
memperlihatkan dadanya. Secara sigap Rio langsung berbalik dan berjalan kembali
ke kamarnya dengan wajah merah padam karena malu. Begitu sampai di kamarnya ia
terduduk di balik pintu sambil menutupi wajahnya dan bergumam, “Bodohnya aku”
dengan perlahan. Begitu rasa malunya sudah hilang, ia bersiap-siap untuk mandi.
Pukul
setengah delapan, Riga sudah menunggu di dalam mobil van dengan mengenakan baju
kemeja abu-abu yang dibiarkan terbuka, membuat baju dalamnya yang berawarna
putih terlihat. Lalu ia mengenakan celana jeans panjang berwarna hitam dan
tidak lupa ia mengenakan kartu pers nya yang tergantung di lehernya. Di dalam
mobil Riga merapikan rambut blondenya dengan sisir yang sedari tadi ia cari.
Tak berselang lama Rio datang ke arah mobil van. Riga melihat Rio yang
mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih, yang dimana lengan bajunya ditarik
sampai dekat siku, lalu di padukan dengan vest berwarna hitam dan celana
Frontier berwarna hitam. Pakian yang dikenakan Rio saat ini sangat cocok dengan
rambut hitam panjangnya yang terurai, sehingga menambah kecantikan dan
keanggunannya.
Karena
Rio sudah datang, mereka langsung pergi ke luar untuk mencari sarapan pagi itu.
Mereka memutuskan untuk sarapan dengan nasi goreng Yangzhou di sebuah restoran
yang cukup terkenal di kota Nuevo. Tak perlu menunggu lama, sebuah nasi goreng
dengan warna keemasan di atas piring putih telah tersaji. Sekilas tidak ada yang berbeda dari nasi goreng
biasa, namun begitu suapan pertama masuk ke dalam mulut, barulah rasa yang
begitu kompleks yang tadinya tersembunyi dalam bentuk yang sederhana itu
menunjukkan rasanya. Rasa gurih, manis, asin, memenuhi mulut. Begitu sudah
mereasakan kenikmatan dari suapan pertama, dijamin membuat ketagihan. Makan di
tempat itu merupakan pengalaman yang tak bisa digantikan.
Selesai makan, mereka berniat langsung pergi kerumah sakit
dan menemui orang yang dimaksud. Satu-satunya saksi yang mengetahui sesuatu di
Summer Island. Tak perlu waktu lama untuk sampai disana karena jarak rumah
sakit dengan rumah makan tadi tidaklah begitu jauh. Tepat pada pukul 9 mereka
sampai ditempat tujuan. Begitu sampai di rumah sakit Rio dan Riga melihat di
meja resepsionis terdapat dua orang perempuan, yang satu perempuan dengan
rambut pendek warna cokelat terang dan
yang satunya perempuan dengan rambut cokelat gelap yang di ikat ke belakang.
Rio menghampiri meja resepsionis dan perempuan berambut pendek datang melayani
Rio. Kemudian Rio meminta waktu untuk bertemu dengan kepala rumah sakit.
“Maaf kak, Kami dari
stasiun televisi Doortv, ingin
melakukan wawancara dengan salah satu pasien dari rumah sakit ini, apakah saya
boleh bertemu dengan kepala rumah sakit ini untuk meminta izin?” tanya Rio
dengan sopan.
“i..itu..... sebenarnya
tidak bisa...” kata resepsionis itu dengan ragu
Ada
jeda dalam perkataannya dan matanya sesekali melirik ke arah resepsionis yang
ada di sebelahnya. Seketika, mereka bertukar tempat, dan sekarang Rio berbicara
dengan resepsionis dengan rambut yang diikat.
“Maaf, tapi untuk saat
ini, bapak kepala rumah sakit sedang keluar, jadi beliau tidak ada di
ruangannya” kata perempuan itu dengan lembut dan senyum dibibirnya. Namun Rio
mengetahui kalau itu hanyalah kebohongan belaka.
Karena ada yang tidak beres, Rio berkata, “Kalau begitu
kami akan menunggu sampai beliau datang kembali”.
“Maaf, tapi saya tidak
tahu kapan beliau akan datang lagi, jadi saya tidak merekomendasikan hal itu”
kata si resepsionis dengan sedikit jengkel.
Namun Rio membalas, “Tidak apa-apa”.
Hasilnya terjadi pertengkaran psikologi diantara mereka
walau yang terlihat hanyalah sebuah senyuman palsu. Namun beberapa saat
kemudian datang seorang bapak-bapak menghampiri mereka. Orang itu berperawakan
botak dengan keriput wajah yang sudah terlihat di bagian dahi, kumis dan
janggutnya yang menyatu dan memutih, mengenakan kemeja putih dan jas labotarium
putih dan celana hitam.
“Ada apa Nia? Apa ada
masalah?” kata orang tua itu.
“Tidak ada pak” kata
Nia, si resepsionis berambut cokelat yang diikat.
Rio menghampiri orang tua itu dan memperkenalkan dirinya,
“Perkenalkan saya Rio Alamanda, dari stasiun tv Doortv, apakah bapak kepala rumah sakit ini?” tanya Rio.
“Iya itu benar,
perkenalkan nama saya Dr. Muller Samantha, Sp.KJ, ketua dan pemilik rumah sakit
ini”.
Setelah bertemu dengan orang yang dimaksud, Rio langsung
mengutarakan maksud kedatangannya, “Saya dan rekan saya datang kesini dengan
maksud untuk melakukan wawancara dengan salah satu pasien yang ada disini”.
“Dengan siapa yang ada
maksud?” tanya pak tua itu.
“Dengan pasien yang
bernama Pasha Ragan. Orang yang ditemukan di jembatan Summer Island dan dibawa
kesini pada tanggal 1 Desember kemarin”.
“Maaf, tapi itu tidak
bisa” kata pak tua itu dengan datar.
Mendengar jawaban dari pak Muller itu membuat Rio
kebingungan. Ia meminta alasan kenapa hal itu tidak bisa dilakukan dan pak tua
itu berkata kalau pasien itu saat ini berada dalam pengawasannya secara
langsung. Pasha, orang itu mengalami trauma yang parah sekali sampai mengganggu
kejiwaannya. Sampai-sampai ia tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan. Pak
tua itu menjelaskan kalau jiwanya Pasha seakan telah tersobek dan berserakan
berhamburan. Karena pak tua itu adalah seorang dokter spesialis kejiwaan, ia
tidak bisa membiarkan Rio dan Riga menambah rasa trauma dengan mengingat
penderitaan pasiennya.
Rio paham dengan situasinya, dan ia pergi keluar
meninggalkan rumah sakit. Begitu Rio dan Riga keluar dari gedung rumah sakit,
Pak Muller menekan beberapa nomor dan memanggil seseorang, “Bisakah saya
berbicara dengan nona Nacht? Iya saya ingin mengabari beliau kalau ada orang
yang ikut campur. Baiklah akan saya tunggu kabar dari beliau”. Pak Muller
menutup telponnya dan menghela nafasnya dalam-dalam sambil berjalan menuju
ruangannya.
Rio
dan Riga pergi ke tempat parkir dan langsung masuk ke dalam mobil. Rio masih
memikirkan langkah yang harus mereka ambil untuk selanjutnya. Mereka tidak bisa
pergi ke Summer Island, melakukan wawancara dengan satu-satunya saksi mata
tidak juga bisa mereka lakukan. Rio benar-benar sudah kehabisan ide. Dan karena
itu mereka memutuskan untuk kembali ke hotel. Di tengah perjalanan Rio
memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar, ia memperhatikan dengan
sangat serius hingga ia mendapatkan sebuah ide. Rio meminta Riga untuk pergi ke
taman kota dan melakukan beberapa wawancara dengan penduduk kota Nuevo terkait
rumor Summer Island.
Sesampainya di taman kota, mereka mengambil peralatan
mereka dan bersiap melakukan tanya jawab dengan orang yang lewat. Tak berselang
lama, orang-orang berjalan ke arah mereka dan Rio langsung menanyai mereka.
Begitu banyak orang yang telah diwawancarai dan kebanyakan mereka tidak tahu,
atau tidak percaya dengan rumor tersebut. Namun banyak pula yang mengeluarkan
spekulasinya pada saat di wawancarai. Mereka mengatakan telah terjadi hal
diluar nalar di Summer Island. Sampai mereka bertemu dengan seorang pria
berumur 40an yang ingin pergi ke Summer Island untuk menemui istri dan kedua
anaknya. Ia mengatakan kalau ia telah menyewa perahu seorang nelayan yang
berada di selat Gaib. Mendengarkan hal itu, Rio langsung meminta izin untuk
ikut dengan pria itu ke Summer Island. Dengan sedikit pertimbangan pria itu
memperbolehkan mereka untuk ikut, dan mereka berjanji untuk bertemu di gerbang
keluar kota Nuevo.
Investigasi
10 Desember 2019, pukul
10:24 pagi
Rio dan Riga mengakhiri sesi pengambilan gambar wawancara
di taman kota itu, dan langsung berangkat ke hotel untuk mengambil barang
mereka. di tengah perjalanan menuju hotel Riga menjadi sangat bersemangat
karena hal seperti ini sudah menjadi keinginannya. Berbeda dengan Riga, Rio
malah sedikit khawatir, karena ia terus memikirkan hal-hal yang aneh
menurutnya, terlebih lagi setelah ia mengetahui kalau saksi mata itu sampai
mengalami gangguan kejiwaan. Apa yang sudah dialami oleh orang itu? Pertanyaan
itu terus terngiang di dalam benak Rio. Namun ia mencoba untuk tidak
memikirkannya dan mencoba untuk fokus dengan pekerjaannya.
Mereka telah mengemas barang-barang mereka dan pergi ke
tempat yang dijanjikan. Disana Pria itu telah menunggu mereka di dalam
mobilnya. Pria itu bernama Adam Valentin, perawakannya seperti pria kantoran
dengan rambut hitam lebat yang klimis, tidak memiliki kumis dan janggut, postur
tubuhnya juga cukup kekar untuk seorang yang bekerja di kantor. Adam
menjelaskan kalau tujuannya pergi ke Summer Island adalah untuk menjemput
keluarganya. Ia menjelaskan kalau ia sudah kehilangan kontak dengan keluarganya
selama enam hari, Adam terus menerus menghubungi keluarganya, namun tidak ada
balasan sama sekali. Tetapi dua hari yang lalu ia mendapatkan pesan dari
istrinya yang meminta Adam untuk menjemput mereka di Summer Island. Dan karena
itulah ia berencana pergi ke Summer Island dan setelah berhasil menjemput
keluarganya Adam akan pergi meninggalkan pulau itu secepatnya.
Rio bersedia
membantu Adam untuk mencari keluarganya dan mereka berangkat ke tempat perahu
itu berada. Tujuan Rio dan Riga ke Summer Island adalah untuk mengambil video
tentang keadaan disana, dan kalau mereka beruntung mereka bisa bertemu dengan
hal supranatural disana. Setelah berkendara selama setengah jam, mereka sampai
di sebuah rumah dari seorang nelayan. Mereka keluar dan menghampiri si nelayan
yang sedang duduk di teras rumah menunggu kehadiran Adam. Adam menyapa nelayan
itu dan memperkenal Rio dan Riga.
“Pak Melvin, ini adalah
Rio dan Riga, mereka akan ikut dengan kita ke Summer Island. Mereka dari
stasiun tv Doortv”.
Pria tua itu melihat ke arah Rio dan Riga dengan tajam, ia
memandangi mereka dari atas sampai ke bawah. Setelah mengamati mereka pria tua
itu tersenyum menjulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya, “Perkenenalkan
saya Melvin, salah satu nelayan di selat Gaib ini dan maaf karena memperhatikan
kalian begitu serius. Karena cuaca yang mendung ini penglihatan saya jadi
berkurang” kata pak tua itu dengan suaranya yang besar.
“Perkenalkan saya
reporter dari Doortv, Rio Alamanda.
Dan ini rekan saya Riga seorang kameramen yang menemani saya” kata Rio sambil
menjabat tangan pria tu itu.
Setelah berkenalan, pak Melvin mengajak mereka untuk masuk
terlebih dahulu kedalam rumahnya untuk membahas rencana mereka. Dan tak lama
setelah mereka duduk di ruang tamu, hujan turun dengan sangat lebatnya. Di
dalam rumah, istrinya Melvin datang dan menghidangkan Teh kepada mereka semua.
Mereka menikmati teh itu dan setelahnya mereka mulai berdiskusi. Adam yang
memulai pembicaraan dengan membahas bayaran sewa perahu.
“Jadi kira-kira berapa
biaya sewa perahu pak Melvin? Apakah jumlah yang saya tawarkan kemarin cukup?”
“Sebenarnya jumlah
segitu sudah lebih dari cukup, tapi... apakah pak Adam ingin membayarnya
sendiri? Terlebih kita mendapatkan orang tambahan” kata pak Melvin sambil
melirik ke arah Rio dan Riga.
Riga bertanya pada Adam, “Memangnya berapa biaya yang sudah
anda sepakati pak Adam?”
“Kami sepakat dengan
jumlah 300 Rupi. Dan saya sudah membayar setengahnya pada pak Melvin, untuk
mempersiapkan perlengkapan dan bahan bakar”.
“Baiklah, kalau begitu
kami yang akan membayar setengahnya” kata Rio. Yang berarti pembahasan mengenai
biaya sewa perahu telah selesai.
Diskusi terus berlanjut sampai satu jam dan hasilnya pak
Adam, Rio dan Riga akan pergi ke Summer Island mencari keluarga pak Adam,
sekaligus merekam dan mengambil gambar untuk keperluan pekerjaan Rio dan Riga.
Sedangkan pak Melvin akan menunggu di dermaga dan mengamankan perahu agar bisa
pergi dari sana dengan cepat. Dengan uang yang sudah dibayarkan oleh pak Adam
sebelumnya, pak Melvin sudah membeli berbagai perlengkapan seperti senter, dan
tiga walkie talkie untuk berkomunikasi. Pak Melvin menjelaskan kalau saat ini,
berada di dekat pulau Summer Island sinyal komunikasi yang ada di handphone dan
smartphone akan menghilang, dan karena hal itu pak Melvin membeli alat
komunikasi yang lain.
Mereka
telah mempersiapkan semua keperluan dengan sangat matang, baik mempersiapkan
barang-barang mereka bahkan persiapan mental, namun karena hujan deras tak
kunjung reda, mereka memutuskan untuk mulai makan siang bersama dan berharap
hujan dapat segera berhenti. Sekitar 30 menit mereka menikmati makan siang, dan
untungnya hujan sudah mulai mereda namun kabut tebal datang menyelimuti. Kabut
itu menutupi seluruh selat hingga pulau Summer Island yang seharusnya dapat
terlihat dengan mata, kini tidak lagi nampak. Walau begitu semangat mereka
tidaklah luntur, mereka segera berjalan ke arah dermaga yang berada di belakang
rumah pak Melvin. Riga meninggalkan kamera lapangannya di rumah pak Melvin dan
berencana untuk merekam dengan menggunakan kamera Handycam. Lalu setelah itu
satu persatu mereka menaiki perahu dan setelah semuanya telah naik, perahu itu
mulai meninggalkan dermaga.
Riga
mulai merekam dan menyorot suasana selat Gaib yang sedang tertutupi kabut. Pak
Adam dan Rio berada berada di dekat pak Melvin yang sedang mengemudikan
perahunya di atas ombak.
“Sudah beberapa hari
ya, saya tidak mengemudikan perahu ini” kata pak Melvin dengan senyum di
wajahnya. Lalu ia meneruskan, “Seminggu yang lalu disaat saya dan anak saya
sedang menangkap ikan di timur pulau Summer Island, saat itu cuaca sedang
sangat buruk, angin bertiup kencang dan ombak laut sangat ganas. Saya dan anak
saya mendengar sebuah raungan dari arah pulau. Dan semenjak hari itu saya
memberhentikan sementara kegiatan nelayan saya. Saya menjadi takut untuk
mendekati pulau itu” kata pak Melvin menceritakan pengalamannya.
Mendengar
cerita tersebut membuat Rio menjadi kembali memikirkan rumor tentang Summer
Island, kini keyakinannya terhadap rumor itu menjadi goyah. Kini ia beranggapan
kalau kabar yang beredar di internet benar adanya. Hal itu bukan membuat Rio
menjadi takut, justru ia menjadi sedikit bersemangat. Sekarang sudah 15 menit semenjak
mereka berangkat. Perahu itu terus melaju dan menghadang ombak yang ada di
hadapannya. Tujuan mereka adalah pergi ke timur pulau, tempat para penduduk
tinggal dan setelah itu mereka akan pergi mencari keluarga Adam di sebuah hotel
yang berada di sebelah barat kota Olaq. Alasan mereka tidak bisa langsung pergi
arah barat pulau, dikarenakan mereka harus melewati jembatan penghubung, dan
disana sudah ada polisi yang berjaga. Dan mereka tidak bisa memutari lewat
utara pulau karena ombak laut di utara pulau sangatlah ganas, tidak ada nelayan
yang mau pergi kesana dan bahkan ada yang nekat pergi kesana perahunya akan
mengalami kebocoran yang sangat parah.
Setelah
setengah jam, akhirnya mereka sampai di dermaga timur pulau Summer Island. Pak Melvin
turun ke dermaga lalu mengikatkan perahunya di dermaga. Mereka satu persatu
turun dari perahu. Suasana sepi mulai terasa, tidak ada suara hewan, apalagi
suara manusia. Pak Melvin membagikan walkie talkie nya kepada pak Adam, dan
Rio, lalu satu lagi di pegang oleh pak Melvin sendiri. Riga merekam keadaan
yang sepi itu, walau kabut tebal menutupi semuanya. Mereka mempersiapkan mental
mereka dan mulai berjalan meninggalkan dermaga. Tak lama setelah itu datang
panggilan dari pak Melvin.
“Dari kapal mengabari,
apakah suara saya terdengar dengan jelas?” ucap pak Melvin dengan suara walkie
talkie yang sedikit tersendat-sendat namun masih terdengar.
“Disini Rio. Frekeunsinya
mungkin sedikit terganggu tapi suara bapak masih terdengar dengan jelas, ganti”
ucap Rio dengan sedikit gembira ternyata alatnya bisa berfungsi dengan baik.
“Itu bagus sekali.
Berhati-hatilah kalian, ganti”.
“Baik pak” ucap Rio
sambil meneruskan langkahnya.
Mereka berjalan dengan perlahan karena jarak pandang yang
tidak begitu jauh jadi mereka berhati-hati. Mereka berjalan beriringan dan
berusaha untuk tidak terpisah cukup jauh karena kabut yang tebal ini bisa
memisahkan mereka. Selama perjalanan pak Adam menceritakan tentang keluarganya.
Ia memiliki seorang putra berumur 15 tahun, yang saat ini sudah menginjak
sekolah menengah pertama. Lalu ia memiliki seorang putri yang berusia 9 tahun.
Awalnya mereka berencana untuk pergi berlibur bersama di Summer Island, namun
karena pak Adam mempunyai pekerjaan mendadak dari atasannya ia terpaksa
membiarkan kedua anaknya dan istrinya pergi terlebih dahulu ke Summer Island
dan ia akan menyusul mereka begitu pekerjaannya telah selesai. Namun begitu
hendak menyusul keluarganya, ia tidak bisa lagi menghubungi keluarganya.
Ditambah pak Adam membaca kabar atau rumor tentang apa yang terjadi di tempat
itu yang membuatnya semakin khawatir.
Rio dan Riga mendengarkan cerita dari pak Adam, dan ikut
khawatir dengan nasib keluarga pak Adam. Bukan hanya itu, Rio juga
mengkhawatirkan orang-orang yang ada di Summer Island saat ini, mereka seakan
hilang ditelan bumi, tidak ada kabar dari mereka. Walau begitu mereka harus
terus berjalan menemukan apa yang mereka cari. Tak butuh waktu lama, mereka
akhirnya telah sampai di perumahan tempat para warga tinggal. Lampu setiap
rumah tidak ada yang menyala, begitu juga dengan lampu jalan. Suasana sepi
sangat terasa, hari yang mendung dan kabut menutupi seluruh tempat menambah
suasana mencekam.
Mereka berjalan di jalanan yang sunyi itu dengan perlahan. Seketika
terdengar suara nyanyian katak meminta hujan, mereka bersamaan mengeluarkan
suara yang sedikit melengking. Perasaan mereka bertiga mendadak menjadi tidak
enak. “Ayo bergegas pergi menuju kota” teriak pak Adam sambil menutupi
telinganya. Dan mereka bertiga berlari menuju pusat kota.
Setelah berlari cukup jauh, mereka berhenti sejenak untuk
mengambil nafas. Terlihat sekali kalau stamina Rio yang paling banyak terkuras,
“Kita istirahat sebentar dulu. Aku sudah tidak kuat lagi” minta Rio sambil
ngos-ngosan. Riga menyetujui ide itu, namun tidak dengan pak Adam.
“Kita sudah dekat
dengan hotel tempat keluarga ku menginap, jadi cepat kita segera ke sana!” ucap
pak Adam dengan menaikkan nada suaranya.
Riga tidak menyukai sikap pak Adam barusan dan kembali
membentak pak Adam, “Haa?! Apa maksudmu berbicara begitu?”
“HAA!? Apa kau mengeluh
bocah?”
Perselisihan terjadi diantara mereka berdua, mereka saling memegang
kerah masing-masing sambil memperlihatkan emosi mereka, sampai Rio yang sedang
mengumpulkan tenaga berusaha menghampiri mereka dan melerainya. “Sudahi
pertengkaran kalia...”
Tiba-tiba ada tangan yang membungkam mulut Rio dari
belakang dan berusaha untuk menculiknya. Riga yang sadar dengan seketika
langsung mengejar Rio disusul dengan pak Adam yang mengikuti Riga dari
belakang. Namun usaha mereka dihentikan oleh orang-orang yang mengenakan
pakaian kultus aneh dan mengenakan topeng putih polos dan lambang kecil di
dahinya lalu terdapat gambar sebuah tangan dengan mata di tengahnya. Rio masih
sempat memberontak dengan memukul-mukul tubuh si penculik namun karena kesal,
Rio dibuat tak sadarkan diri dan dibawa ke suatu tempat.
Sementara itu Riga dan pak Adam berusaha kabur dari kejaran
orang-orang kultus itu. Riga terus berlari sambil memegangi handycam miliknya
dengan kuat. Mereka memanfaatkan kabut tebal ini dan segera bersembunyi di
sebuah gang kecil dan akhirnya mereka lolos dari kejaran orang-orang itu.
“Kita harus
menyelamatkan Rio” gumam Riga pada dirinya sendiri.
Pak Adam yang mendengar itu menjadi geram dan memegang
kerah baju Riga dan berkata “Kalau kau ingin menyelamatkan perempuan itu,
lakukanlah sendiri. Aku akan mencari keluarga ku”. Pak Adam melepaskan kerah
baju Riga dan mulai berjalan menjauhi Riga dan menghilang di dalam kabut tebal.
Kini
tinggal Riga seorang diri, ia duduk di gang itu sambil memandangi Handycamnya.
Ia termenung dan lamunannya membawanya ke masa sewaktu ia pertama kali
mengunjungi Summer Island. Waktu itu ia pergi bersama ayah dan ibunya. Mereka
pergi bermain di pantai, jalan-jalan di kota, berbelanja dan melakukan semua
kegiatan yang menyenangkan. Setelah bersenang-senang mereka berhenti di taman
pusat kota dan entah kenapa Riga kecil terus saja menatap sebuah bangunan yang
arsitekturnya berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Riga kembali tersadar
dari lamunannya dan entah dari mana dirinya yakin kalau Rio berada di tempat
“itu”. Dan segeralah Riga menuju tempat yang ia maksud.
Di
dalam monumen Dirilis, Rio tersadar dari pingsannya dan mendapati ia berada di
dalam bangunan yang mirip dengan gereja. Banyak bangku-bangku dan terdapat
sebuah altar di bagian depan. Di belakang altar terdapat jendela yang memakai
kaca patri yang melukiskan sesuatu yang tidak Rio mengerti. Rio terus
memperhatikan sekitarnya hingga ia tak sadar dengan seorang pria yang tengah
duduk di bangku paling depan. Pria itu seperti membaca sesuatu. Menyadari Rio
telah bangun dari pingsan, pria itu datang menghampirinya. Pria itu
berperawakan tinggi, dengan bentuk wajah oval, rambut tipis yang sudah memutih,
keriput di dahi dan tulang pipinya yang terlihat. Mengenakan pakaian kultus
yang sama dipakai dengan orang yang menangkap Rio, dan di tangan kirinya terdapat
sebuah buku.
“Anda sudah bangun,
nona Rio” kata pria itu dengan sedikit membungkuk ke arah Rio. “Perkenalkan
saya adalah Demetrius, orang yang menjunjung dan mencintai bumi”.
Mendengar perkataan dari Demetrius, malah membuat Rio
semakin bingung dengan perkataannya. Mencintai bumi? Kata-kata dari pria aneh
itu semakin membuat Rio bingung.
“Maaf sebelumnya atas
perbuatan anak-anak yang membawamu kemari, mereka tidak pernah belajar sopan
santun”.
“Apa maksudmu? Aku sama
sekali tidak mengerti. Lagipula kenapa aku dibawa kesini? Dimana aku? Dimana
teman-teman ku?” pertanyaan terus diutarakan oleh Rio sambil memberontak agar
tali yang mengikat tubuhnya bisa lepas.
“Tenanglah nona kecil,
aku tidak akan menyakitimu, karena kau adalah orang yang cukup penting”.
Perkataan dari Demetrius menambah pertanyaan dalam diri Rio. Melihat wajah
bingung darinya, Demestrius melanjutkan, “Alasan kenapa kami membawamu kemari
karena kami hanya ingin mengamankan mu, cuma itu saja”.
“Mengamankan ku dari
apa?”
Mata Demestrius menatap tajam ke arah Rio, dan matanya yang
hijau zamrud itu memantulkan refleksi diri Rio, “Ancaman yang tidak bisa kau
bayangkan” kata Demestrius yang membuat Rio mengingat semua rumor yang telah ia
baca di internet. Demestrius duduk di sebelah Rio yang sedang terikat. Ia
membuka buku usang berwarna hitam yang ada di tangannya sedari tadi. Buku itu
nampak sudah tua, dan ada gambar garis lingkaran dan di tengah lingkaran itu
terdapat gambar semacam hewan? Makhluk? Apapun itu. Rio melihat sedikit isi
dari buku itu, namun ia tidak bisa membacanya sama sekali. Rio sama sekali
tidak pernah melihat bahasa seperti itu. Namun Demestrius terus melembar isi
buku seakan ia mengerti isi dari buku itu.
Sekitar sepuluh menit ia membaca buku itu, Demestrius
menutup bukunya dan berjalan meninggalkan Rio dengan segudang pertanyaan yang
membekas di kepalanya. Demestrius memasuki salah satu ruangan, dan tidak
terlihat lagi meninggalkan Rio sendiri ruangan itu. Riga yang sedari tadi
mengintip, menunggu momen ini untuk menyusup dan membebaskan Rio. Melalui
sebuah jendela kecil yang tidak dijaga, Riga berhasil menyelinap masuk dan
berjalan mengendap-ngendap ke tempat Rio. Begitu berhasil sampai, Rio sangat
senang melihat kehadiran Riga.
“Dimana Pak Adam? Dia
tidak bersama mu Riga?”
Wajah Riga sedikit kesal mengingat pak Adam, “Dia pergi
mencari keluarganya”.
“Baguslah, cepat
lepaskan aku dan kita bisa membantu pak Adam mencari keluarganya”
“Apa yang kau maksud
kak Rio? Orang itu sudah meninggalkan mu dan kakak masih ingin membantu dia?”
tanya Riga dengan kesal mendengar perkataan Rio.
“Apa maksudmu Riga?”
kata Rio dengan heran, “Keputusan yang diambil pak Adam adalah keputusan yang
paling logis”.
“Apa maksud mu, kak
Rio?”
“Yang kumaksud adalah,
jika aku berada di posisi pak Adam, aku juga akan lebih mementingkan mencari
keluargaku daripada mencari orang yang baru aku temui hari ini”.
Mendengar perkataan Rio, Riga hanya bisa terdiam dan melepaskan
tali yang mengikat Rio. Setelah terlepas, Rio dan Riga langsung keluar dari
monumen Dirilis, mereka segera menuju hotel dimana keluarga pak Adam berada.
Agak jauh memang dari posisi mereka, tetapi hanya membutuhkan waktu sekitar 20
menit. Mereka berhasil sampai di hotel Yuyake, tempat keluarga pak Adam berada.
Mereka berhenti di luar bagunan hotel, lalu Rio mencoba memanggil pak Adam
menggunakan walkie talkie, namun tidak ada jawaban. Tak ada pilihan lain selain
mencari pak Adam ke dalam Hotel.
Melangkah masuk kedalam hotel, mereka disambut dengan
perasaan tidak mengenakkan. Pintu kaca otomatis hotel masih berfungsi, dan
beberapa lampu di resepsionis juga masih menyala. Suasana sepi sungguh terasa,
hanya ada suara air yang berasal dari air mancur di dalam hotel. Mereka
mendekati meja resepsionis dan mencoba menghidupkan komputer yang ada di atas
meja, dan untungnya komputernya juga masih bisa menyala. Riga yang
mengoperasikan komputer, langsung mencari daftar pengunjung hotel dan mereka
menemukan sebuah kamar yang tempati atas nama Adam Valentin, kamar itu adalah
kamar 505.
Setelah mengetahui hal itu, mereka langsung bergerak menuju
kamar nomor 505. Karena berada di lantai 5, Rio sedikit was-was menggunakan
lift, sehingga ia menyarankan untuk memakai tangga saja. Mereka menggunakan
tangga barat untuk pergi ke lantai 5. Membutuhkan tenaga untuk sampai ke lantai
5 dan akhirnya mereka sampai disana. Segera mereka langsung mencari kamar 505,
namun terlihat jejak darah di lantai. Mereka mengikuti jejak darah itu dan
ternyata mengarah ke kamar 505. Rio dan Riga berdiri di depan kamar, mereka
saling bertatapan untuk sejenak, keduanya ragu untuk masuk. Riga kembali
menyalakan kamera Handycamnya dan perlahan membuka pintu. Rio yang berdiri di
belakang merasa gelisah, detak jantungnya berdetak sangat kencang. Dan begitu
pintu terbuka mereka melihat...
****
Penyesalan
45 menit sebelum itu.
Setelah berpisah dengan Riga, pak Adam berlari
sekencang-kencangnya menuju hotel Yuyake. Dikepalanya teringat wajah anak-anak
dan istrinya yang menunggu kedatangannya. Namun ditengah perjalanannya, pak
Adam kembali di kejar dengan orang-orang dari kultus. Dengan segala cara pak
Adam coba agar bisa lolos dari mereka namun sayangnya tidak berhasil. Pak Adam
sudah tidak memiliki harapan lagi, satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah tetap
berlari menuju hotel Yuyake. Dari kejauhan papan nama hotel Yuyake sudah
terlihat, hati pak Adam kembali senang sampai ia lupa kalau ia sedang dikejar.
Namun begitu pak Adam menoleh kebelakang ia sudah tidak melihat orang yang
mengejarnya. Pak Adam berhenti dan mengambil kembali nafasnya sebelum masuk ke
dalam hotel.
Begitu pak Adam melangkahkan kaki ke dalam hotel, perasaan
tidak enak langsung datang menghampirinya. Tapi sayangnya ia tidak memikirkan
hal tersebut, karena kerinduannya pada keluarganya sangatlah besar. Keadaan di
dalam hotel sangat sepi, hanya ada suara air mancur yang mengisi kesunyian
ditempat itu. Pak Adam segera berjalan ke arah lift, begitu pintu lift terbuka
ia melangkah masuk dan menekan tombol untuk menuju ke lantai 5. Pintu lift
tertutup dan secara perlahan naik ke lantai berikutnya. Diruangan yang sempit
itu, perasaan tidak enak yang sempat ia rasakan semakin menjadi-jadi. Begitu
sampai di lantai 3, lift berhenti lalu terbuka membuat pak Adam sedikit
bingung. Beberapa lama pak Adam menunggu, pintu lift tak kunjung tertutup, ia
menoleh keluar lift dan menyadari seluruh lampu di lantai itu tidak menyala. Karena
kesabarannya habis, pak Adam menekan tombol tutup berulang kali. Pak Adam melihat
ke ujung lorong, secara samar-samar ia melihat sebuah bayangan berjalan menuju
ke arahnya. Secara perlahan bayangan itu berjalan mendekat, melihat hal itu pak
Adam menekan tombol tutup pada lift secara berulang kali. Bayangan itu
berhenti, diam tak bergerak selama beberapa saat. Pak Adam kebingungan melihat hal
itu, namun hatinya terus gelisah sehingga ia semakin cepat menekan tombol lift.
Dan benar saja kegelisahan pak Adam benar, bayangan itu secara tiba-tiba
berlari menuju lift. Pak Adam benar-benar panik, ia terus menekan tombol itu
dengan cepat, hingga sebelum bayangan itu dapat mendekat pintu lift dapat
tertutup dan kembali lift bergerak ke atas. Pak Adam menghela nafasnya
dalam-dalam karena ia merasa lega dapat lepas dari sesuatu yang mengejarnya
tadi.
Entah dengan keberuntungan apa, pak Adam berhasil sampai di
lantai lima. Ia melangkahkan kaki keluar dari lift dan berjalan menuju ruangan
505. Berbeda dari lantai 3, lampu di lantai 5 ini menyala sehingga membantu pak
Adam mencari kamar keluarganya berada. Begitu sampai di depan kamar, pak Adam
mulai mengetuk pintu dan memanggil nama istrinya.
“Azarin, ini aku. Aku
datang untuk menjemput kalian”.
Tak ada jawaban dari dalam kamar, membuat pak Adam semakin
khawatir. “Azarin, sayang, buka pintunya aku datang sesuai janjiku, Sayang”
kata pak Adam sambil mengetuk pintu kamar dengan semakin kencang. Dan akibat
terlalu keras mengetuk, tidak sengaja pintu kamar itu terbuka dengan
sendirinya. Suasana kamar itu sangat gelap, namun tercium samar-samar bau amis
entah darimana. Pak Adam menyalakan senter yang ia bawa sambil berjalan masuk
ke dalam kamar. Ia menerangi satu-persatu sudut ruangan dengan senternya, namun
ia masih tidak bisa menemukan keluarganya.
Kamar yang ditempati oleh keluarga pak Adam adalah jenis
kamar Family Room, ukurannya yang
besar sehingga membuat pak Adam sedikit kesulitan memeriksa keseluruhan kamar
ditambah ruangan kamar yang gelap. Namun begitu pak Adam mendekati kasur, ia
menemukan tubuh istrinya yang sudah membusuk, tergeletak di samping kasur. Pak
Adam menangis sejadi-jadinya melihat orang yang dicintainya pergi dengan begitu
mengenaskan. Bau busuk keluar dari jasad istrinya dan belatung merangkak keluar
masuk dari tubuh itu. Air mata tetap keluar dari mata pak Adam, dan begitu pula
isi perutnya. Ia memuntahkan semua isi perutnya setelah itu ia lanjut menjerit,
menangis meratapi kepergian istrinya.
Dalam tangisnya, pak Adam menggenggam walkie talkienya, ia
memandangi benda itu dengan rasa penyesalan. Dalam hatinya ia menyalahkan
dirinya karena tidak menjemput keluarganya lebih awal. Sekarang istrinya telah
tiada, dan anak-anaknya masih hilang tidak diketahui.
“Ayah?”
Secara tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar dari
arah pintu, dan terlihat siluet gadis kecil. Adam mengarahkan senternya ke arah
gadis kecil itu, dan terlihat seorang gadis dengan gaun one piece putih dan
rambut hitam yang dikepang dua, mata cokelat milik gadis itu bersinar begitu
terkena cahaya.
“Michela?” kata pak
Adam dengan tak yakin.
“Ayaaahhh...” teriak
gadis itu berlari ke arah Adam sambil meneteskan air mata. Gadis kecil itu
menangis di pelukan Adam, Pak Adam masih tidak percaya dengan kenyatan ini. Ia
memeluk putrinya dengan erat, ia mencium pipi putrinya dan bersyukur kalau ia
masih bisa bertemu dengan putrinya.
“Ela, dimana abang mu?
Dan apa yang terjadi?” kata pak Adam sambil melepas pelukannya.
Awalnya wajah Michela sedikit ragu, matanya melirik ke
bawah dan kembali menatap ayahnya. Mulutnya yang kecil itu terbuka dan
terdengar suara serak yang berisikan kesedihan, “Ela juga gak tau. Tiba-tiba
aja, kabut datang dan terus orang-orang berteriak”. Ia terhenti, dan wajahnya
memucat, “Mama memeluk Ela dan abang. Kami sembunyi di dalam kamar, tapi
tiba-tiba mama menyuruh Ela sama abang sembunyi di dalam lemari”, Cerita gadis
itu terhenti disana, dari wajahnya pak Adam tahu kalau putrinya sangat trauma
dengan kejadian itu.
“Terus Ela, bang Deon
dimana?”
“Kalau bang Deon ada di
pantai. Ayo yah, kita ketemu sama bang Deon” kata putrinya sambil menarik
tangan pak Adam. Walau masih ada pertanyaan yang mengganjal hatinya, kini pak
Adam hanya bisa menuruti putrinya itu.
Pak Adam menggandeng tangan Michela dengan erat, namun
begitu melangkahkan kaki dari kamar, lengan pak Adam tersayat oleh sesuatu.
Darah mengucur cukup banyak di depan pintu kamar, dan setelah diselidiki
bayangan yang ada di lantai 3 tadi mengejar pak Adam. Melihat hal itu pak Adam
langsung menggendong putrinya dan berusaha untuk lari dari makhluk itu. Michela
mengarahkan ayahnya untuk keluar dari hotel menggunakan tangga timur. Butuh
usaha lebih untuk keluar dari hotel dengan jalur itu, tetapi mereka berhasil
keluar dari hotel.
Sesampainya di bawah pak Adam langsung membalut luka di
lengannya dengan menggunakan kain yang ia temukan di ruangan laundry hotel.
Walau tidak seberapa, setidaknya lukanya bisa sedikit tertutup. Michela
memegang tangan ayahnya, lalu dengan senyuman manisnya, ia menuntun pak Adam ke
tempat abangnya. Di belakang hotel Yuyake langsung mengarah ke pantai, tempat
turis biasanya berjemur dan bermain di laut. Pada saat itu kemungkinan hari
sudah sore, namun pak Adam tidak bisa melihat jam, karena jam tangannya sudah
hilang entah dimana, bahkan mau melihat posisi matahari tidak bisa dikarenakan
langit yang mendung ditambah kabut yang masih sama tebalnya. Pak Adam juga
teringat dengan walkie talkienya yang tertinggal di kamar hotel.
Tidak lama berjalan di pantai, mereka tak kunjung sampai di
tempat yang dimaksud Michela. Pak Adam semakin mendesak putrinya itu untuk
memberitahu dimana putranya berada. Michela mendadak berhenti dan angin
tiba-tiba berhembus, menerbangkan kabut yang ada disekitar mereka. Begitu
terkejutnya pak Adam, melihat putranya sudah terkubur dipantai. Seluruh
tubuhnya terkubur di pasir dan tinggal menyisakan kepalanya yang berada di
permukaan. Bibirnya sudah kering seperti gurun, kelopak bawah matanya sudah
menghitam, namun ia masih bernafas.
“Deon, kamu gak papa
nak? Deon, tolong jawab ayah” teriak pak Adam sambil mencoba menggali pasir
dengan tangannya. Air mata kembali jatuh melihat putranya tersiksa seperti ini.
“A..ayaah?” kata Deon
dengan suara yang lemah.
“Apa yang terjadi pada
mu nak? Ayah minta maaf karena terlambat menjemput kalian”.
Dengan sekuat tenaga, bocah itu berusaha menggerakkan
kepala untuk melihat ayahnya, “Ayah, tolong bawa kamera...ku...” suara Deon
semakin serak, ia mengambil nafas dan kembali mencoba untuk berbicara “Pergi
dari sini... Michela sudah berubah menjadi monster”.
Pak Adam mulai bingung dengan apa yang dibicarakan anaknya
tersebut, namun secara tiba-tiba terdengar suara raungan dari arah laut.
Raungan itu berbunyi sekali namun terdengar sangat keras, dan setelah itu muncul
sebuah garis lingkaran kuning raksasa menyala di atas laut. Sinarnya cukup
terang bahkan bisa menembus kabut tebal yang ada di pantai.
Deon menarik nafasnya dalam-dalam dan kemudian berteriak
pada ayahnya, “AYAAHH, BAWA KAMERA KU DAN PERGI DARI SINI, CEPAAT!!!”
Suara raungan tadi kembali berbunyi namun menjadi semakin
keras dan lingkaran kuning itu mendekat ke arah pantai. Melihat hal itu, seluruh
tubuh pak Adam merinding bukan main, dengan segera pak Adam mengambil kamera
yang dimaksud anaknya yang berada tak jauh darinya dan bergegas pergi walau
dengan berat hati ia harus meninggalkan putranya disana. Namun begitu kamera
telah berada di tangannya, secara mendadak perut kiri pak Adam tertikam oleh
sesuatu dari belakang. Ia menoleh kebelakang dan melihat Michela dengan mata
hitam pekat, dan gigi-giginya yang runcing tersenyum ke arahnya.
Melihat ayahnya tertikam, Deon yang hanya bisa menjerit
memanggil-manggil ayahnya. Ia mencoba untuk keluar dari sana, namun ia sudah
tidak lagi bisa merasakan anggota tubuhnya. Michela menikam pak Adam menggukan
tangannya yang berkuku tajam. Darah mengucur deras dari perut pak Adam. Ia
mencoba menekan luka di perutnya dengan tangan kirinya. Dan dengan sekuat
tenaga ia mencoba berjalan menjauhi area pantai. Michela hanya melihat pak Adam
pergi dengan tertatih-tatih sambil menjilati tangannya yang berlumuran darah,
ia membiarkan pak Adam pergi. Sedangkan Deon hanya bisa menangis melihat
ayahnya yang terluka pergi menjauhi area pantai. Dengan bersusah payah pak Adam
berjalan menjauhi pantai dan pada saat pak Adam berhasil mencapai hotel ia
kembali bertemu dengan Rio dan Riga.
****
Beberapa menit yang lalu
Dan begitu pintu terbuka Rio dan Riga melihat walkie talkie
milik pak Adam tergeletak di lantai. Mereka memasuki kamar 505 yang gelap
dengan menggunakan senter. Tak lama Rio mencium aroma busuk dari arah sebelah
kasur dan ketika di cek ternyata terdapat mayat soerang perempuan yang sudah
membusuk. Seketika Rio bergegas keluar kamar dan ia memuntahkan semua isi
perutnya. Riga datang menghampiri Rio dan memberikannya sebuah tisu. Mereka
pindah ke kamar yang ada di depan kamar 505, yang kebetulan mengarah ke pantai.
Riga membuka jendela kamar agar perasaan Rio bisa sedikit enakan. Namun secara
tiba-tiba mereka mendengar suara raungan yang sangat keras dari arah pantai.
Dan begitu raungan itu selesai, terlihat sebuah garis lingkaran raksasa
berwarna kuning berada diatas laut.
“Riga, kita harus
segera pergi dari sini” kata Rio yang melihat Riga sedang sibuk merekam hal itu
di jendela.
Karena tidak merespon, Rio mengguncang pundak Riga sehingga
kesadarannya kembali, lalu meminta Riga untuk pergi secepatnya. Mereka bergegas
berjalan keluar dari kamar, namun begitu keluar mereka dikejutkan dengan
kedatangan sebuah bayangan berbentuk humanoid yang berjalan mendekati mereka
dari arah tangga barat. Dan karena itu, mereka berlari menuju tangga timur.
Pada saat menuruni tangga, terdengar lagi suara raungan itu semakin keras, dan
karena itu mereka semakin mempercepat langkah kaki mereka untuk segera pergi
dari hotel itu. Begitu sampai di lantai 1 mereka kembali bertemu dengan pak
Adam dengan kondisi terluka parah pada bagian perut sebelah kiri.
“Kak Rio, apa yang
kakak tunggu, ayo pergi dari sini” kata Riga yang sudah sampai di depan pintu.
“Tunggu sebentar Riga,
aku akan menolong pak Adam terlebih dahulu” kata Rio dengan sigap langsung
mengambil taplak meja dan membalutkannya ke luka pak Adam.
Melihat apa yang dilakukan oleh Rio, Riga kembali mengoceh,
“Untuk apa saat ini kau menolong dia kak? Tinggalkan saja dia dan mari bergegas
pergi dari tempat ini!”
Dengan wajah yang marah, Rio menghampiri Riga dan kemudian
menampar wajahnya, “Apa kau meminta ku untuk meninggalkan orang yang terluka
dan membutuhkan pertolongan hanya agar aku bisa pergi menyelamatkan nyawaku?
APA BEGITU MAKSUDMU?” suara Rio meninggi membentak Riga. “Walau aku selamat,
aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku karena itu, kau tau” setetes air
mata jatuh ke pipi Rio. Lalu ia melanjutkan, “Kalau kau ingin pergi, pergilah,
selamatkan dirimu Riga” Rio mengakhiri kalimatnya dengan wajah kecewa dan
kembali membalut luka yang ada di perut pak Adam.
“Apa yang kau lakukan
Rio? Dia benar, tidak ada gunanya kau melakukan ini, aku sudah kehilangan
banyak darah dan kesadaranku semakin memudar. Mungkin waktuku tidak lama
lagi...”
“Apa yang pak Adam
bicarakan? Kalau bapak punya tenaga untuk mengucapkan hal itu, berarti bapak
masih punya kesempatan”.
Perkataan Rio barusan memberikan sedikit harapan bagi pak
Adam untuk dapat kembali hidup, demi nyawa keluarganya. Rio membopong pak Adam
dan membantunya berjalan keluar dari hotel Yuyake. “Terima kasih” hanya itu
yang bisa pak Adam katakan untuk membalas budi dari Rio. Begitu sampai di pintu
hotel Riga juga datang membantu Rio dalam membopong pak Adam.
“Aku tau kak Rio itu
adalah orang yang baik, sangat baik malahan. Jadi maafkan sikap ku tadi kak”
kata Riga dengan menyesal.
Rio tersenyum dan berkata, “tak apa Riga, mari kita bertiga
keluar dari pulau ini”.
Mereka berhasil berjalan meninggalkan hotel Yuyake cukup
jauh. Mereka memakai rute terpendek untuk pergi ke dermaga yang ada di timur
pulau. Dengan dipandu oleh Riga yang lumayan hafal dengan berbagai jalan pintas
di kota Olaq. Walau dengan jalan pintas butuh waktu lama agar mereka sampai di
tujuan. Langit sudah menggelap menandakan hari sudah malam. Rio menyinari jalan
yang begitu gelap karena kebanyakan lampu jalan sudah tidak menyala lagi.
Begitu sampai di pemukiman warga, Rio mengabari pak Melvin untuk bersiap-siap
pergi. Awalnya tidak ada jawaban dari walkie talkie, hanya ada suara sinyal
frekuensi kosong yang terdengar. Namun begitu mereka berjalan, terdengar jelas
suara pak Melvin menjawab dari kapal.
“Kapal siap berlayar
nona” kalimat sederhana itu membuat mereka bertiga bahagia.
Mereka bertiga berhasil sampai di dermaga, perahu kapal
milik pak Melvin sudah menyala dan siap berangkat. Yang pertama adalah pak
Adam, melihat kondisi pak Adam yang terluka parah membuat pak Melvin membantu
Rio dan Riga untuk menaikkan pak Adam ke atas perahu. Pak Adam dibaringkan dan
tangannya dengan erat menggenggam kamera handycam milik anaknya. Lalu
selanjutnya adalah giliran Rio yang menaiki kapal. Karena kondisi laut yang
berombak membuat kapal sedikit bergoyang membuat Rio hampir saja terjatuh ke
laut, dan untungnya pak Melvin dengan sigap membantu Rio.
Dan
giliran terakhir adalah giliran Riga yang menaiki kapal. Namun begitu hendak
naik, terdengar suara raungan yang sama dari arah kota dan dari kejauhan
terlihat lingkaran kuning raksasa yang bersinar terang dari arah sana. Riga
yang panik langsung melompat ke atas kapal, dan pak Melvin dengan rasa tak
percaya dengan apa yang dilihatnya bergegas menuju tempat kemudi. Kapal hendak
berangkat namun Riga menyadari kalau ia melupakan kamera miliknya di dermaga.
Ia meminta pak Melvin untuk menunggu sebentar. Pak Melvin mengiyakan hal
tersebut, dan Riga langsung melompat kembali ke dermaga. Ia melemparkan
kameranya pada Rio dan beruntung berhasil ditangkap. Namun naas bagi Riga,
seketika tubuhnya melayang lima meter ke udara dan seketika hancur begitu saja.
Darah berubah menjadi hujan, dan seluruh tubuh Rio hancur
tak bersisa layaknya sebuah balon yang meletus. Rio terdiam mematung melihat
apa yang baru saja terjadi. Pak Melvin dengan mantap langsung menjalankan
perahunya meninggalkan pulau Summer Island. Rio terduduk lemas, air mata jatuh
membasahi kamera handycam yang ada di genggamannya. Dunia seolah bisu tak
bersuara. Pak Melvin memanggil-manggil Rio, namun Rio sedang jatuh kedalam
kesedihan. Pak Melvin menghampiri Rio dan menepuk pundaknya dengan perlahan,
kembali Rio tersadar dari kesedihannya. Pak Melvin mengabari kalau pak Adam
juga sudah tiada akibat kehilangan banyak darah. Ia meninggal sambil
menggenggam sebuah kamera handycam di tangannya. Perasaan Rio hancur, waktu
tidak bisa di putar kembali, yang tersisa hanyalah penyesalan.
Perahu milik pak Melvin terus melaju kembali ke tempat
asalnya. Dan perjalanan pulang itu terasa sangat lama bagi Rio dan juga pak
Melvin. Di malam yang gelap mereka kembali pulang. Begitu perahu merapat ke
dermaga, Rio turun dari perahu dan kemudian berjalan dengan sempoyongan menuju
rumah pak Melvin. Begitu Rio membuka pintu depan rumah pak Melvin, ia disambut
oleh seorang perempuan berparas cantik dengan rambut panjang sebahu berwarna
putih dengan mengenakan jepit rambut berbentuk kelinci berwarna hitam.
Perempuan itu duduk di sofa dengan mengenakan setelan jas berwarna putih, lalu
dasi berwarna biru, dan mengenakan rok mini berwarna putih kemudian stoking
berwarna hitam dan sepatu high heels berwarna hitam.
Perempuan itu berdiri dan kemudian menghampiri Rio lalu
mengatakan, “Rio Alamanda, kau ditahan atas dakwaan telah menerobos wilayah
kerja Biro Keamanan Negara dan semua barang yang kau miliki akan disita sampai
sidangmu dilaksanakan” suara dari perempuan itu terdengar sangat lembut namun
mengandung kengerian dibaliknya. Dan mata berwarna kuning seperti bulan itu
menatap tajam ke arah Rio.
“Dan kau sendiri...
siapa?” tanya Rio dengan nada datar.
Perempuan itu terkejut dengan respon dari Rio dan ia
tertawa kecil, “maafkan aku” katanya sambil menyapu air matanya. “Ternyata aku
belum memperkenalkan diriku ya? Perkenalkan namaku adalah Nacht Schounheit, kau
bisa memanggilku Nach kalau kau mau” perkataannya ditutup dengan sebuah
senyuman seindah malam hari.
Awal
Bencana
29 November 2019, pukul
10:00 pagi
Sebuah mobil minibus melaju dengan kecepatan sedang,
menyeberangi selat Gaib melalui jembatan Summer Island. Matahari bersinar terik
pagi itu, dan mobil-mobil hilir mudik di atas jembatan. Pemandangan laut yang
sangat indah terbentang sejauh mata memandang. Burung-burung camar asyik
bermain bersama temannya sedang berlomba untuk menangkap ikan. Namun ada satu
orang yang cemberut di sepanjang perjalanan, ia adalah seorang gadis cilik,
dengan mata cokelat yang indah. Gadis itu merajuk karena mengetahui ayahnya
tidak bisa ikut dalam liburan mereka kali ini.
“Ela, sudah jangan
cemberut lagi. Nanti papa akan datang kok” kata Azarin, si ibu, menghibur
putrinya tersebut. “Itu liat, disana ada bianglala. Ela mau naik bianglala?”
“Endak mau, Hump!!”
kata gadis kecil itu sambil menggembungkan pipinya dan menyilangkan tangannya.
Ia duduk disebelah Azarin yang sedang mengemudi.
“Sudahlah bu, mari kita
langsung ke hotel saja. Paling nanti Ela akan berhenti marah ketika bermain di
pantai” kata Deon, kakak dari Michela yang lagi sibuk memainkan kamera
handycam, hadiah dari ayahnya.
Azarin tersenyum melihat sudah betapa dewasanya putranya
itu, “Anak mama ternayata sudah besar ya” kata Azarin yang membuat Deon menjadi
sedikit malu.
Mobil mereka terus melaju hingga mereka sampai di hotel
tempat tujuan mereka, Hotel Yuyake. Hotel itu adalah salah satu hotel terbaik
jika berkunjung ke Summer Island. Begitu memasuki hotel, nampak interior lobi
hotel yang begitu mewah, dengan beberapa pohon hias yang bisa menyala indah dan
beberapa sofa dan meja cantik yang menghiasi lobi hotel itu. Michela yang
tadinya cemberut, kini berlari-lari mengitari pohon hias itu dengan kegeringan.
Deon ikut mengejar Michela untuk menghentikannya. Azarin yang melihat tingkah
anaknya merasa bersalah dengan para tamu yang ada di lobi. Ia menangkap
putrinya itu dan menggendongnya namun Michela masih ingin bermain dengan lampu
cantik itu. Azarin mendekati meja resepsionis dan melakukan check in. Sebelumnya
suaminya telah memesan sebuah kamar hotel atas namanya, dan setelah respsionis
melakukan beberapa pengecekan, mendaratlah kunci kamar nomor 505 di tangan
Azarin. Mereka diantarkan oleh seorang porter yang juga membawakan dua buah
koper milik mereka.
Tak Perlu waktu lama, mereka telah sampai di kamar yang
dimaksud. Kamar yang mereka tempati adalah sebuah kamar dengan tipe Family Room, dengan dua kasur dengan
ukuran king size, sebuah sofa dan meja, dan satu buah lemari pendingin yang
berisi beberapa minuman bersoda dan ada juga rak yang ketika dibuka berisi
snack dan jajanan yang lain. Porter telah keluar dari kamar, Michela sedang
kegirangan melompat-lompat diatas kasur, Deon asyik mengambil video menggunakan
kameranya, sedangkan Azarin sedang duduk melepaskan rasa lelahnya.
Dikeluarkannya smartphone miliknya dan ia memanggil suaminya melalui video
call. Panggilan terangkat, dan wajah Adam terlihat dilayar smartphone. Azarin
memanggil kedua anaknya dan mengabari kalau ada ayah mereka disini. Si kecil
Michela berlari ke arah Azarin sambil berteriak “Ayaaah”.
“Ela, anak papa. Apa
Ela jadi anak baik bersama mama?” kata Adam dengan senyum bahagia di kantornya
melambai-lambaikan tangannya ke kamera.
“Iya, Ela sekarang jadi
anak baik sama mama”.
“Gadis pintar. Abang
Deon mana?”.
“Abang Deon lagi main
sama kameranya. Ela pergi panggil abang dulu”, kaki kecil itu cepat bergerak
menghampiri Deon yang sedang berbaring di kasur sambil mengutak-atik kameranya.
Kini tinggal mereka berdua, dengan wajah menyesal, Adam
meminta maaf pada istrinya, “Maaf ya sayang, aku tidak bisa menemani kalian
disana”.
“Tidak perlu meminta
maaf begitu sayang, itu semua akibat pekerjaan mendadak dari bos mu kan. Aku
tidak pernah menyalahkanmu” kata Azarin sambil tersenyum manis.
“Azarin” kata Adam kali
ini dengan wajah yang serius membuat Azarin menjadi sedikit gugup, “Aku akan
segera menyelesaikan pekerjaan ku di sini dan akan langsung menyusul kalian”.
Tawa kecil keluar dari Azarin dan membuat Adam sedikit
bingung, “Haha iya, kalau bisa segeralah kesini sayang. Aku... sedikit kesepian
tau” kata Azarin sambil merayu suaminya itu. Tangan Azarin mengelus perutnya
dan berkata “Lagipula aku ingin kau disini untuk mengumumkan anggota keluarga baru
kita”.
“Kau benar. Walau usia kehamilanmu
baru sebulan jangan terlalu memaksakan diri ya”
“Iya sayang” kata
Azarin dengan tersenyum bahagia karena suaminya sangat memperhatikannya.
“Kalau begitu aku pamit
dulu ya, jangan lupa titip salam buat anak-anak”.
“Iya, jangan lupa
istirahat ya sayang, i love you”
“I love you too” balas suaminya sebelum menutup telepon. Azarin
berdiri dari sofa dan melihat kedua anaknya sedang bertengkar. Dimana Michela
mencoba menyeret Deon untuk ketemu dengan ayahnya, sedangkan Deon masih ingin
waktu dengan kameranya. Agar pertengkaran mereka berhenti, Azarin mengajak
mereka untuk bermain di pantai.
Saat Azarin dan keluarga berjalan di pantai, semua mata
tertuju padanya karena mereka terpesona dengan kecantikan dari Azarin. Walau
umurnya sudah masuk ke 35 tahun, tetapi penampilannya masihlah menarik dengan
bentuk tubuh seperti buah pir. Azarin menggunakan pakaian renang model tankini
berwarna steel blue, lalu terdapat bagian yang menutupi sebagian lengan bagian
atasnya dengan warna abu-abu. Lalu pada bagian bawah, ia mengenakan celana pendek
diatas paha berwarna hitam dan menggunakan sandal. Dan tak lupa pula Azarin
menggunakan topi floppy hat, karena sinar matahari yang sangat terik.
Untuk Michela, ia menggunakan model pakaian renang yang
sama dengan ibunya, namun dengan warna pink kesukaan Michela. Sedangkan Deon
hanya memakai celana renang dan kacamata hitam, dan tak lupa kamera di
tangannya. Siang itu Deon asyik merekam kegiatan keluarganya di pantai, mulai
dari makan bersama di pantai, membuat istana pasir, lalu saat Azarin
mengajaknya bermain air di laut, Deon menolak dengan alasan ia akan mengambil
video saja. Azarin dan Michela bermain bola plastik di laut, namun karena
Azarin memukul bola tersebut terlalu keras bola mereka malah mendarat ke tempat
yang agak dalam. Azarin ingin mengambil bola yang terlempar itu, tetapi Michela
bersikeras ingin mengambil bola tersebut. Sebagai ibu, Azarin merasa khawatir
apabila terjadi apa-apa pada putrinya. Sekali lagi Michela meyakinkan ibunya,
ia memegang tangan Azarin dan berkata kalau ia sudah bisa berenang dan Michela
meyakinkan Azarin kalau tempat itu tidak terlalu dalam.
Azarin mempercayai putri kecilnya itu, dan Michela pergi
ketempat bola mereka mengambang. Walau begitu, Azarin tetap mengikutinya dari belakang.
Awalnya ada sedikit rasa khawatir, namun ketika Michela berhasil mengambil bola
itu dan tersenyum ke arah Azarin, rasa khawatir itu pun menghilang. Gadis kecil
itu melangkahkan kakinya hendak menuju tempat yang lebih dangkal dan kembali
bermain bola bersama ibunya, namun tiba-tiba tubuh kecil Michela tenggelam.
Azarin yang berada di dekat putrinya dengan sigap langsung menangkap tangan
putrinya itu. Tetapi tubuh Michela terasa sangat berat seakan ada yang
menariknya ke dasar lautan. Azarin berteriak pada Deon untuk membantunya. Deon
langsung melemparkan kameranya ke pasir dan bergegas berlari ke arah ibunya untuk
membantu menarik tubuh Michela. Walau begitu mereka masih tidak sanggup, Deon
berteriak sekencang-kencangnya meminta pertolongan hingga menarik perhatian
orang yang ada di pantai.
Penjaga pantai datang menghampiri mereka dan berusaha
membantu. Tangan Azarin sudah mati rasa, dan sudah tidak sanggup lagi memegang
tangan putrinya itu, hingga terlepaslah pegangan dari Azarin dan Michela tenggelam
kedasar lautan. Azarin menjerit memanggil nama putrinya itu dan orang-orang
ikut menyelam mencari Michela. Azarin dibawa ke pantai dan Deon terus berusaha
menenangkan ibunya.
Tak
beberapa lama seorang pria yang merupakan penjaga pantai datang ke arah Azarin
dengan menggendong Michela. Azarin berlari ke arah putrinya dan air mata terus
membasahi pipinya. Dibaringkan Michela di pasir, lalu penjaga pantai mulai
memompa dadanya. Azarin yang merupakan mantan perawat di rumah sakit ikut
membantu memberikan nafas buatan pada Michela. Berulangkali proses itu
dilakukan namun belum ada perubahan. Azarin semakin sedih melihat putri
bungsunya tidak kunjung membuka mata. Dan pada saat dada Michela di pompa untuk
kesekian kalinya, akhirnya air keluar dari mulut gadis itu dengan
terbatuk-batuk. Dengan rasa syukur, Azarin memeluk erat putrinya yang masih
dalam kondisi lemas. Dan atas kejadian itu, Azarin dan keluarga kembali ke
hotel sementara Michela di baringkan di kasur untuk beristirahat.
Pada malam hari, keadaan menjadi sunyi, terutama di hotel
itu. Michela masih tidur di kasur sendirian, sedangkan Azarin dan Deon tidur di
satu kasur yang lainnya. Azarin sudah tertidur pulas, mungkin karena sudah
letih menghadapi kejadian tadi siang. Berbeda dengan Azarin, Deon juga
berbaring di kasur, namun ia tidak bisa tidur. Pikirannya masih terfokus dengan
apa yang sebenarnya terjadi tadi siang. Sesuatu mencoba menenggelamkan adiknya
dan tidak ada yang tahu penyebabnya. Deon mendengar penjelasan dari penjaga
pantai, kalau hal itu merupakan akibat arus ombak yang menarik objek ke dasar
laut. Namun hal itu tidak masuk akal karena walau seberapa besar usaha mereka
menarik Michela, mereka tetap tidak bisa.
Karena memikirkan hal itu, Deon menjadi semakin tidak bisa
tidur. Diambilnya kamera handycamnya yang terletak di sebelah kasurnya. Pada
Awalnya Deon memang meminta dihadiahi sebuah kamera, dan berkat ia menjadi
juara kelas, ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Alasan kenapa Deon sangat
suka dengan kameranya, karena ia ingin memberikan sebuah hadiah pada ayahnya.
Adam sangat sibuk dengan urusan pekerjaannya, hingga sangat jarang waktu bagi
mereka untuk berkumpul bersama. Deon tidak bisa menyalahkan ayahnya, karena
berkat kerja keras ayahnyalah ia bisa hidup bahagia.
Deon menyalakan kameranya dan melihat video yang berhasil
ia rekam hari ini. Anak itu tersenyum sendiri melihat rekaman video itu.
Hasilnya ia cukup puas dengan video yang dia ambil, dan Deon berencana untuk
membuat video yang lebih bagus dan menyenangkan dari hari ini kemudian menghadiahkannya
pada ayahnya.
Deon memutar video yang ada di pantai, awalnya merupakan
video dengan canda tawa namun diakhiri dengan kecelakaan yang melibatkan
adiknya, tetapi untungnya semua dapat selamat. Video berakhir saat kamera jatuh
ke pasir ketika Deon hendak menolong ibunya. Deon memutar kembali bagian akhir
sebelum video berakhir, diulangnya lagi memutar bagian akhir video itu, sampai
ia menyadari kalau ada sesuatu yang aneh. Di pausenya video pada bagian yang
janggal, dan sekilas ia melihat sebuah cahaya kuning dari dalam laut, walau
gambarnya tidak terlalu jelas. Mungkin itu hanyalah pantulan dari cahaya
matahari pikir Deon. Dan setelah puas melihat hasil rekaman videonya, rasa
kantuk menghampiri Deon. Ia meletakkan kameranya kembali ketempatnya. Begitu ia
memejamkan mata, Deon sudah tidur terlelap.
Di dalam mimpi, Deon melihat adiknya sedang tenggelam ke
dalam kegelapan. Ia mencoba meraih tangan adiknya namun tetap tidak bisa. Deon
berusaha sekuat tenaga hingga ia berhasil menggapai lengan Michela, namun yang
ada di hadapannya bukanlah adiknya tetapi sebuah ke”absurd”an yang mengerikan.
Karena mimpinya itu Deon terbangun dari tidurnya. Dilihatnya sekeliling kamar,
dan jam di sebelah kasurnya masih menunjukkan pukul enam pagi. Ibunya masih
terlelap disebelahnya, namun Michela sudah tidak ada di tempat tidurnya. Deon
panik dan bergegas mencari adiknya itu. Ia keluar dari kamar dan terus berlari
berkeliling di area lantai 5, hingga saat berada di balkon yang mengarah ke
pantai, Deon melihat adiknya disana. Ia bergegas ke lift dan pergi menyusul
Michela.
30 November 2019, pukul
6:17 pagi
Deon sudah berada di pantai, awan hitam menghiasi langit
pagi itu, dan dengan bergegas Deon menghampiri Michela. Gadis kecil itu tidak
bergerak dari tempat dia berdiri. Dan ketika Deon mendekatinya, nampak Michela
sedang memegang sebuah buku di tangannya. Buku itu tampak tebal, usang dan
berwarna hitam. Deon bertanya pada adiknya mengenai buku yang ia pegang, tetapi
Michela tidak menjawab, ia hanya diam. Ketika Deon mencoba mengambil buku itu,
seketika Michela menolak hal tersebut dengan mendekap buku itu dengan erat.
Kali ini Deon mencoba meminjam buku itu dengan baik-baik, dan pada akhirnya
Michela menyerahkan buku itu pada abangnya.
Deon memperhatikan, pada bagian cover buku itu terdapat
gambar garis lingkaran dan di tengah lingkaran itu terdapat gambar semacam
hewan? Suatu makhluk? Deon tidak tau bentuk apa itu. Ia membuka buku itu dan pada
lembaran pertama terdapat tulisan “Assurd” dengan abjad latin yang berada di
tengah-tengah halaman. Lalu ia lanjut melembar halaman yang sudah berwarna
cokelat usang itu ke halaman selanjutnya, namun sayangnya isinya kosong. Tidak
ada apa-apa di halaman-halaman selanjutnya. Deon menutup buku itu dan
mengembalikan buku itu pada Michela.
“Apa yang kau lakukan
di pantai ini Ela?” tanya Deon yang menatap adiknya dengan penuh tanda tanya.
Gadis itu melihat ke arah laut, terus memandanginya dengan
serius. Kemudian ia menoleh ke arah Deon dan berkata, “Ela menunggu...”
“Menunggu apa?
“Kebangkitan” kata
gadis kecil itu dengan pelan.
Langit yang sedari tadi mendung, kini menurunkan hujan
dengan sangat lebat. Deon menarik Michela untuk bergegas pergi ke dalam hotel.
Sesampainya di hotel mereka bertemu dengan Azarin yang kelihatan panik mencari
kedua anaknya. Ia memeluk mereka berdua yang sudah basah kuyup. Kemudian Azarin
mulai mengomel tentang jangan pergi sendirian sambil mencubit pipi mereka. Azarin
meminta kepada salah satu pelayan hotel dua buah handuk untuk anak-anak mereka.
Dengan bergegas pelayan mengambilkan permintaan tamunya. Handuk diberikan, Deon
mengeringkan tubuhnya dengan handuk tersebut sambil menatap ke arah Michela.
Sedangkan adiknya sedang memeluk erat buku itu dan membiarkan ibunya
mengeringkan tubuh kecilnya. Tubuh mereka sekarang sudah lumayan kering, dengan
sigap Azarin membawa anak-anaknya kembali ke kamar untuk mengganti pakaian
mereka yang sudah basah kuyup.
Sekarang pakaian mereka yang basah sudah ditukar dengan
pakaian yang kering. Deon dengan inisiatif membuatkan teh hangat untuk dirinya
dan adiknya. Sementara Michela masih sibuk di dandani oleh Azarin. Ia
dipakaikan bedak, mengkepang duakan rambut Michela, dan memakaikannya sebuah
gaun one piece berwarna putih, hadiah dari Adam dan Azarin untuk putri kecil
mereka.
Saat membuat teh, Deon menyadari kalau Michela kali ini
menjadi lebih pendiam. Biasanya adiknya itu akan rewel sekali saat ibunya
mengikat rambut Michela. Tetapi Deon tetap berpikir positif, mungkin adiknya
masih sedikit terguncang akibat kejadian kemarin. Teh selesai dibuat, ia
memberikan secangkir teh hangat untuk adiknya itu. Michela yang duduk di sofa
hanya diam memandangi teh yang dibuat abangnya sambil memeluk buku hitam itu.
Deon duduk disebelah Michela, ia menyeruput teh yang ia buat sambil
memerhatikan adiknya yang tak kunjung meminum teh yang ada di hadapannya.
“Ela, minumannya gak
diminum?” tanya Deon.
“Ini apa?”
Pertanyaan itu membuat Deon sedikit kebingungan. “Ini...
teh” jawab Deon singkat dengan keheranan.
“Teh?”
Gadis kecil itu mulai mengambil cangkir berisikan teh itu
dan langsung menghabiskannya dengan sekali tegukan. Walau dalam kondisi hangat,
menghabiskan teh dengan sekali teguk dapat menyebabkan luka bakar pada lidah
dan mulut bagian dalam. Deon merasa khawatir pada adiknya itu dengan menanyakan
kondisi Michela. Tetapi adiknya itu tidak merespon untuk beberapa saat. Namun
seketika Michela melihat ke arah Deon, lalu tersenyum padanya. Senyuman yang ia
berikan sangat berbeda dengan senyuman manis yang sering ia tunjukkan. Kali ini
senyuman itu terasa menakutkan, dan entah kenapa Deon merasa menjadi tidak
nyaman. Ia bangkit dari sofa dan pergi menuju tempat kameranya berada.
Azarin selesai merapikan pakaian anaknya yang basah ke
dalam sebuah keranjang dan ia berniat untuk pergi ke tempat laundri nanti. Tapi
sebelum itu, Azarin mengajak anak-anaknya untuk sarapan di kantin. Di sepanjang
perjalanan menuju kantin, Azarin berjalan sambil menggandeng tangan putrinya.
Ia merasa kalau anaknya ini menjadi lebih pendiam dari sebelumnya. Azarin
berpikir kalau Michela masih terguncang dengan kejadian kemarin, dan hal itu
membuat ia sedikit sedih. Maka dari itu Azarin berencana untuk menyembuhkan
rasa trauma putrinya dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan hari ini,
karena ia ingin segera mungkin meliahat putri kecilnya ceria kembali.
Sarapan di hotel mewah merupakan pengalaman yang berharga
untuk keluarga itu. Makanan yang ditawarkan juga sangat enak, walau untuk
sarapan. Selesai sarapan mereka kembali ke kamar. Kondisi di luar juga masih
hujan, nampaknya sang langit menumpahkan segala kesedihannya sehingga hujan
turun dengan lebatnya. Akibat hal itu, keluarga Azarin hanya bisa bertahan di
kamar mereka menunggu hujan reda. Deon sedang berbaring di kasur sambil melihat
rekaman video yang ia ambil sewaktu di kantin. Lalu, Azarin kembali menelpon
suaminya mengabari apa yang terjadi, dan memeriksa keadaan suaminya. Sedangkan
Michela hanya duduk di sofa sambil memeluk buku yang sedari tadi ia bawa. Mata
cokelatnya tertutup, dan mulut kecilnya bergerak seperti membisikan sesuatu
yang tidak bisa di dengar.
Hujan perlahan mereda, namun kabut mulai menutupi seluruh
Summer Island. Kian lama kabut itu
menjadi semakin tebal, hingga orang-orang hampir tidak bisa melihat apa yang
ada di depannya. Siaran radio mengudara memberitahukan untuk masyarakat yang
ada di Summer Island untuk lebih berhati-hati saat berkendara karena jarak
pandang yang sangat buruk. Semua orang bertanya-tanya, apa yang sebenarnya
terjadi? Para wisatawan yang berada di hotel Yuyake berkumpul di beranda hotel
untuk mengabadikan peristiwa ini. Tak lama kemudian terdengar suara ledakan
yang cukup keras dan seketika itu seluruh listrik padam. Karena suara ledakan
yang cukup keras itu membuat masyarakat yang ada di wilayah pemukiman dan kota
Olaq menjadi khawatir. Bahkan para pengunjung di hotel Yuyake, mereka bergegas
pergi ke lantai paling atas untuk melihat apa yang terjadi, tetapi karena kabut
yang tebal mereka tidak bisa melihat apa-apa. Setelah diselidiki terdengar
kabar kalau salah satu mesin di pembangkit listrik meledak dan menyebabkan
pemadaman listrik ini.
Kabar itu tersebar sampai ke keluarga Azarin, ia memutuskan
untuk menunggu di dalam kamar sampai kondisi menjadi membaik. Ia duduk di kasur
dan memperhatikan Deon yang sedang merekam kondisi di luar melalui jendela
hotel, sedangkan Michela hanya duduk di sofa, memeluk erat buku hitam itu
sambil menutup matanya dengan mulut yang seperti membisikkan sesuatu. Azarin
membaringkan tubuhnya di kasur dan menghela nafasnya. Didalam hatinya ia tidak
menyangka kalau liburanya akan menjadi seperti ini. Azarin menutup matanya
sebentar, namun rasa kantuk yang sangat berat datang menghampirinya sehingga ia
tak tahan dengan rasa kantuk itu dan langsung tertidur.
Deon selesai merekam peristiwa kabut yang tidak biasa itu,
ia melirik ke arah ibunya yang ternyata sudah tertidur di kasur. Kemudian Deon
melirik Michela ke arah sofa, namun ia sudah menghilang entah kemana. Hanya ada
buku hitam milik adiknya yang tertinggal di atas meja. Deon bergegas
menghampiri ibunya dan berniat membangunkannya. Tetapi seberapa keras usaha
Deon, ibunya tak kunjung bangun dari tidurnya. Secara tiba-tiba terdengar suara
raungan yang menggema ke seluruh Summer Island. Raungan itu keras sekali hingga
membuat orang-orang bertanya-tanya asal suara itu.
Terdengar suara gaduh dari orang-orang di luar kamar Deon.
Ia mengintip keluar dan melihat orang beramai-ramai ke beranda. Dengan rasa
penasaran Deon juga pergi kesana. Di beranda hotel, Deon melihat orang-orang
sudah berkumpul dan memandang ke arah laut. Dengan sigap, Deon menyelinap
diantara kerumunan orang untuk sampai di barisan depan. Sesampainya disana ia
bingung orang sedang melihat apa, namun diperhatikannya betul-betul terlihat
samar-samar cahaya berwarna kuning dari balik kabut. Namun perlahan cahaya itu
semakin jelas, sampai terlihat sebuah garis lingkaran raksasa yang memancarkan
cahaya kuning, sedang melayang di atas laut dengan posisi vertikal. Semua orang
tercengang dengan apa yang mereka lihat.
Terdengar lagi suara raungan itu, yang ternyata berasal
dari lingkaran itu. Tetapi kali ini suara raungannya terdengar sangat keras dan
berlangsung agak lama dari sebelumnya. Orang-orang menutupi telinga mereka
sedangkan Deon menutup telinga kirinya menggunakan tangan kirinya, dan tangan
yang satunya ia gunakan untuk merekam kejadian itu. Begitu raungannya selesai,
orang-orang mulai berlarian dengan panik. Mereka berusaha untuk keluar dari
hotel itu. Deon juga berniat kembali ke kamar dan membangunkan ibunya, namun ia
melihat sosok adiknya berada di pantai. Tanpa waktu lama ia bergegas turun
menuju pantai.
Begitu berhasil turun ke bawah, Deon langsung berlari ke
arah pantai dan berteriak memanggil adiknya, “Elaaaa”. Dengan nafas yang sudah
ngos-ngosan, ia berhasil sampai ke dekat adiknya. Dengan sisa tenaga yang ada,
Deon berjalan mendekati Michela. Saat tangan kirinya hendak menggapai adiknya,
secara mendadak lengan kiri Deon berputar 3600 menyebabkan sendi
yang ada di bahu kirinya hancur. Deon terduduk di pasir dan menjerit kesakitan.
Air matanya keluar karena tubuhnya tidak bisa menahan rasa sakit itu secara
tiba-tiba. Deon kembali memanggil adiknya yang bahkan tidak melihatnya. Kini
tangan kanannya terangkat ke atas tanpa kemauannya dan hal serupa juga terjadi
pada tangan kanan Deon. Kameranya terjatuh disebelahnya, dan ia kembali
menjerit sejadi-jadinya. Tubuh Deon terangkat berapa meter ke udara, kemudian
kedua kakinya bergerak ke arah yang tak seharusnya, menyebabkan lututnya hancur.
Suara renyah dari tulang yang patah dibarengi dengan suara jeritan anak 15
tahun menggema di pantai itu.
Akibat tidak sanggup menahan rasa sakit yang ia terima Deon
tidak sadarkan diri walau hanya sebentar. Begitu sadar tubuhnya sudah tertimbun
di dalam pasir dan menyisakan kepalanya saja. Deon kembali memanggil adiknya
dengan mata yang merah akibat menahan rasa sakit. Michela membalikkan badannya,
namun karena cahaya dari lingkaran kuning yang berada di belakang Michela, Deon
tidak bisa melihat wajah apa yang sedang di tunjukkan oleh adiknya itu. Gadis
kecil berkepang dua itu mendekati Deon lalu jongkok dihadapannya. Kemudian
nampak jarinya yang hitam dan memiliki kuku yang tajam menyentuh pipi Deon.
“a...bang...De...on”
kata gadis itu seperti mengajak bermain.
Lalu ia wajahnya mendekat ke Deon, hingga terlihatlah wajah
yang menyeramkan. Dengan mata hitam pekat, giginya yang tajam, tersenyum lebar
pada Deon. Seketika Deon teringat dengan mimpinya dan ia sontak menjerit
memanggil pertolongan. Tetapi sayang tidak ada manusia disana, mau seberapa
keras ia menjerit tidak akan ada yang datang. Monster menyerupai adiknya itu
berjalan pergi meninggalkan Deon di pantai. Dan dengan perlahan garis lingkaran
yang ada di atas laut itu juga perlahan ikut menghilang. Kini tinggal Deon
sendiri yang berada di pantai, ia sudah pasrah dengan apa yang terjadi pada
dirinya.
Kembali pada Azarin, ia kini sudah terbangun dari tidurnya.
Ia tidak menyangka akan ketiduran. Dilihatnya jam yang berada di sebelah
kasurnya dan sekarang sudah masuk pukul 14:04. Ia melihat sekelilingnya dan
menyadari kalau kedua anaknya tidak ada. Azarin mulai panik, takut terjadi
apa-apa pada anaknya. Ketika hendak keluar kamar, ia menyadari kalau suasana di
hotel sangat sepi. Dan saat ia keluar, ia tidak dapat menemukan siapa-siapa.
Azarin berkeliling di lantai 5 mencari keberadaan kedua anaknya. Ia menyadari
kalau lampu di hotel sudah menyala kembali, dengan cepat ia menuju ke arah lift
untuk turun ke lantai 1. Pada saat pintu lift terbuka, Azarin kaget melihat
sesosok makhluk di dalam lift. Mahkluk itu terlihat seperti manusia namun juga
terlihat seperti bayangan. Dengan cepat makhluk itu mengerjarnya. Azarin
berlari kembali menuju kamarnya dan langsung mengunci pintunya. Ia segera
mencari senjata, namun yang ia temukan hanyalah sebuah pisau roti, garpu, dan
gunting. Ia tidak punya waktu, jadi diambilnya gunting, dan segera ia
bersembunyi di balik kasur.
Terdengar suara langkah kaki berhenti tepat di depan pintu
kamar. Azarin berusaha untuk tetap tenang dan tidak bersuara. Makhluk itu mulai
berusaha mendobrak pintu kamar. Beberapa kali pintu itu dihantam, hingga
akhirnya pintunya terbuka. Makhluk itu berjalan masuk ke dalam kamar, Azarin
menunggu mekhluk itu untuk mendekat. Saat sudah dekat, ia melompat ke arah
makhluk itu dan menusuknya tepat di bahu kirinya. Namun sayang serangan yang
Azarin berikan tidak berefek apa-apa. Seketika leher Azarin dicekik hingga
tubuhnya terangkat. Dengan sekuat tenaga Azarin melakukan perlawanan dengan
menusuk-nusuk makhluk itu, tetapi sayang usahanya itu sia-sia. Wajah Azarin
membiru, air liur keluar dari mulutnya dan ‘krek’ tulang lehernya patah. Azarin
tewas, dan makhluk itu menjatuhkan tubuh perempuan itu dilantai dan berjalan
pergi.
Hari terus berlanjut dan tidak terasa sudah malam,
keheningan mengisi malam yang dingin itu, tidak ada suara manusia terdengar
sejauh telinga bisa mendengar. Di hotel Yuyake, seorang pria tua, berambut
tipis yang sudah memutih, mengenakan pakaian kultus dengan kalung bersimbol
mata dan tangan di dalamnya, berjalan memasuki kamar nomor 505. Ia menghampiri mayat
seorang perempuan, dan menutupkan mata mayat itu. Lalu ia berjalan menghampiri
meja kaca yang berada dekat dengan sofa. Diambilnya sebuah buku hitam yang ada
di atas meja, kemudian di bukanya buku itu dan terlihat buku itu berisi dengan
bahasa yang tidak ia mengerti sama sekali. Pria tua itu tertawa, dan tawanya
mengisi malam yang sepi di pulau itu.
Secret
Society
11 Desember 2019, pukul
19:00 malam.
Di ibukota negara Venti, tepatnya di Kota Agra, sedang
dilaksanakan rapat tertutup antara pemerintah negara. Mereka berkumpul untuk
membahas peristiwa yang sedang terjadi di Summer Island. Beberapa orang yang
hadir disana adalah Presiden negara Venti, Menteri pertahanan dan keamanan
negara, Kepala Biro keamanan negara, dan beberapa staf pemerintahan lainnya,
namun terdapat satu kursi yang masih kosong. Rapat masih belum bisa dimulai
karena mereka menunggu kehadiran orang itu. Seorang perempuan dengan kacamata,
yang berasal dari Biro keamanan negara merasa jengkel karena rapat tak kunjung
dimulai.
“Pak Andrew, ada
baiknya kita memulai rapat ini segera” kata perempuan itu dengan tegas
mengutarakan pendapatnya pada kepala Biro keamanan negara.
Lelaki berusia 30 tahunan yang dipanggil Andrew itu menoleh
kepada perempuan yang mengajaknya berbicara tadi yang merupakan seketarisnya
dan berbicara dengan tenang, “Bersabarlah Daria, rapat ini tidak bisa dimulai
sebelum orang itu datang”.
“Memangnya siapa yang
kita tunggu ini pak?” tanya Daria.
“Yang sedang kita
tunggu adalah Kepala pertahanan dari organisasi rahasia”
Daria bingung, didalam hatinya ia tidak begitu percaya dengan
organisasi seperti itu. Ia merasa kalau atasannya itu terlalu melebih-lebihkan
orang yang dimaksud.
“Memangnya dirinya
siapa? Seenaknya ia membuat semua petinggi negara menunggu karena dirinya” kata
Daria dengan ketus sambil memperbaiki letak kacamatanya.
Namun ia mendapatkan respon yang diluar perkiraannya, semua
orang yang ada di ruangan itu menatapnya dengan tatapan tajam. Daria menjadi
serba salah dan kebingungan dengan apa yang telah ia katakan. Sontak Thomas
Andrew, berdiri dari tempat duduknya dan menundukkan kepalanya kepada semua
orang yang ada disana sambil meminta maaf.
“Sebagai atasan dari
seketaris saya, saya meminta maaf kepada semua orang yang ada di sini. Daria
adalah seketaris saya yang baru bergabung tidak lama ini, jadi masih banyak hal
yang belum ia ketahui. Untuk dari itu sekali lagi saya meminta maaf” kata seorang
Kepala Biro keamanan sambil menundukkan kepalanya.
Melihat hal itu Daria juga ikut menundukkan kepalanya dan
juga ikut meminta maaf atas apa yang telah ia katakan sebelumnya. Seorang pria
berumur sekitar 50 tahunan, berperawakan sangar dengan rambut yang klimis ke
belakang, yang merupakan Menteri pertahanan dan keamanan menenggak minuman yang
telah disediakan dan berkata, “Seharusnya kau lebih mendisiplinkan bawahanmu
dengan benar Thomas. Akibat ketidakbecusan mu itu, bawahan mu berani berbicara
yang tidak sopan pada nona Nacht”.
“Anda benar pak
Menteri, akibat kurang tegasnya diri saya, hal ini dapat terjadi. Untuk
selanjutnya saya berjanji hal ini tidak akan terulang lagi” kata Andrew dengan
sopan dan tenang, walau ia sedang di provokasi.
Pria kepala lima itu mendengus sedikit dan kembali meneguk
minumannya. Ini pertama kalinya Daria mendengar nama orang yang mereka tunggu.
Dengan berbisik pada Andrew, Daria bertanya mengenai orang yang bernama Nacht
ini . Lalu Andrew menjelakan secara
ringkas mengenai perempuan bernama Nacht ini.
“Nacht Schounheit, dia
adalah Kepala bidang keamanan dari organisasi rahasia yang bernaung di negara
ini, organisasi mereka bernama Secret Society. Mereka mengatasi masalah yang
tidak bisa ditangani oleh Biro keamanan negara, atau lembaga manapun. Dan
karena masalah kali ini juga tidak bisa diatasi oleh kita, maka dari itu jasa
mereka sangatlah diperlukan”.
“Memangnya masalah apa
yang mereka tangani, hingga kita memerlukan mereka?” tanya Daria yang masih
bingung.
“Mereka mengatasi
masalah yang berada di luar akal sehat. Seperti fenomena supranatural, mahluk
misterius, dan kejadian di luar nalar lainnya.
Dari wajah Daria terlihat ia tidak mempercayai hal-hal gaib
supranatural seperti itu. Dan ia bertanya pada atasannya, “Apakah pak Andrew
percaya dengan hal seperti itu?”
Andrew terdiam sejenak,
matanya jauh melompat kemasa yang lalu. Sekilas ingatannya tertuju pada suatu
peristiwa yang tidak akan pernah ia lupakan. “Ya... iya karena satu dan dua
alasan aku mempercayai hal itu”.
Perkataan
pria itu membuat Daria tak percaya dengan keyakinan yang ia percayai. Selama
ini ia tidak pernah percaya dengan hal-hal semacam itu, namun kini
kepercayaannya goyah. Setelah itu, Daria terdiam sambil melihat ke bawah ia
memikirkan beberapa hal kemudian ia kembali ke posisinya di belakang Andrew.
Tak lama setelah itu pintu ruangan rapat terbuka dan terlihat orang yang
ditunggu sedang memasuki ruangan.
Ini
pertama kali Daria melihat perempuan secantik itu, Nacht Schounheit, memiliki
paras yang menawan, rambut putih nya terurai saat ia berjalan. Mata kuningnya
indah bagaikan bulan dilangit malam. Dengan jas berwarna putih bersih, dan
kemeja hitam di bagian dalam, ditambah dasi biru langit dan juga rok mini
berwarna putih dipadukan dengan stocking hitam panjang yang sampai ke paha dan
sepatu high heels berwarna hitam menambah kesan kecantikan perempuan itu. Daria
saja sampai terpikat.
“Maafkan keterlambatan
saya ini, bapak-bapak sekalian. Ternyata butuh waktu yang lama untuk menyiapkan
bukti kali ini” kata Nacht dengan suara yang lembut. “Jadi mari kita mulai saja
rapat kali ini”.
Seorang lelaki yang berada di belakang Nacht memegang
sebuah remot dan begitu salah satu tombol remotnya di tekan, lampu yang
menerangi ruangan rapat itu padam, lalu infokus menyala dan menembakkan
cahayanya ke layar yang berada di belakang Nacht. Di layar, nampak sebuah
gambar garis lingkaran raksasa menyala terang dengan warna kuning, yang diambil
dari salah satu video rekaman milik saksi. Nacht memulai rapat dengan
menceritakan runtut peristiwa ini dari awal, mulai dari awal munculnya makhluk
menyeramkan dari sebuah keluarga, sampai pihak apa saja yang kira-kira terlibat
dengan masalah ini. Setelah selesai menjelaskan, Presiden negara Venti bertanya
pada Nacht tentang kondisi para saksi yang selamat dari kejadian itu.
“Saksi pertama adalah
seorang pria berusia 23 tahun bernama Pasha Ragan, berprofesi sebagai kurir
dari salah satu perusahaan rokok ternama. Ia ditemukan sedang tidak sadarkan
diri di jembatan pada pukul 9 pagi oleh salah satu warga yang hendak pergi ke
Summer Island. Sekarang ingatannya tentang kejadian itu telah dihapus, dan sedang menjalani tahap rehabilitas”.
Nacht
selesai membacakan laporannya terkait saksi yang pertama. Di tariknya nafasnya
kemudian ia melanjutkan laporannya, “Lalu yang kedua adalah seorang perempuan
berusia 26 tahun bernama Rio Alamanda. Berprofesi sebagai pembawa acara di
stasiun DoorTv. Ia ditangkap di salah
satu rumah nelayan yang berada di selat gaib. Dari informasi yang kami dapatkan
ia dan rekan kerjanya, Cassandro Riga, lalu bersama dengan pria bernama Adam
Valentin pergi menerobos masuk ke Summer Island dengan tujuan tertentu. Rio dan
Riga pergi kesana untuk mencari video yang bisa dijadikan dasar pembuatan acara
mereka. Lalu pria bernama Adam ini pergi ke sana untuk menjemput keluarganya.
Tapi sayang, hanya Rio yang dapat kembali dengan selamat. Adapun nelayan yang
mengantarkan mereka telah menjalani proses penghapusan ingatan, dan sekarang sedang
dalam tahap rehabilitas. Tetapi Rio, tidak ingin menjalani penghapusan ingatan,
jadi dia akan ditahan untuk sementara”.
Presiden
sedari tadi khitmad mendengarkan penjelasan dari Nacht, dan ketika ia
mengetahui kalau tidak ada saksi yang ingat dengan kejadian itu membuat dirinya
menjadi lega. Mendadak pak Menteri bertanya terkait pembalasan apa yang harus
di dapatkan oleh stasiun DoorTv.
Seisi peserta rapat memberikan pendapat mereka sehingga suasana menjadi sedikit
gaduh. Di tengah kegaduhan, Kepala Biro keamanan negara melontarkan pertanyaan
terkait tindakan apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Pria yang ada
dibelakang Nacht kembali menekan tombol di remotnya dan lampu kembali menyala.
Semua perhatian tertuju pada Andrew lalu mengarah pada Nacht. Ia tersenyum
manis, lalu berkata.
“Saya akan menurunkan
squad terbaik saya yang beranggotakan 5 orang ke Summer Island, dengan syarat,
apapun yang akan terjadi nanti saya harap bapak-bapak sekalian dapat
mengatasi...”
Dengan cepat Andrew memotong pembicaraan dengan mengatakan,
“Maaf karena telah lancang nona Nacht. Mengingat adanya keterlibatan pihak
ketiga, dimana kultus dan orang yang bernama Demestrius ini terlibat, apakah
tidak terlalu gegabah membiarkan hanya 5 orang untuk pergi ke Summer Island di
kondisi seperti ini?” semua orang menatap Andrew dengan serius, kemudian ia
melanjutkan, “saya mengusulkan orang dari Biro keamanan negara untuk ikut
per...”
“Tidak perlu”.
Singkat, padat, dan jelas. Dua kata itu menolak usulan dari
Andrew. Presiden yang melihat itu meminta penjelasan kenapa Nacht menolak usul
itu, jika di pertimbangkan usulan itu tidak terlalu buruk. Nacht menutup
matanya kemudian menghela nafasnya. Ia menyilangkan tangannya dan menatap
seluruh peserta rapat dengan tatapan serius.
“Ada dua alasan kenapa
saya menolak usulan dari Kepala Biro kemanan negara, yaitu yang pertama, adanya
keterlibatan pihak kultus, yang juga merupakan salah satu organisasi kriminal
terbesar di dunia dengan nama Gettin Blood. Kami dapat mengkonfirmasi hal ini
dari salah satu pengakuan saksi yang bertemu langsung dengan pihak kultus. Lalu
kemungkinan besar orang yang bernama Demestrius ini merupakan salah satu
petinggi dari organisasi itu. Kita juga tidak tahu berapa banyak anggota mereka
yang ada di Summer Island. Jadi bergerak dengan banyak anggota akan terlalu menarik
perhatian, jadi lebih baik bergerak dengan kelompok kecil yang beranggotakan 5
atau 6 orang”.
Nacht membuka tasnya dan mengeluarkan tablet miliknya,
“Lalu alasan yang kedua adalah adanya kehadiran dari benda ini” kata Nacht
sambil menunjukkan gambar sebuah buku tebal berwarna hitam yang sudah nampak
usang. Semua perhatian tertuju ke gambar itu, mereka bingung benda apa
sebenarnya itu? Bukankah itu hanya sebuah buku biasa? Mungkin itulah yang ada
dalam pikiran Daria. Salah satu peserta rapat menanyakan sebenarnya benda apa
yang dimaksud oleh Nacht itu.
“Benda itu adalah salah
satu artefak dengan tingkat ancaman level 4. Menurut sejarah, buku itu hanya
pernah terlihat sebanyak dua kali, yakni pada tahun 536 dan pada tahun 1314.
Disetiap kemunculannya, pasti akan terjadi hal buruk bagi manusia” Nacht
mencoba mejelaskan dengan sesederhana mungkin.
“Bukankah itu semua
hanya lah sebuah kebetulan saja, nona Nacht?” kata Daria sambil mengangkat
tangan kanannya.
Nacht memperhatikan
orang yang baru ia lihat itu dari bawah sampai ke atas kepala. “Saya tidak bisa
mengubah apa yang kau yakini, nona...?”
“Nama Saya Daria
Aglaia, nona Nacht” jawabnya sambil menundukkan kepalanya.
“Seperti yang saya
bilang sebelumnya, saya tidak bisa mengubah apa yang kau yakini nona Daria.
Tetapi apakah kau akan tetap mengatakan hal serupa setelah melihat ini?” lampu
kembali padam dan infokus kembali menyala, sebuah video terputar di belakang
Nacht dan membuat seluruh orang yang ada di ruangan syok menyaksikan video itu.
“Video ini adalah hasil rekaman dari seorang anak laki-laki yang bernama Deon
Valentin, putra dari Adam Valentin korban dari tragedi ini. Lalu video
berikutnya adalah hasil rekaman dari salah satu korban bernama Cassandro Riga”.
Nacht menjelaskan kalau apa yang baru saja mereka lihat adalah sebuah cuplikan
dari entitas yang masih tidak diketahui, tetapi satu hal yang pasti kalau
sumber mula kejadian ini adalah buku itu.
“Dari rekaman yang
diambil oleh Deon, putra dari Adam. Buku itu ditemukan oleh adiknya, dan masih
berupa buku kosong, namun dari pernyataan saksi Rio Alamnda, buku itu berisikan
sesuatu” video selesai di putar dan lampu kembali menyala. Nacht melanjutkan,
“Maka dari itu tujuan utama dari misi ini adalah mengamankan artefak itu”.
Reaksi semua orang yang mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi di Summer Island sangatlah berbeda-beda. Andrew memikirkan rencana
lain yang sekira dapat membantu dalam
kasus ini, lalu pak Menteri pertahanan terpikir untuk mengerahkan seluruh
pasukan tentara untuk menyerbu Summer Island, tetapi karena ini adalah misi
yang sangat rahasia, ia mengurungkan ide tersebut. Lalu Presiden yang
memikirkan dampak kekacauan yang akan terjadi jika hal ini tidak segera
diatasi. Dan sepertinya presiden tidak punya pilihan lain.
“Nona Nacht Schounheit,
saya memberikan izin kepada organisasi Secret Society untuk mengatasi masalah
ini”
Perempuan itu tersenyum, dan mata kuningnya memancarkan
kepercayaan diri, lalu dengan suara yang lembut ia mengatakan, “Terima kasih
atas kepercayaan yang anda berikan pak Presiden. Kalau begitu saya pamit undur
diri”. Nacht membalikkan badan dan pergi meninggalkan ruangan rapat.
Pintu ruangan kembali tertutup, dan semua orang mulai
bersiap untuk meninggalkan ruangan rapat. Andrew masih saja memikirkan sesuatu.
Daria mendekati atasannya itu dan secara tidak sengaja ia mendengar Andrew
menggumamkan sesuatu, “Kali ini aku tidak bisa membantunya”. Daria sedikit
terkejut mendengar hal itu, tetapi ia mencoba untuk tidak memikirkannya
sekarang. Ia menepuk bahu atasanya dan melaporkan kegiatan mereka selanjutnya.
Andrew yang tersadar dari lamunannya segera berdiri, dan pamit pada Presiden,
dan pak Menteri yang masih duduk di tempatnya. Andrew dan Daria meninggalkan
ruangan dan menyisakan dua pria itu disana.
“Haaah” helaan nafas
dari pria dengan perawakan galak itu terdengar jelas. Ia menoleh ke arah
Presiden dan berbicara, “Sudah kukatan sedari awal William, kita seharusnya
tidak menerima perempuan itu untuk mengatasi masalah negara seperti ini. Dan
lihatlah sekarang, ia berbuat sesuka hatinya. Membiarkan kita menunggu, lalu
dengan santai pergi begitu saja” terdenar jelas kekesalan dan kebencian dari
Menteri itu.
“Aku bisa apa Igon, aku
takut tragedi lima tahun yang lalu akan terulang kembali. Yang aku ingin adalah
ketenangan di akhir masa jabatan ku” ucap pria 45 tahun itu sambil mengendurkan
dasi yang melingkar di lehernya.
Igon masih saja kesal dan ia berdiri dari tempat duduknya.
Sebelum ia pergi ia berpesan pada presiden, “Aku akan tetap menjalankan rencana
ku untuk membunuh perempuan itu. Dan kuharap kau tidak menghalangiku Wiliam,
ini demi keberlangsungan negara ini” dan Igon berjalan meninggalkan ruangan
meninggalkan presiden di ruangan itu sendirian.
Di basemen, Nacht berjalan menuju mobil sedan hitam yang
terpakir disana. Lelaki yang sedari tadi bersamanya membukakan pintu mobil
untuknya dan Nacht masuk ke dalam. Setelah menutup pintu, pria itu berjalan
menuju tempat kemudi lalu menyalakannya. Tanpa berlama-lama mereka langsung
pergi dari gedung itu. Saat mengemudi pria itu melirik ke arah Nacht yang
sedang memperhatikan ke arah jendela dengan wajah bosan melalui center mirror.
“Menjadi orang yang
populer sepertinya melelahkan nona. Sekarang anda sedang dibicarakan oleh pak
Menteri dan Presiden, apakah saya harus melakukan sesuatu?”.
Mendengar itu, Nacht yang duduk di belakang menyilangkan
tangannya dan menoleh ke pria itu, “Aku tidak terlalu memperdulikan hal kecil
seperti itu Theo. Mereka masih bisa digunakan, jadi aku ingin sedikit menggunakan
mereka. Tetapi setelah mereka menjadi tidak berguna, kau bisa melakukan apa
saja pada mereka”.
“Anda sangat murah hati
sekali, nona. Saya sangat berterima kasih. Lalu apa yang akan anda lakukan
untuk mendapatkan artefak itu?”
“Segera hubungi Victor,
dan katakan untuk segera memulai operasinya”.
“Baik nona”
Sedan hitam itu melaju di jalanan di bawah cahaya bulan
purnama. Theo mengetik beberapa nomor di ponselnya dan langsung menghubungi
orang yang dimaksud. Nacht menyandarkan tubuhnya di dekat jendela, pandangannya
terfokus pada bulan yang sedari tadi mengikuti mereka. Mata kuningnya lekat
menatap bulan. Ia tersenyum dan dengan suaranya yang lembut ia berucap dengan
pelan.
“Semuanya akan dimulai....
Dewi”
Operasi
Biblio
11 Desember 2019, pukul
22:10 malam
Di jembatan, pasukan polisi sedang menjaga barikade yang
menutup akses menuju Summer Island. Sudah dua hari mereka disana menjaga dan
menghalau orang yang ingin pergi ke Summer Island. Para polisi itu tidak tahu
kenapa mereka harus melakukan hal itu, mereka hanya mengikuti perintah dari
atasan mereka. Seorang polisi melihat sebuah cahaya mendekat ke arah jembatan.
Cahaya berwarna putih itu mendekat dan berhenti tepat di depan barikade. Sebuah
mobil Hummer milik Biro keamanan negara berhenti, dari dalam mobil keluar
seorang laki-laki berusia 35 tahun, berperawakan tegas dengan rambut cokelat
gelap dengan model ivy league cut, memakai perlengkapan lengkap mulai dari
rompi anti peluru, sebuah pistol SIG Sauser di pinggang, dan senjata model M4A1
yang ada di punggung pria itu.
Pria itu mendekat ke arah salah satu polisi yang sedang
menjaga barikde dan seketika ia bertanya dimana atasan mereka. Polisi yang
sedang ditanya tersebut balik bertanya kenapa ia mencari atasan mereka. Pria
itu tertawa sedikit lalu ia mulai memperkenalkan dirinya, “Maafkan aku, aku
lupa memperkenalkan diriku. Perkenalkan aku Victor, dari Biro keamanan negara.
Karena perintah dari Kepala Biro kami kesini ingin pergi ke Summer Island, jadi
bisakah kau memberikan surat ini pada Inspektur Cakra?” kata Viktor sambil
menyerahkan surat yang msih tersegel.
“Kami mohon maaf pak.
Saat ini Inspektur sedang tidak ada di tempat, kami akan menghubunginya untuk
segera datang kesini, jadi tolong tunggu sebentar” kata polisi itu hendak meninggalkan
tempat dan pergi ke tenda.
“Maaf, tapi kami tidak
punya banyak waktu karena kami sedang terburu-buru” ucap Viktor dengan wajah
serius.
Polisi itu menjadi bimbang, “Tolong tunggu sebentar”
katanya. Polisi itu berlari menuju ke tempat polisi yang lain, mereka berunding
sejenak. Nampak dari tempat Viktor berdiri mereka sedang berdebat hebat. Cukup
lama mereka berdiskusi, dan hasilnya mereka membukakan barikade dan membiarkan
Viktor lewat ke Summer Island. Mereka melewati barikade, dan kemudian Viktor
memberikan hormatnya pada polisi-polisi itu sebagai tanda terima kasih dan
mobil yang dinaikinya pergi menjauh dan hilang di balik kabut.
Viktor merupakan salah satu dari Squad Eliminate yang
dikirim Nacht ke Summer Island, namun selain Viktor terdapat beberapa orang
lagi yang ada di dalam mobil. Pertama orang yang sedang mengemudikan mobil,
seorang pria dengan tubuh besar, tingginya kira-kira sekitar 190an cm, pria itu
bernama Jester, ia adalah salah satu anggota dari squad yang dikirim dari
Secret Society. Jester menggunakan senjata dengan tipe SMG berjenis MP7 dan ia
membawa sebuah perisai anti peluru yang terbuat dari karbon. Lalu yang kedua
adalah Hoshi, anggota yang paling muda dalam squad itu, umurnya sekitar 17
tahun, ia memiliki perawakan yang santai dan mudah bergaul dengan siapa saja,
berbeda dari anggota yang lain, Hoshi tidak terlalu ahli dalam menggunakan
senjata api, tetapi ia ahli dalam menggunakan pedang. Ia membawa sebuah pedang
katana dan juga pistol jenis Colt 1911 di pinggangnya. Lalu anggota ketiga dari
Squad itu, satu-satunya perempuan yang berada di squad, ia adalah Salvia. Ia
memiliki perawakan yang datar dan sangat suka dengan permen karet, Salvia
bertugas sebagai medis dan terkadang ia bertugas sebagai operator, yang
mengirim dan menerima sinyal dari markas, dan semua peralatannya ia bawa ada di
dalam tasnya. Senjata yang digunakannya adalah pistol dengan jenis Glock Meyer
22. Dan anggota terakhir dari squad Eliminate adalah Ducan. Ia adalah orang
yang sedikit misterius karena tidak ada satu orang pun yang pernah melihat
wajahnya. Ia mengenakan sebuah topeng berwarna putih polos yang menutupi
seluruh wajahnya. Topeng itu hanya memiliki lobang mata, namun tidak memiliki
lobang di bagian mulut. Ducan jarang berbicara mengenai dirinya, hingga tidak
ada yang mengetahui dari mana ia berasal, tanggal lahir, dan berbagai informasi
pribadi lainnya. Senjata yang dimiliki Ducan gunakan adalah sniper dengan jenis
SPR3.
Selain anggota squad Eliminate, di dalam mobil yang melaju
di jembatan yang berkabut itu, masih terdapat satu orang yang diperintahkan
untuk bergabung dalam squad, ia adalah Ned. Ned adalah seorang ilmuwan yang
baru saja bergabung dengan Secret Society selama tiga minggu. Nacht menawarinya
bergabung karena Nacht tertarik dengan pengetahuan yang dimiliki Ned. Ia
berusia 26 tahun, memiliki rambut ikal bergelombang berwarna hitam, dan
wajahnya selalu nampak lelah dan kurang tidur. Tubuhnya tidak berotot dan
tingginya sekitar 178 cm.
“Kapten Viktor,
bolehkah saya bertanya mengenai sesuatu?” tanya Ned memecah kehingan di dalam
mobil itu. Semua orang yang tadinya sedang melakukan pengecekan perlengkapan
kini menatap ke arah Ned.
“Ya profesor, apa yang
ingin anda tanyakan?”
“Saat berbicara dengan
polisi tadi, aku mendengar kalau kau mengatakan kau berasal dari Biro keamanan
negara. Kenapa kau mengatakan begitu?”
“Sepertinya kau tidak
pintar seperti yang dikatakan nona Nacht ya?” ucap Salvia dengan datar sambil
mengunyah permen karet sambil menyilangkan tangannya.
“Salvia, tidak sopan”
kata Ducan dengan suara yang sedikit serak menegur rekannya itu.
“Iya benar, kau sudah
tidak sopan pada orang baru Salvia” kata Hoshi sambil menepuk punggung Ned yang
berada di sebelahnya.
Salvia sedikit kesal ditegur rekannya, “Ya, ya, maaf soal
itu” Salvia menatap Ned yang ada di hadapannya dengan tatapan sinis lalu ia
membuang wajahnya ke arah Hoshi “Dan Hoshi, aku ini lebih tua dari mu, jadi
panggil aku kakak, mengerti?” ucapnya dengan wajahnya yang sudah kembali datar.
“Tidak akan” jawabnya
dengan singkat.
“kalian semua
tenanglah!” kata Viktor dengan sedikit keras hingga suasana tenang kembali.
“Maafkan perilaku rekan-rekan ku profesor, terkadang mereka tidak sopan dengan
orang asing”.
Ned tersenyum ke arah Viktor dan mengatakan kalau ia tidak
mempermasalahkan hal tersebut.
“Mengenai pertanyaan
anda” lanjut Viktor, “Kami memang harus mengambil identitas lembaga tertentu
untuk menjaga kerahasiaan organisasi ini. Tetapi hal itu tidak akan menimbulkan
masalah karena organisasi telah mendapatkan izin dari pemerintah, berkat nona
Nacht”.
“Jadi begitu ya. Aku
benar-benar lupa kalau organisasi ini adalah organisasi rahasia” kata Ned
sambil memegang kepalanya.
“Nanti anda juga akan
terbiasa”.
Ned teringat sedikit mengenai saat-saat ia bertemu dengan
Nacht. Pada saat itu ia sedang melakukan seminar mengenai mahkluk-makhluk yang
tidak dikenali, namun orang-orang tidak percaya dengan Ned bahkan sampai ada
yang mengatai ia orang gila. Padahal ia telah melakukan riset, mengumpulkan
bukti untuk bahan seminar itu. Ia menjadi frustasi dengan dirinya, tetapi saat
itu ada satu orang yang datang menemuinya dan orang itu adalah Nacht dan
kemudian ia akhirnya bergabung ke dalam organisasi Secret Society.
Mereka hampir sampai di Summer Island, Viktor mengingatkan
kembali pada rekan-rekannya untuk melakukan pengecekan ulang peralatan dan
perlengkapan mereka. Dan sekali lagi Viktor mengulang rencana mereka,
rencananya adalah untuk pergi mengamankan artefak yang sekarang berada di
tangan Gettin Blood, dan sebisa mungkin menghindari kontak dengan monster kecil
yang berkeliaran di pulau itu dan kemudian pergi meninggalkan Summer Island.
Setelah semuanya siap mereka tinggal menjalankan
rencananya. Mobil mereka melaju menuju monumen Dirilis, namun saat mobil sedang
melaju dengan kecepatan tinggi seketika terlihat seorang gadis kecil berdiri di
tengah jalan yang datang entah dari mana. Karena hal itu, sontak Jester
membanting setir hingga mobil mereka menabrak tiang lampu jalan.
“Kalian tidak apa-apa?”
tanya Viktor memastikan keadaan semua orang dan beruntungnya tidak ada yang
terluka parah akibat kejadian itu. “Profesor, apakah anda baik-baik saja?”
“Y..ya aku tidak apa
Kapten”.
Mereka keluar dari mobil untuk memastikan kondisi kendaraan
dan untungnya kerusakan mobil tidak terlalu parah, mobil itu masih bisa dinaiki
tetapi butuh perbaikan. Viktor menyarankan untuk melanjutkan misi dengan
berjalan kaki, berhubung mereka sudah memasuki kota Olaq. Mereka bersiap untuk
berangkat kembali, tetapi Jester menghampiri Viktor meminta maaf pada atasannya
itu.
“Kapten Viktor maafkan
aku, karena kesalahan ku, misi kita menjadi terhambat”.
Viktor menatap rekannya itu dan memegang pundak Jester
sambil berkata, “Itu adalah situasi yang ada diluar perkiraan kita, jadi aku
akan memaafkanmu. Tetapi untuk selanjutnya aku ingin meminta keseriusanmu.
Apakah aku bisa mengharapkan itu, Jester?”
“Baik Kapten” katanya
dengan meletakkan tangan kanannya di dadanya.
Mereka melanjutkan misi dengan berjalan kaki, dari posisi
mereka monumen Dirilis hanya berjarak kurang lebih 6 km. Jester berjalan di depan lalu disusul Hoshi di belakangnya,
kemudian Ned, lalu Salvia, Ducan dan terakhir Viktor yang mengawasi bagian
belakang. Mereka berjalan dengan sangat waspada. Malam itu bulan purnama
bersinar terang dan untungnya kabut tidak terlalu tebal. Tetapi kesunyian di
kota itu sangatlah berbeda. Begitu tenang bahkan mereka bisa mendengar detak
jantung mereka sendiri.
“Ada yang aneh” kata
Ned mendadak.
Mereka berhenti dan semuanya menatap Ned dengan tatapan bingung.
“Oi kurus, apa
maksudmu?” tanya Salvia yang berdiri di belakang Ned.
“Apa kalian tidak
merasakannya?” Ned balik bertanya dan melihat mereka satu persatu. “Walau
sesunyi apapun suatu tempat, kalian tidak bisa mendengar suara detak jantung
kalian sendiri, kecuali kalian berada di ruangan khusus. Maka dari itu,
keheningan ini sangatlah aneh”.
“Semuanya, gunakan
formasi bertahan” perintah Viktor dan mereka semua bersiaga terhadap segala
ancaman yang akan datang.
Ned berada di dalam perlindungan mereka karena hanya ia
satu-satunya yang tidak bisa bertarung. Semua orang menjadi sangat waspada, dan
mendadak terdengar suara tawa yang melengking, suara tawa seorang anak kecil
namun perlahan tawa itu menggema dan berubah menjadi sangat jahat.
“Kapten, 300 meter arah
jam 6” ucap Ducan mengabari Victor yang membuat semuanya berbalik mengarah ke
belakang.
“Apa yang kau lihat
Ducan?”
Ducan kembali melihat dari scopenya dan melaporkan,
“Seorang gadis kecil berjalan mendekat. Dan jika dilihat, ia adalah si
monster”.
“Aku tidak ingin
terlalu berususan dengan mahkluk itu, tetapi jika kita mengabaikannya sekarang
aku merasa akan lebih buruk. Ducan hancurkan”
“Siap kapten”
Dengan cepat Ducan menembak makhluk itu, sebuah peluru
melesat cepat dan menghancurkan kepala makhluk itu. Ducan melaporkan kepala
target telah dihancurkan. Sejenak perasaan Ned yang baru pertama kali melihat
hal itu menjadi sedikit tenang. Tetapi makhluk itu tetap berjalan ke arah
mereka, malahan dengan mempercepat langkahnya.
Melihat hal itu Viktor memberikan arahan untuk menembak
mahkluk itu.
“Semuanya tembaaak!!”
Semua peluru ditembakkan ke arah monster yang kini tengah
berlari ke arah mereka. Sebagian besar peluru mengenai tubuhnya, tetapi ia
tetap terus berlari seakan itu tidak berarti. Monster itu semakin mendekat dan
begitu jarak diantara mereka sekitar 1 ½ meter, makhluk itu melompat dan
mengarahkan jari-jarinya yang tajam untuk menyerang mereka. Dan dengan cepat,
Jester bergerak maju dan menahan serangan makhluk itu menggunakan perisainya,
setelah itu Hoshi mendaratkan tebasan pedangnya dan menebas kedua tangan
makhluk itu. Lalu dilanjutkan dengan Viktor yang menghancurkan kedua kaki
makhluk itu hingga membuatnya tersungkur di tanah.
Monster itu tidak bergerak lagi, Ned memperhatikan makhluk
itu dengan serius dan entah kenapa ia merasa kalau ini belum berakhir, jadi ia
menyarankan untuk segera pergi ke tujuan mereka. Begitu juga dengan Viktor, ia
merasa kalau makhluk itu belum mati dan ia menyetujui saran Ned untuk bergegas
meninggalkan tempat itu. Tetapi belum sempat berjalan jauh dari tempat tadi,
tubuh makhluk itu melebur dan memunculkan makhluk humanoid yang nampak seperti
bayangan. Sekitar 10 makhluk yang muncul, semula mereka tidak bergerak untuk
beberapa saat, namun seketika mereka langsung berlari mengecar Viktor dan
pasukannya.
Dengan sekuat tenaga mereka berusaha lari dari kejaran
makhluk aneh itu. Hoshi melihat ke arah mall dan ia menyarankan untuk masuk ke
dalam untuk mengecoh makhluk itu. Dengan cepat Viktor mengambil keputusan untuk
mengikuti saran dari Hoshi dan bergegas mereka memasuki mall. Keadaan mall itu
sangat gelap dikarenakan tidak adanya listrik dan kemungkinan hal itu
disebabkan dari salah satu mesin di pembangkit listrik yang meledak.
Mereka memutuskan untuk berpencar dan bersembunyi di lantai
yang berbeda-beda. Viktor mengabari dari radio kalau mereka akan berkumpul
kembali di lapangan parkir yang berada di belakang gedung mall. Viktor dan Ned
bersembunyi disalah satu stan makanan yang berada di lantai 1. Lalu Salvia dan
Ducan bersembunyi diruangan staf yang ada di lantai 2. Dan Jester dan Hoshi
bersembunyi di game center di lantai 3.
Di lantai 1, Viktor melihat para makhluk itu juga berpencar
untuk mengejar mereka. Empat dari mereka tetap berada di lantai 1, dan sisanya
pergi ke lantai 2 dan 3.
“Squad, disini Viktor
mengabari kalau terdapat empat monster di lantai 1, dan sisanya pergi ke arah
kalian” Viktor memperingatkan yang lainnya melalui radio komunikasi.
“Disini Salvia.
Terdapat tiga ekor yang berada di lantai 3”.
“Ada dua makhluk di
lantai 2” ucap Hoshi dengan berbisik.
Kemana sisa satu ekor lagi? Pertanyaan itu terbesit di
dalam pikiran Viktor. Namun belum sempat memikirkan kemungkinannya, salah satu
makhluk datang mendekat ke tempat persembunyian mereka. Viktor dan Ned
bersembunyi di balik meja kasir di stan makanan fried chicken. Begitu dekatnya
mereka dengan makhluk itu sampai-sampai mereka bisa mendengar suara erangan
darinya. Suara langkah kakinya perlahan menjauhi tempat persembunyian mereka. Pada
saat pertama kali melihat mahkluk itu, Ned berpikir kalau tubuh makhluk itu
layaknya sebuah bayangan, dan berkat dari suara langkah kaki makhluk itu Ned
menyadari kalau tubuh makhluk itu solid, yang berarti mereka masih bisa di
lumpuhkan dengan senjata.
Ned memberi tahu Viktor hal itu, dan berkat itu kesempatan
mereka untuk lolos menjadi lebih terbuka. Viktor menunggu waktu dimana makhluk
itu berkumpul, dan pada saat kesempatan itu tiba, Viktor menembakkan senjatanya
ke arah makhluk itu. Dengan menghabiskan satu magazin peluru, empat makhluk itu
sudah tidak bergerak lagi. Dengan segera Viktor mengabari rekannya yang lain.
Kondisi di lantai 2, sedang terjadi kejar-kejaran antara
Jester, Hoshi dan dua makhluk itu. Begitu informasi dari Viktor telah sampai
kepada mereka, dengan cepat mereka berganti ke posisi menyerang. Makhluk itu
dengan cepat melancarkan cakarannya ke arah Jester, tetapi serangan itu masih
bisa di tahan oleh tameng miliknya, setelah itu ia menembakkan senjatanya tepat
ke kepala makhluk itu dan makhluk itu tidak bergerak lagi. Sedangkan Hoshi juga
tidak mau kalah, dengan mudah ia menebas makhluk itu menjadi berkeping-keping.
Setelah beres, mereka bergegas menuju titik kumpul yang telah di tentukan.
Dilantai 3, begitu menerima informasi dari Viktor, dengan
mudah Ducan menghancurkan kepala makhluk itu. Berkat atap mall yang terbuat
dari kaca membuat sinar rembulan masuk ke dalam dan memudahkan Ducan menembak
makhluk itu dari pintu di ruangan staf. Setelah selesai dengan makhluk itu,
Ducan kembali ke ruangan staf ingin menjemput Salvia. Terlihat Salvia berdiri
di depan sebuah ruangan yang memancarkan sebuah cahaya dari dalam. Begitu Ducan
mendekati Salvia, ia balik menoleh ke arah Ducan dan berkata, “Ducan, bukankah
listrik di gedung ini tidak ada?”
Ducan sedikit kaget mendengar pertanyaan dari Salvia, “Apa
maksudmu Salvia?” begitu Ducan melihat ke arah dalam ruangan ia melihat sebuah
komputer yang ada di ruangan itu menyala namun monitornya hanya menampilkan
layar putih polos. Dengan perlahan Salvia mendekati komputer itu, ia menekan
tombol enter pada keyboardnya dan seketika monitor itu menampilkan video
rekaman CCTV yang ada di mall. Salvia melihat tanggal yang tertera dalam
rekaman CCTV itu menunjukkan tanggal 30 November.
Rekaman
CCTV diputar dan terlihat kabut tebal menutupi seluruh kota, kemudian terdengar
suara ledakan yang membuat orang-orang menjadi panik dan cemas. Beberapa security
nampak menenangkan pengunjung yang ada di dalam mall. Tak berselang lama
terdengar suara raungan yang sangat keras yang membuat seisi mall menjadi
semakin panik, kabut secara mendadak masuk ke dalam mall dan menambah
kekacauan. Suara raungan itu kembali terdengar lagi dan seketika orang-orang
yang berada di dalam ataupun di luar mall mendadak menghilang. Hal ini menjawab
penyebab hilangnya warga kota walau kondisi dan kemana mereka pergi tidak
diketahui.
Rekaman CCTV itu berhenti, dengan wajah yang sedikit
ketakutan, Salvia memandang ke arah Ducan. Ducan mengerti kalau rekannya itu
menjadi sedikit terguncang, ia menyarakan untuk pergi ke tempat perkumpulan.
Salvia kembali menenangkan dirinya dan kemudian mereka menuju ke lapangan
parkir yang ada di belakang gedung.
Viktor dan Ned adalah orang yang pertama kali sampai di
lokasi yang telah mereka tentukan. Mereka menunggu sambil bersembunyi di sudut
lapangan parkir yang terlihat terlindungi dari sinar rembulan. Viktor masih
saja memikirkan kemungkinan dimana satu makhluk lagi berada. Tak berselang lama
yang lainnya telah berhasil berkumpul ke lokasi. Viktor memerintahkan Salvia
dan Hoshi untuk membajak mobil pick up yang tak jauh terparkir di dekat mereka.
Tanpa basa-basi mereka langsung menjalankan perintah itu, sedangkan Ducan
menhampiri Viktor dan melaporkan apa yang mereka temukan di ruang staf.
Mendengar apa yang terjadi pada warga membuat Viktor sekali
berpikir keras kemungkinan apa yang terjadi pada warga. Namun ia tidak ingin
terlalu memikirkannya dan berencana fokus untuk menyelesaikan misi. Tak butuh
waktu lama, mobil berhasil dinyalakan oleh Salvia dan mereka bergegas untuk
pergi ke tempat tujuan. Jester kembali mengambil alih kemudi dan Hoshi berada
di sebelah Jester, sedangkan sisanya berada di belakang. Mereka hendak
berangkat, namun Ned melihat makhluk yang sedari tadi menghilang kini berada di
atap mall. Makhluk itu kembali ke wujud gadis kecil dengan gaun one piece putih
dan rambut kepang duanya. Namun Ned melihat sedikit keanehan pada makhluk itu.
Di bawah sinar bulan, ukuran makhluk itu menjadi semakin membesar, sebuah
tanduk yang mirip dengan ranting pohon keluar dari kepalanya dan kedua
tangannya berubah ke bentuk sabit.
Gumpalan hitam mirip daging berterbangan dari arah makhluk
itu menghujani rombongan Viktor yang berada dibawah. Tiba-tiba makhluk itu
melompat ke arah mereka, dengan cepat Jester memundurkan mobil pick up itu
untuk menghindari monster itu. Kini monster itu 100 kali bertambah buruk rupa
dari wujud awalnya. Sekarang monster itu memiliki kepala yang mirip dengan
tengkorak sapi dengan sepasang tanduk mirip ranting, tubuh bagian atasnya kini
memperlihatkan tulang rusuknya dan dua buah tangan berbentuk sabit, dan tubuh
bagian pinggang sampai kaki berubah menjadi bentuk kelabang. Kira-kira ukuran
moster itu saat ini memiliki tinggi sekitar 4 meter, dan panjang hampir 10
meter. Makhluk itu menatap ke arah mereka dengan tatapan penuh nafsu, dan dari
balik wajah jelek rupanya itu terdengar suara tawa yang mengerikan.
Tanpa berpikir panjang, Jester mennginjak pedal gas
dalam-dalam dan kini mereka dikejar oleh makhluk jadi-jadian itu. Mobil pick up
itu menyentuh kecepatan 90 km/jam dan makhluk itu hampir bisa menyusul mereka.
“Semuanya hancurkan
kaki makhluk itu” teriak Viktor memberikan arahan.
Semua amunisi mereka kerahkan setidaknya untuk memperlambat
pergerakan makhluk itu, dan setelah membuang banyak peluru 4 kaki makhluk itu
hancur yang mengakibatkan makhluk tertinggal jauh. Untuk sementara mereka
berhasil lolos dari kejaran monster itu, tetapi tidak tahu sampai kapan. Mobil
pick up yang mereka naiki terus melaju menuju monumen Dirilis, hingga akhirnya
mereka telah sampai di tujuan.
The
truth
Mereka telah sampai di monumen Dirilis, dimana kemungkinan
artefak yang mereka cari berada. Dan jika diperhatikan lebih detail arsitektur
bergaya gothic nampak kental
menghiasi bangunan itu. Menambah kesan kalau bangunan itu dibangun oleh para
penjahat.
Tanpa berlama-lama Jester dan Hoshi membuka pintu depan
bangunan, tetapi tidak ada satu orangpun berada di dalam ruangan. Dengan
waspada mereka menelusuri ruangan itu, mereka berjalan menghampiri altar yang
terdapat di bagian depan. Begitu didekati terlihat sebuah jalan rahasia terbuka
di sebelah kanan altar. Sebuah tangga mengarah ke bawah, Ned berpendapat kalau
tangga ini mengarah ke ruang bawah tanah yang ada di bawah monumen Dirilis. Jadi
mereka memutuskan Jester, Hoshi, dan Ducan tetap berada di dalam ruangan
menjaga jalan itu, sedangkan Ned, Viktor dan Salvia memutuskan untuk masuk ke
dalam jalan rahasia.
Walau ada sedikit keraguan di dalam diri Ned, ia kini
membulatkan tekadnya untuk memasuki jalan itu. Viktor yang menjadi pertama
menuruni tangga dengan sebuah senter di tangan kirinya dan pistol di tangan
kanan. Ned hendak menyusul Viktor namun Hoshi mendekatinya dan memberikannya
sesuatu sambil berkata, “Untuk jaga-jaga”. Setelah menerima barang dari Hoshi,
ia juga menuruni tangga yang gelap itu disusul dengan Salvia berada di
belakang.
Mereka bertiga menuruni banyak sekali anak tangga, semakin
dalam mereka turun, tangga yang tadinya berbentuk utuh, kini perlahan tidak
berbentuk lagi. Dan semakin dalam mereka turun mereka semakin menyadari
ternyata jalan ini mengarah ke sebuah gua dan bukan ruangan basement. Gua itu
terbilang besar dan nampak tua diukur dari ukuran stalaktit dan stalagmit yang
dimilikinya. Namun yang cukup mengherankan adalah menurut sejarah, pulau Summer
Island merupakan sebuah pulau hasil reklamasi, yang mana berarti keberadaan goa
seperti ini menjadi kontradiksi.
Pikiran Ned dipenuhi teori dan kemungkinan ketika ia
mengetahui keberadaan goa itu. Hampir sama dengan Ned, Salvia dan Viktor juga
keheranan mengetahui keberadaan goa itu. Ketika sampai di ujung goa, mereka
kembali melihat sebuah tangga, kini tangga itu mengarah ke atas. Namun sebelum
mendaki anak tangga, Ned melihat sebuah aksara di dinding goa namun sayang tidak
jelas apa maksud dari aksara itu. Dan tak jauh dari lokasi aksara itu, Ned
melihat sebuah mural akibat ketidaksengajaan Salvia dalam menerangi tembok gua.
Ned meminjam senter dan memperhatikan mural itu dengan teliti. Mural itu
menggambarkan tiga sosok makhluk yang memimpin kelompok mereka. Lalu di gambar
selanjutnya nampak peperangan terjadi diantara mereka. Kemudian muncul makhluk
yang digambarkan mirip dengan ketiga makhluk yang memimpin kelompok tadi. Lalu
di gambar berikutnya, terlihat salah satu makhluk itu mati, yang menyebabkan
dua makhluk lainnya marah. Dan gambar mural yang terakhir menunjukkan kalau
makhluk yang muncul di tengah-tengah tadi pergi entah kemana.
Gambar mural itu membuat Ned menjadi semakin penasaran
dengan makna di baliknya, siapa sosok yang diceritakan di dalam mural itu?
Hingga siapa yang membuat mural itu di dalam goa ini? semua itu menjadi
pertanyaan besar bagi Ned sampai-sampai ia terdiam dan hampir tertinggal.
Viktor meneriaki namanya hingga Ned kembali tersadar dari dalam pikirannya. Ia
bergegas menyusul Viktor dan Salvia yang sudah berada cukup jauh.
Sekitar 10 menit mereka menaiki tangga dan terlihat cahaya
dari arah ujung yang menandakan adanya
jalan keluar. Hembusan angin menyambut mereka yang baru saja keluar dari goa
itu. Kini mereka berada di permukaan, disebuah hutan yang kemungkinan berada di
utara pulau. Dari posisi mereka saat ini, Ned masih bisa melihat sedikit menara
dari monumen Dirilis walau dengan samar-samar. Serta terdengar dengan pelan
suara hempasan ombak yang menabrak tebing.
Sebelum melangkah lebih jauh, Viktor menyusun rencana untuk
pencegahan jika terjadi sesuatu yang tidak terduga. Viktor mengabari mereka
yang ada di monumen Dirilis untuk mempersiapkan kendaraan, dan Viktor juga
tidak lupa memberi tahukan lokasi mereka saat ini yang berada di hutan belakang
monumen Dirilis. Setelah rencana disusun dan diperkirakan sudah matang, mereka
bertiga kembali melanjutkan berjalan menyusuri jalan setapak yang ada di hutan
itu.
Jalan setapak itu berakhir di sebuah tebing curam yang
langsung mengarah ke laut utara pulau Summer Island yang dikenal sangat ganas. Terdapat
sebuah batu besar yang permukaannya datar, jika dilihat sekilas batu itu terlihat
seperti sebuah altar persembahan. Ned menghampiri batu itu, lalu ia menyadari
terdapat ukiran aksara dari peradaban kehampaan. Aksara itu sering ia jumpai
saat sedang mengumpulkan bukti untuk seminarnya terkait Unidentified Creature. Ned mencoba sedikit menejermahkan apa yang
terukir di batu itu, dan hasilnya adalah.
“Usaha manusia dalam
mencari arti kehidupan akan berakhir kegagalan, tidak lain dan tidak bukan
adalah suatu bentuk ke’absurd’an”
Entah apa maksud dari ukiran itu, dan masih banyak hal yang
belum mereka ketahui tentang apa yang sebenarnya terjadi di Summer Island. Tak
lama saat Ned mengamati altar itu, beberapa orang dari organisasi Gettin Blood
datang mengepung mereka. Viktor dan Salvia bersiaga dengan senjatanya, dan
mereka bersiap melindungi Ned. Dari balik bayangan hutan, seorang pria
berperawakan tinggi, dengan bentuk wajah oval, rambut tipis yang sudah memutih,
keriput di dahi dan tulang pipinya yang terlihat. Mengenakan semacam pakaian
kultus dan di tangan kirinya terdapat sebuah buku berwarna hitam yang berukuran
tebal.
Entah apa yang merasuki pria tua itu, secara mendadak ia
memperkenalkan dirinya, “Wahai para tamu yang berkunjung ke tanah yang dikutuk
ini. Perkenalkan, saya adalah Demetrius, orang yang menjunjung dan mencintai
bumi, salah satu petinggi dari organisasi yang menentang kedatangan dewi baru.
Kami adalah Gettin Blood” Ucapnya dengan sikap elegan layaknya pelayan yang
menyambut tamu.
Perhatian Viktor dan Salvia bukan terpusat pada orang tua
itu, melainkan pada buku yang ada padanya. Artefak yang sedang mereka cari kini
ada di depan mata. Viktor bertindak cepat dengan mengarahkan senjatanya pada
pria yang memanggil dirinya Demestrius itu dan juga mengancamnya.
“Demestrius dari Gettin
Blood. Berikan buku yang ada padamu, atau kau akan mati disini”.
“Sayangnya itu tidak
akan terjadi Kapten Viktor, ataukah harus kupanggil Viktor Alvaro putra dari Mayor
Ezra Alvaro”.
Viktor kaget mengetahui orang asing itu mengetahui latar
belakangnya yang seharusnya hanya dia dan Nacht yang tahu. Amarah tumbuh dalam
diri Viktor dan ia menanyakan darimana Demestrius mengetahui latar belakangnya?
“Sayangnya aku tidak
bisa memberitahukan mu tentang itu”
Gejolak amarah dalam diri Viktor sudah mencapai batas,
jarinya hendak menarik pelatuk dari senjatanya namun seketika Ned memegang
pundak Viktor dan berkata, “Kapten. Tenanglah”. Viktor menoleh ke arah Ned dan
ke arah Salvia yang khawatir padanya. Viktor menurunkan senjatanya dan mundur
beberapa langkah untuk mendinginkan kepalanya.
“Senang bertemu dengan
mu Profesor Ned Reigha” ucap Demestrius menyapa Ned yang ada di hadapannya.
“Tidak perlu seformal
itu. Kau Demestrius kan? Bisakah aku bertanya beberapa hal padamu?”
Demestrius sedikit terkejut lalu ia tersenyum ke arah Ned,
“Boleh saja, saya akan menjawab pertanyaan dari anak muda yang penuh dengan
rasa ingin tahu sepertimu”.
Ned berpikir sejenak mengenai apa yang akan ia tanyakan
selagi ada kesempatan.
“Demestrius, sebenarnya
apa tujuan mu kemari?, kenapa kau menyebut pulau Summer Island ini sebagai
tanah terkutuk? Apa sebenarnya makhluk yang berkeliaran di kota itu? Dan
sebenarnya, apa yang sedang kau bawa itu?”
“Ada empat pertanyaan”.
Demestrius diam sejenak, angin berhembus pelan menerbangkan beberapa daun dari
pepohonan. Viktor dan Salvia terus mewaspadai anggota kelompok Gettin Blood
yang lainnya. “Untuk pertanyaan mu yang pertama, sayangnya saya tidak bisa
memberitahumu. Lalu untuk pertanyaan kedua, kenapa saya menyebut pulau ini
tanah terkutuk? Itu karena asal usul dari pulau ini yang sangat aneh. Anda
pasti menyadarinya profesor. Menurut artikel, berita, ataupun catatan sejarah
mereka mengatakan kalau pulau ini adalah pulau reklamasi. Namun disini anda
dapat menemukan sebuah goa, dan tebing seperti yang ada di belakang anda itu
juga menjadi tidak masuk akal kalau pulau ini adalah pulau reklamasi”.
Setelah diberitahu, Ned juga baru menyadari keanehan
tersebut. Demestrius kembali tersenyum dan melanjutkan jawabannya.
“Sebenarnya 20 tahun
yang lalu, saat situasi sedang berkabut sama seperti saat ini, pulau ini muncul
begitu saja. Masyarakat yang mengetahui hal itu tentu menjadi panik dan
khawatir lalu mereka menamai pulau ini sebagai tanah terkutuk. Tetapi kenapa
hal itu tidak di tulis dalam catatan sejarah? Itu karena ada yang telah
memanipulasi ingatan semua orang sehingga mereka melupakan keanehan pulau ini”.
Mendengar hal itu, Viktor sedikit kaget dan seketika
Demestrius menatap ke arahnya sambil tersenyum seperti menyinggungnya.
“Lalu untuk pertanyaan
anda yang ketiga, makhluk yang berkeliaran di kota Olaq saat ini adalah sebuah
perwujudan dari salah satu kekuatan suatu entitas absolut yang dikenal sebagai
‘Assurd’. Kabut yang sangat tebal, menghilangnya orang-orang, munculnya makhluk
aneh, adalah bentuk ketidakjelasan yang dilakukan entitas itu. Dan untuk
pertanyaan terakhir”.
Demestrius
membuka buku hitam itu, dan seketika angin bertiup dengan kencang.
“Buku ini adalah
artefak untuk memanggil entitas tersebut” ucap Demestrius yang membuat Viktor
langsung menarik lengan Ned untuk berada di dekat ia dan Salvia.
Demestrius
membacakan sebuah mantra apa yang ada di dalam buku itu, dan tanah kini
berguncang dengan hebat. Burung-burung yang berada di dalam hutan terbang
menjauh. Para anggota Gettin Blood yang lain kesulitan untuk berdiri begitu
juga dengan Ned, Viktor dan Salvia. Nampak dari dalam hutan sesuatu yang besar
kini mendekat. Alat komunikasi Viktor menerima pesan dari Jester kalau monster
yang ada di kota kini mengarah ke tempat mereka berada.
Ned
berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan. Terpikir satu ide gila dari
Ned. Ia berusaha untuk berdiri walau dengan susah payah, Ned melihat Demestrius
masih membaca artefak itu. Dengan cepat Ned berlari menuju ke arah Demestrius,
ia menggapai buku hitam itu dan menggenggam beberapa halaman. Dengan sekuat
tenaga yang ia miliki, Ned berhasil merobek beberapa halaman yang sudah ia
pegang. Dan seketika guncangan itu berhenti.
“APA YANG KAU LAKUKAN
BANGSAT??!!!”
Ketenangan
dan keeleganan yang Demestrius perlihatkan tadi kini telah menghilang. Demestrius
mengambil pistol yang ada di pinggang belakangnya dan mengarahkannya pada Ned.
Tetapi sayang Ned lebih cepat mengambil psitol yang telah di berikan oleh Hoshi
sebelumnya dan ia berhasil menembak pundak kanan Demestrius dan berkat itu
senjata milik Demestrius terjatuh.
Para
anggotanya datang dan menghampiri Demestrius, dua dari mereka membantunya untuk
kembali berdiri dan sisa yang lainya kini mengepung mereka bertiga. Dan situasi
kini bertambah kacau karena moster berbentuk kelabang yang ada di kota Olaq
sebelumnya kini telah berada di tempat mereka. Dengan tangan berbentuk sabit
yang dimiliki makhluk itu, ia membelah beberapa orang bawahan Demestrius.
Viktor mengabari Jester untuk datang menjemput mereka. Salvia membantu Ned
untuk melarikan diri dan Viktor berjaga-jaga kalau monster itu datang
menyerang.
Setelah
puas mencabik beberapa orang monster itu kini beralih ke kelompok Viktor.
Monster itu melancarkan tebasannya namun mereka masih bisa menghindarinya,
Viktor juga menembaki tubuh makhluk itu yang membuatnya mengerang kesakitan.
Saat Viktor kehabisan peluru, makhluk itu mengambil kesempatan untuk menyerang.
Ia mengayunkan lengannya dengan cepat. Viktor yang kurang cepat untuk
menghindar mendapatkan luka yang cukup parah pada bagian paha. Paha kirinya
terkoyak dan mengeluarkan banyak darah. Salvia bergegas menghampiri Viktor yang
tersungkur di tanah, dan Ned menembakkan beberapa peluru ke arah monster itu.
Pistol
Ned hanya menembakkan 11 peluru dan sekarang monster itu bersiap melancarkan
serangannya. Mereka tidak bisa menghindar lagi, dan pada saat serangan itu
hampir mengenai mereka, dengan cepat Jester datang dan menahan serangan itu
dengan tameng miliknya. Kemudian peluru dari senjata milik Ducan melesat dengan
cepat mengenai kepala makhluk itu. Selagi ada kesempatan Salvia dan Ned
membantu membawa Viktor untuk di bawa ke atas mobil Pick up. Terlihat makhluk
itu masih menggeliat kesakitan dan juga salah satu tanduk miliknya kini telah
patah.
Begitu
hendak pergi tanah kembali terguncang. Kali ini guncangannya lebih kuat
daripada sebelumnya. Dan ternyata Demestrius kembali membacakan sisa mantranya
dan hendak memanggil entitas yang ia bicarakan sebelumnya. Kabut kembali
semakin tebal dan guncangan tadi kini semakin menghilang.
“HAHAHAHAHAHAHAHHAHAAAHAA”
terdengar tawa dari Demestrius begitu ia selesai membaca mantranya. “Sekarang
dunia akan memiliki kekuatan untuk mengusir dewi itu dari dunia ini”.
Ned sama sekali tidak paham dengan semua perkataan dari
Demestrius, tetapi mereka tidak punya waktu untuk meladeninya. Monster itu
kembali mengamuk dan kini ia mengayunkan tangannya yang berbahaya secara
membabi buta. Ekornya mengibas-ngibas tak menentu, dan akibat kibasan ekornya
itu, membuat Demestrius terlampar ke tepi tebing. Dirinya masih selamat tapi
buku miliknya jatuh ke dalam lautan. Para bawahannya kembali membantu
Demestrius untuk segera pergi. Sama halnya dengan kelompok Viktor, setelah
Salvia selesai memberikan pertolongan pertama pada Viktor, Jester duduk di
tempat kemudi dan langsung menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil mereka melaju
meninggalkan makhluk itu merusak hutan dengan serangannya yang membabi buta.
Kabut tebal menghalangi pandangan Jester dalam mengemudikan
mobil. Viktor terbaring di gerobak mobil, Salvia terus memantau kondisi
kaptennya itu dan yang lainnya berharap dapat keluar dari pulau ini dengan
selamat. Tetapi perasaan gelisah, khawatir, dan takut terus muncul mengaliri
diri mereka semua.
Mobil pick up itu kini menginjakkan bannya di aspal,
menandakan mereka sudah berada di jalan kota. Mobil melaju dengan cepat dan
Jester yang mengemudikannya dengan serius memperhatikan jalanan. Walau dalam
kabut yang tebal, ia masih bisa melihat bayangan dari gedung-gedung walau
dengan samar. Tetapi begitu ia mengedipkan mata, semua bangunan itu kini menghilang
dan setelah itu terdengar dengan keras suara bangunan yang hancur, kaca pecah
dan suara yang lainnya dengan tiba-tiba. Suara itu memekakkan telinga mereka
untuk beberapa saat. Hoshi yang berada di sebelah Jester berusaha
memanggil-manggil yang lainnya. Saat ia menoleh ke belakang, ketempat rekannya
yang lain, Hoshi tercengang dengan apa yang ia lihat.
Mereka semua melihat ke belakang dan terlihat sebuah
lingkaran kuning besar yang bersinar dengan terang. Namun bukan itu yang
membuat mereka merasakan keputusasaan. Sebuah siluet dari entitas raksasa yang
memiliki dua buah tanduk, memiliki dua buah tangan yang panjang dan terlihat
memiliki kuku yang tajam, lalu memiliki dua buah kaki.
Karena dalam bentuk siluet, dan kondisi kabut lumayan tebal
membuat mereka tidak bisa dengan jelas melihat sosok makhluk itu. Tetapi berkat
sinar terang dari lingkaran itu mereka bisa melihat makhluk itu. Diperkirakan
lingkaran itu memiliki diameter sekitar 100 meter, sedangkan ukuran dari
entitas yang dipanggil “Assurd” ini kurang lebih sekitar 200-300 meter.
Mobil mereka melaju dengan cepat sampai-sampai mereka tidak
menyadari kalau mereka telah berada di dekat jembatan. Begitu ban mobil
menginjakkan aspal di jembatan, terdengar suara raungan dari makhluk itu dengan
sangat keras. Entah apa yang terjadi, tetapi sekarang prioritas mereka adalah
kembali dengan selamat. Mereka berhenti di tengah jembatan dikarenakan minyak
dari mobil pick up ini telah habis.
“Salvia, minta pada
pusat untuk penjemputan” kata Jester sambil menyandarkan tubuhnya.
Salvia menuruti perintah Jester dan meminta untuk
mengirimkan penjemputan dan melaporkan kondisi mereka saat ini. Angin bertiup
dengan kuat sesaat dan menerbangkan kabut yang menetupi selat Gaib. Sesaat
tiupan angin itu berhenti, Ned yang ada di belakang berdiri dengan kaget.
“Ada apa profesor?”
tanya Ducan yang sudah nampak lemas.
“Pulaunya.... pulaunya
menghilang”
Mata
kuning seindah bulan
12 Desember 2019, pukul
9:00 pagi.
Di istana negara Venti sedang berlangsung rapat kenegaraan
terkait peristiwa menghilangnya pulau Summer Island. Masyarakat dan juga para
wartawan mendesak penjelasan dari pemerintah mengenai peristiwa itu. Rapat kali
ini hanya dihadiri oleh presiden, menteri pertahanan dan keamanan negara dan
terakhir kepala bidang keamanan organisasi Secret Society.
Nacht melaporkan misi yang dijalankan anggotanya kemarin malam dan ia mengatakan kalau terjadi sesuatu diluar perkiraannya hal itu adalah kedatangan salah satu entitas dari World Concept.
Nacht mengatakan kalau ia tidak menyangka entitas absolut seperti itu datang sehingga
menyebabkan rencananya mengalami kegagalan. Squad yang dikirimnya gagal
mendapatkan artefak itu, tetapi mereka juga mendapatkan informasi terkait
rencana dari organisasi Gettin Blood dan tujuan mereka di Summer Island.
Mendengar hasil misi yang dilakukan Nacht, wajah Igon menjadi merah padam karena
amarah.
“Berani-beraninya kau
datang kesini dengan tenangnya setelah mengalami kegagalan seperti itu?!”
Menteri itu menatap ke arah Presiden lalu berkata, “Sudah kubilang Wiliam, kita
tidak bisa mempercayai wanita licik ini untuk mengurusi masalah kita. Dia yang
berasal dari ras penyihir putih memang tidak bisa dipercaya”.
“Igon sudah cukup!” bentak
presiden pada pria tua galak itu.
Nacht menatap kedua pria itu dengan matanya yang kuning, ia
berbicara “Walau kami tidak berhasil mendapatkan artefak itu, tetapi kami
berhasil mendapatkan beberapa lembar dari artefaknya dan pihak musuh, juga
sudah tidak memiliki buku itu. Jadi saya menganggap ini bukanlah suatu
kegagalan yang besar...”.
“Apa maksudmu?!”
sambung Igon dengan cepat “Apakah nyawa warga yang menghilang itu tidak berarti
untuk mu? Sempat-sempatnya kau mengatakan kalau ini bukanlah suatu kegagalan.
APA KAU GILA!!” suara Igon menggema di dalam ruangan itu.
“Lagipula mereka akan
melupakan kejadian ini, begitu juga dengan anda pak Menteri” ucap Nacht dengan
tenang.
Mendengar jawaban dari Nacht, presiden berdiri dan ia
merasa khawatir pada temannya itu. Nacht menatap dirinya dengan mata kuning
yang seindah bulan purnama itu, membuat presiden kembali duduk di tempat
duduknya.
“Kalau begitu saya
pamit undur diri terlebih dahulu” kata Nacht sambil berdiri lalu berjalan
meninggalkan kursinya. Namun sebelum pergi dari ruangan, Nacht membalikkan
badannya dan berkata “Bisakah anda mempersiapkan konferensi pers Presiden? Saya
ingin meminta maaf pada semua orang. Kalau begitu permisi”.
Pintu terbuka dan menyisakan mereka berdua di ruangan. Igon
masih terus mengoceh dan marah terhadap perilaku Nacht barusan. Tetapi ada yang
aneh dengan wiliam. Ia merasa cemas dan juga khawatir.
“Wiliam kau tidak
apa-apa?” tanya Igon pada Presiden yang merupakan teman dekatnya.
Pria paruh baya itu tersenyum pada rekannya itu dan ia
berkata, “Tidak apa-apa teman. Senang bisa mengenalmu”.
Igon kelihatan bingung dengan apa yang terjadi pada
temannya itu. Dan seketika tubuh kedua pria itu meledak bagaikan balon.
Menyisakan darah yang berhamburan diseluruh ruangan itu. Sebuah lampu kecil
dari kamera CCTV yang berada di ruangan itu mengedipkan cahaya merah berulang
kali. Dan tak lama kemudian Theo hadir ke ruangan itu dengan beberapa orang
berpakaian hitam.
“Bersihkan segera
ruangan ini dan juga siapkan tubuh pengganti”.
“Siap tuan Theo”.
20 menit berlalu dan akhirnya Theo dan orang-orang tadi
keluar dari ruangan itu. Dan tak berselang lama, presiden Wiliam dan juga
Menteri pertahanan Igon juga keluar dari ruangan seolah tidak terjadi apa-apa.
Di salah satu ruangan di istana negara, para wartawan bersiap untuk melakukan
konferensi pers yang akan dilaksanakan pada pukul 12 siang nanti. Semua
wartawan dari berbagai stasiun televisi juga datang menghadiri konferensi pers
tersebut.
Tepat pukul 12 siang, seorang perempuan berambut putih
panjang, dengan pin rambut berbentuk kelinci berwarna hitam datang memasuki
ruangan. Semua wartawan yang ada disana memotret perempuan dengan paras yang
cantik itu, ia datang dengan mengenakan jas berwarna putih bersih, dan kemeja
hitam di bagian dalam, ditambah dasi biru langit dan juga rok mini berwarna
putih dipadukan dengan stocking hitam panjang yang sampai ke paha dan sepatu
high heels berwarna hitam.
Nacht duduk di kursi yang sudah disediakan, ia melirik para
wartawan yang terus menatapnya. Seakan bisa berbicara melalui telepati Nacht
tahu mereka ingin kejelasan.
“Sebelumnya saya ingin
meminta maaf untuk semua yang hadir disini, kalian telah repot-repot datang
kesini menghadiri konferensi pers ini”. Nacht menutup matanya dan ia menghirup
nafas dengan dalam, “Tapi sayangnya tidak ada yang bisa saya jelaskan kepada
kalian, jadi pulanglah”.
Nacht mengatakan hal itu dengan ramah, walau begitu para
wartawan yang sudah sedari tadi menunggu justru menjadi marah. Mereka mulai
melempari Nacht dengan botol minuman dan berbagai benda lainnya. Seketika lampu
di dalam ruangan menjadi padam, dan ternyata tidak hanya lampu, listriknya juga
ikut padam. Hal ini membuat kamera yang digunakan untuk menyiarkan berita ke
studio televisi juga ikut mati.
Ditengah kegaduhan itu terdengar suara yang sangat merdu
mengucapkan kata “Vergis es”. Suara kegaduhan sekarang berubah menjadi suara
jeritan keputusasaan. Nacht keluar dari ruangan dan saat di pintu, ia bertemu
dengan Theo bersama beberapa orang berpakaian hitam.
“Theo bersihkan dan
siapkan tubuh baru untuk mereka semua. Pastikan proses penghilang ingatannya
berhasil. Saya ingin istirahat sebelum melakukan penghapusan ingatan pada
masyarakat”.
“Siap nona”.
Theo menunduk dan Nacht pergi ke ruangan istirahat. Setelah
itu Theo kembali memberikan perintah untuk membersihkan ruangan itu.
Penghapusan ingatan pada seluruh masyarakat Venti dilakukan pada jam 14:00
siang melalui media televisi. Dan hasilnya tidak ada yang ingat tentang
kejadian di Summer Island, keanehan yang terjadi, sampai keberadaan pulau itu.
Semua orang telah melupakan hal itu baik dari ingatan mereka ataupun dari jejak
digital, kecuali mereka dari Secret Society.
Dan tidak terasa hari telah berubah menjadi malam. Sekali
lagi bulan purnama menghiasi langit malam. Sinarnya kini memasuki salah satu
ruangan melalui jendela dan menyelimuti Nacht yang sedang mengerjakan beberapa
berkas laporan yang ada di atas meja kerjanya.
‘Tok tok tok’
Terdengar suara ketukan dari pintu dan Nacht memberikan
izin kepada orang itu. Ketika pintu terbuka terlihat Ned sedang memasuki
ruangan.
“Ada apa Profesor?
Larut malam begini bertemu dengan saya”.
“Sebenarnya ada hal
yang sedari kemarin mengganggu saya, nona Nacht”.
Nacht mengehentikan pekerjaannya sesaat dan memperhatikan
Ned yang berdiri di depannya, “Silahkan Profesor apa yang ingin anda tanyakan”.
“Sebenarnya kemarin,
Demestrius menyinggung asal usul pulau Summer Island, ia juga memanggil pulau
itu tanah terkutuk. Dan ia menjelaskan kalau pada awal kemunculan pulau itu,
terjadi kepanikan, dan kegaduhan dari orang-orang, namun semua melupakan
peristiwa itu layaknya apa yang terjadi dengan hari ini”.
Nacht menatap laki-laki itu dengan serius. Lalu Ned
melanjutkan, “Jadi, yang ingin saya tanyakan adalah, apa yang sebenarnya
organisasi lakukan pada saat itu bahkan sampai menghapus ingatan semua orang?”
“Haah...” suara helaan
nafas Nacht cukup keras hingga bisa terdengar oleh Ned. “Selain menghilangkan
kekhawatiran orang-orang, pada saat kemunculan pulau itu pertama kali terjadi
suatu peristiwa”.
“Peristiwa?” tanya Ned
dengan pelan, yang mana dirinya sedikit tertarik.
“Tapi sayangnya saya
tidak bisa memberitahu anda profesor”.
Nampaknya Ned terlalu berharap untuk mengetahui peristiwa
itu. Untuk menyenangkan anggotanya Nacht mengatakan, “Jika anda telah
mengartikan sisa artefak itu, mungkin saya bisa menceritakan beberapa peristiwa
hebat pada anda profesor”.
Pipi lelaki muda itu nampak memerah, karena ia malu Ned
dengan cepat bergegas meninggalkan ruangan. Terlihat sekali kalau Ned tidak
pernah digoda oleh perempuan sebelumnya. Nacht kembali mencoba fokus pada
pekerjaannya sebelumnya.
“Aku juga ingin
mendengar beberapa cerita dari mu Nacht”
Ucap
seseorang dari arah jendela. Orang itu membuka jendela yang ada di belakang
kursi Nacht lalu duduk di jendela. Bola matanya yang berwarna merah sedikit
menyala karena diterangi sinar rembulan.
“Apa yang kau lakukan
Shira? Tidakkah kau lihat saat ini aku sedang sibuk”. Kata Nacht yang terlihat
sedikit tidak senang melihat kehadiran orang itu.
“Aku juga ingin
mendengar beberapa cerita dari mu, itu saja”.
Dua orang ini memang tidak bisa akur, layaknya air dan
minyak, atau kucing dan anjing. Pria itu bernama Shira, ia adalah salah satu
anggota dari Squad khusus. Perawakannya tampan dengan rambut Comma hair berwarna cokelat kemerahan.
Poninya agak melengkung dan rambut bagian atasnya terlihat sedikit berantakan.
Walau berperawakan menarik, ekspresi yang selalu keluar dari Shira selalu datar,
dan bagi Nacht itu malah terlihat menyebalkan ditambah perilakunya yang
eksentrik.
“Sepertinya kau tidak
mengerti apa yang aku katakan ya? Aku sudah bilang kalau aku sedang sibuk” kata
Nacht dengan menaikkan nada suaranya.
“Padahal aku hanya
ingin mendengar cerita sebentar. Tapi daripada itu, aku mendapat kabar dari para peri akan terjadi kasus serupa di daerah Swampfield khususnya di kota Rabat ”.
“Baiklah kau boleh
pergi Shira”
Shira mengambil ancang-ancang untuk melompat dari jendela
tapi sebelum itu ia berpesan, “Jangan lupa untuk istirahat Nacht” setelah itu
ia melompat turun kebawah. Nacht tidak merasa khawatir pada Shira meski ia
melompat dari lantai 8. Nacht berdiri dari tempat duduknya dan merebahkan
dirinya di sebuah kasur yang ada di ruangan itu. Rambut putih milik Nacht
tersebar di kasur, ia menutup matanya dan berbisik.
“Semuanya berjalan
lancar, Dewi”.
*****
***BERSAMBUNG***











Komentar
Posting Komentar