BOOK OF CRIME CHAPTER III: TARIAN MALAIKAT

 

BOOK OF CRIME SERIES

CHAPTER III

TARIAN MALAIKAT


 


Hari yang sangat damai, matahari bersinar lembut, para burung berkicau merdu dan suara gemerisik dedaunan tertiup angin menambah merdunya melodi alam. Jauh dari suara berisik kendaraan, aku mencoba mencari ketenangan dengan bersantai menyeruput secangkir kopi luwak di tepi kolam ikan koi ini sembari membaca novel favoritku, novel karya Agatha Christie. Aku harap ketenangan ini bisa bertahan selamanya, namun di dunia ini tidak ada yang abadi. Suara gaduh terdengar di pintu depan. Ketukan pintu terdengar berulang-ulang hingga membuatku jengkel.

Ku alihkan pandangan ke arah asisten ku yang berdiri tak jauh dari posisi ku saat itu, dan memintanya untuk mengecek ke depan, “Yu bisa kau lihat siapa yang ada di depan sana, dia telah mengganggu hari tenang ku”.

“Baik tuan Nero”, dengan segera Yu melangkah menuju pintu depan.

Saat pintu terbuka terdengar suara seorang perempuan yang berteriak dari ruang tengah, ia memanggil namaku sambil berlari ke halaman belakang dengan penuh semangat. Orang itu adalah orang yang sangat tidak ingin ku jumpai saat ini, ia adalah  nona muda Queen Rosa. Putri kedua dari bangsawan Queen, kami bertemu dua tahun lalu saat keluarga Kings kehilangan harta berharga mereka. Dan karena keluarga Queen punya hubungan yang dekat dengan kepolisian di kota Austral maka aku sering medatangi kediamanan keluarga Queen dan sejak itu kami berteman cukup dekat.

Rambut hitam panjang milik nona muda itu terurai saat ia berlari mengahmpiri ku. Dengan semangat ia menyapa ku layaknya anak kecil, dan sebenarnya Queen Rosa empat tahun lebih muda dari ku. “Nero, aku rindu sekali dengan mu.  Aku cari kemana-mana ternyata kau disini, dan sedang apa kau di tempat ini? “ 

Kututup buku novelku dan kulihat  nona muda itu duduk di hadapan ku dengan senyum manis menunggu jawaban ku, “Aku sedang menjalani liburan. Jadi kenapa kau mencari ku Qi?”.

“Oooh...” kata Qi dengan santai. Lalu dilanjutnya, “Aku hanya ingin mengatarkan surat ini. Beberapa hari yang lalu rekanmu meminta ku untuk mengantarkan surat ini padamu”. Di serahkannya surat yang dibawa Qi kepadaku. Surat dengan amplop putih dengan cap kepolisan kota Zapad.

Melihat surat itu aku bertanya pada Qi, “Lalu Qi, kenapa Rizky tidak mengirimkan surat itu langsung padaku? Padahal dia tahu tempat liburanku ini”.

“Ntahlah, dia tidak memberitahu apapun”.

Aku memutuskan untuk pindah keruang tamu untuk melanjutkan pembicaraan kami, namun kali ini kami ditemani dengan Clairmont cake  dan cokelat panas. Qi nampak senang menyantap Clairmont cake buatan Yu. Yuliana atau yang sering kupanggil “Yu” adalah seorang asisten yang bekerja untuk membantu ku mengurusi masalah berkas-berkas pekerjaan yang sering kubawa ke rumah, dan sekalian membantuku dalam urusan bersih-bersih dan masak-memasak.

Kupandangi sejenak surat yang ada dihadapanku. Cukup lama kupandangi surat itu yang membuat Qi juga penasaran dengan apa yang ku lakukan. Surat dengan lambang segel kepolisian ini, sepertinya akan mengakhiri liburan ku. Dan tebakanku benar sekali. Surat itu adalah surat permintaan dari kepala polisi kota Zapad. Sudah lama aku tak mendapat kabar dari pak tua itu, dan aku memutuskan untuk mengakhiri liburan ku dan memenuhi permintaannya. Aku tidak bisa menolak permintaan pak tua ini.

Seakan tau isi pikiran ku, Qi tersenyum kecil dan berkata, “Sepertinya kau harus mengakhiri liburan mu ya, tuan Kingsla Albanero?”

“Sepertinya kau sudah mengetahuinya Qi. Dan sudah ku katakan untuk tidak perlu menambahkan gelar itu, nona Queen Rosa”.

“Kenapa? Padahal itu adalah sebuah gelar kohormatan”.

“Rasanya terdengar sedikit aneh, untukku”.

Qi hanya tertawa kecil mendengar perkataan ku seakan ia sepenedapat dengan ku. Dan setelah itu kuminta Yu untuk  mengambilkan sebuah koper yang ada di lantai dua, dan aku pergi ke kamar untuk  bersiap mempacking baju untuk ku bawa. Qi yang melihat tindakan ku bertanya pada ku, “Kau ingin pergi kemana Nero? Bolehkah aku ikut denganmu?”.

Mendengar pertanyaan dari Qi, ku hentikan kegiatan ku dan aku jelaskan kepadanya kemana aku akan pergi, “ Aku akan pergi ke kota Zapad, aku mendapat permintaan dari kepala polisi kota Zapad untuk membantu mereka menangani kasus pembunuhan yang belakanagan ini terjadi disana”.

Qi hanya menatapku dengan serius, lalu ia berkata “Hmm... menjadi seorang detektif terkenal itu susah juga ya. Jadi  apakah aku boleh ikut?”

“aku tidak merekomendasikannya Qi”.

“Kenapa aku tak boleh ikut Nero? “

“Aku tidak ingin kejadian yang lalu terulang lagi, aku tidak ingin kehilangan mu Qi”. Jawaban ku barusan membuat Qi kaget dan seketika pipinya sedikit memerah.

Di tenangkannya dirinya dan Qi berkata, “ Kali ini hal itu tidak akan terjadi, jadi percayalah Nero”. 

“Baiklah, tetapi kau harus selalu berada di dekat ku. Akan sangat merepotkan jika salah satu keluarga bangsawan sepertimu hilang, dan jangan lupa untuk meminta izin kepada ayahmu”.

Setelah selesai mempacking barang, kami langsung berangkat ke stasiun kota Austral. Dan Yu ku beri perintah untuk mengambil libur hingga urusan ini selesai. Sesampainya di stasiun nampak orang-orang yang sedang menunggu kereta, namun suasananya  nampak lumayan sepi di karenakan pada waktu begini orang-orang sedang sibuk bekerja dan anak-anak sibuk sekolah.  

Setelah menerima koper yang berisi baju dari pelayannya,  Qi kelihatan bersemangat sekali, ia seperti anak kecil yang menantikan perjalanan tamasya sekolah. Tak lama menunggu muncul sebuah kereta melaju ke arah stasiun. Kereta yang tadi melaju dengan cepat kini melambat dan berhenti. Pintu kereta terbuka dan kami masuk ke dalam gerbong. Aku duduk di dekat jendela, begitu juga Qi yang juga duduk di dekat jendela. Kami duduk saling berhadapan dan meletakkan barang bawaan kami di sebelah kami. Setelah beberapa menit menunggu semua penumpang naik, kereta kembali melaju perlahan tapi pasti sampai dengan kecepatan penuhnya. Semua yang kulihat silih berganti dengan cepat. Di sepanjang perjalanan Qi menikmati apa yang ia lihat di perjalanan. Butuh waktu yang cukup lama agar kami sampai di kota Zapad, sekitar satu harian. Namun, aku menikmati ketenangan ini walau aku tahu kalau ini hanya lah sementara. Ku kabari kepala polisi kota Zapad bahwa aku akan sampai disana besok siang.

Waktu terasa sangat cepat, kami habiskan waktu dengan bermain kartu, hingga tak terasa matahari sudah turun ke cakrawala meninggalkan sinar jingga yang indah ditambah dengan pemandangan pematang sawah. Dan tak terasa tubuhku merasa lelah. Ku sandarkan diri dan ku biarkan rasa kantuk menyerang, perlahan namun pasti mataku terasa berat dan akhirnya aku terlelap.

Aku terbangun dari tidurku dan tidak tau kenapa tetapi bahuku terasa berat. Dan saat kubuka mataku, kulihat Qi sedang tidur disebelahku dan bahuku sebagai sandarannya. Ia memindahkan koper yang ada disampingku dan menukarkan tempatnya sehingga ia bisa ada  disebelahku. Saat melihatnya hatiku tak tega untuk membangunkannya, wajahnya sangat imut saat ia tidur. Kubiarkan saja begini, mungkin ini yang terbaik. Kulihat ke arah jendela, dan  pemandangan masih lalu lalang di hadapanku. Bulan bersinar terang malam ini, cahaya dari lampu rumah-rumah bersinar indah menerangi malam. Dan kupikir aku akan melanjutkan tidurku.

Saat aku terbangun untuk yang kedua kalinya, matahari sudah bersinar agak tinggi menandakan hari sudah pagi. Dan kereta yang kami naiki sudah sampai di kota Candence, yang artinya tinggal sekitar 3 jam lagi kami sampai dikota Zapad. Ku lihat Qi masih teretidur pulas di sebelahku. Ku tepuk bahunya dengan perlahan untuk membangunkannya.

“ Qi, bangun. Kita sudah hampir sampai”.

Matanya mulai terbuka dengan perlahan, dan matanya yang cokelat cerah itu menampakkan dirinya. Qi termenung sebentar dan melihat sekelilingnya kemudian ia meregangkan badannya dan berkata, “ Kita sudah ada dimana Nero?”

Kujawab pertanyaan Qi sambil memberikan sebuah air mineral padanya, “Kita sedang berhenti di stasiun kota Candence. Aku akan membeli sarapan untuk kita, jadi tolong jaga barang bawaan kita ya Qi”.

Qi hanya mengangguk sambil menguap dan mengusap matanya, “Nero aku mau sarapan yang manis-manis ya” katanya dengan suara lemah.

Aku mengiyakan permintaannya dan pergi ke toko yang ada di stasiun, membeli roti lapis isi daging untuk ku dan roti dengan selai strawberi untuk Qi. Setelah membeli sarapan aku kembali kedalam kereta. Dan kini giliran Qi yang keluar untuk pergi ke kamar mandi dan aku yang menjaga barang bawaan kami. Selesai dari kamar mandi Qi masuk ke kereta dan kami menyantap sarapan pagi itu dan tak lama dari itu kereta kembali berangkat. Selama di perjalanan kami mengobrol mengenai topik liburan kami yang lalu. Kereta melaju cepat dan kami memasuki terowongan. Semuanya terlihat gelap, aku hampir tidak bisa melihat apa pun. Kereta kami sedikit terguncang karena kontur tanah yang tidak rata dan membuat HP yang ada di sebelah Qi terjatuh, aku berniat membantunya mengambilkan HP nya karena saat itu sangat minim penerangan. Gerbong yang tadinya gelap kini telah terang kembali, dan ternyata kami berusaha mengambil HP yang terjatuh sehingga tak sengaja wajah kami berdekatan di saat itu mata kami saling bertemu, wajah kami memerah karena malu dan seketika kami saling menjaga jarak.

Laju kereta perlahan melambat menandakan kami telah sampai di tempat tujuan. Pintu gerbong kereta terbuka dan semua penumpang keluar dari kereta begitu juga dengan kami. Saat kulangkahkan kaki di stasiun kota Zapad, suasana yang kurasakan terasa sangat berbeda. Hawa panasnya sangat terasa hingga baru beberapa menit saja bajuku sudah basah karena keringat. Kami duduk di bangku yang ada di stasiun dan aku mengabari pak tua itu kalau kami sudah sampai. Tak perlu menunggu lama, kepala polisi kota Zapad, pak Ade Tempes datang menjemput kami. Tubuh tegapnya sangat mudah untuk dikenali walau dari keramaian. Ia menghampiri kami dengan parasnya yang kuat, kumis lebat yang sedikit sudah mulai memutih dan dengan rambut yang juga hampir memutih seutuhnya.

“Lama tak jumpa Pak tua Tempes” kata ku menyapanya.

Pak tua itu sedikikt tertawa melihat tingkah kurang ajarku yang tidak hilang dari dulu, “ Kau masih saja tidak berubah ya Nero. Masih menjadi anak kurang ajar ya hahaha”.

Ketawa keras dari pak tua itu membuat orang-orang di sekliling kami terkejut. Selesai ia tertawa, dilihatnya perempuan di sebelahku dengan tatapan bingung. Qi yang sadar akan pandangan bingung itu segera memperkenalkan dirinya, “Izinkan saya memperkenalkan diri pak, saya Queen Rosa, putri kedua dari keluarga Queen. Senang bertemu dengan mu pak Tempes”.

“I..ini beneran putri dari keluarga Queen? Suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda nona” kata pak tua itu dengan gugup.

“S..saya juga merasa terhormat bisa bertemu dengan bapak selaku kepala polisi kota ini yang mempunyai segudang prestasi”.

Wajah Qi sedikit memerah karena gugup dan aku tidak paham apa yang membuat ia menjadi segugup itu. Tak lama kemudian suasana yang canggung tadi bisa teratasi karena pak Tempes dan Qi bisa menemukan topik pembicaraan yang sama. Kami berjalan ke parkiran dan naik mobil pak Tempes. Selama di perjalanan Pak tua Tempes menceritakan cerita masa lalunya, mulai dari ia masuk kepolisian di waktu muda, lalu kejadian apa saja yang sudah ia lalui dalam menjalankan tugasnya sebagai polisi, dan menceritakan hubungannya dengan ku. Qi yang sedari tadi mendengarkan semua cerita dari pak Tempes sedikit kaget saat mengetahui aku dan pak tempes sebenarnya mempunyai hubungan keluarga. Aku di adopsi oleh pak tempes saat berusia 10 tahun, karena pada saat itu terjadi insiden kebakaran yang menghanguskan rumah dan menewaskan ibu dan ayahku. Yah, itu semua adalah kisah lama. Tak perlu waktu yang lama, kami sampai di kediaman keluarga Tempes.  

Kediaman bergaya mideaval ditambah sentuhan abad pertengahan ini tampak megah dengan halamannya yang luas. Pintu depan terbuka seolah-olah sudah tau kedatangan kami. Seorang gadis berambut hitam keluar dengan memakai seragam sekolah, ia nampak sedikit terkejut dengan kedatangan kami. Mata ku memandangi wajahnya yang mengingatkan ku pada seseorang. Pak Tempes menghampiri gadis itu sambil mengatakan “ Apakah kau masih ingat putri kecil ku Nero? anak yang dulu selalu kusuruh untuk kau jaga”.

Seketika bayangan kabur itu tercerahkan, “ ini Tifah? Tifah yang itu? Aku tidak menyangka kalau ia akan tumbuh menjadi gadis yang anggun”.  Mendengar perkataan ku, pak tua Tempes itu kebali tertawa.

Ia mengantarkan kami masuk kedalam rumah dan aku kembali bertemu dengan istrinya pak Tempes, buk Asri. Ia merasa senang aku kembali ke sini. Kami duduk di ruang tamu, bercerita melepas rindu dan pak Tempes pergi mengantarkan putrinya, Tifah ke sekolah. Satu hal yang aku sadari saat bertemu dengan gadis itu, aku mengenali tatapan yang ia tunjukkan kepadaku. Sekitar 30 menit kami bercerita di ruang tamu, pak Tempes kembali tiba setelah dari mengantarkan Tifah. Dan seketika pak Tempes mengajak ku ke ruang kerjanya untuk membahas perihal permintaan yang ia sampaikan di surat itu. Sedangkan Qi ikut bu Asri ke dapur.   

Di dalam ruang kerja pak tua itu terdapat rak buku yang sangat besar. Rak itu berisikan buku-buku filsafat, psikologi, kriminologi, dan beberapa buku satra terkenal. Aku duduk di sofa dan pak tua itu duduk di hadapanku. Di atas meja kaca yang ada di depanku terdapat sebuah berkas mengenai kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru ini. Menurut deduksinya pelaku dari kasus pembunuhan anak SMA di peron stasiun cabang kota Zapad, pembunuhan guru SMA di gedung parkir dan pembantaian satu keluarga di dalangi oleh orang yang sama. Ia menjelaskan pendapatnya pada ku dengan rinci. Namun setelah selesai memaparkan pendapatnya aku menyanggah buah pikir pak Tempes karena adanya kontradiksi dari pendapatnya dengan fakta yang ada di lapangan. Pak tua itu belum mengerti dengan apa yang ku maksud, dan ia sebenarnya sudah menebak siapa pelakunya berdasarkan analisisnya. Aku tidak mendengarkan pelaku yang ditebak oleh pak tua itu. Aku meminta kepadanya agar bisa melihat ke TKP , agar aku bisa menjelaskan apa yang aku pikirkan. 

Pak tua itu menyandarkan tubuhnya dan berkata “Seperti yang sudah ku katakan pada mu Nero, aku sudah melemparkan kartu mengenai siapa pelaku dari kasus ini, dan untuk pertama kalinya aku berharap kartu yang kulempar salah”. Wajah pak tua itu terlihat muram.

“Tenanglah pak tua, untuk itulah aku ada disini”.

 Setelah kurang lebih 15 menit,  aku keluar dari ruang kerja itu. Samar-samar terdengar suara tawa dari ruang dapur, ku coba menghampiri sumber suara itu namun aku di sambut oleh bau yang sangat enak. Aroma ini hampir membuat liur semua orang yang menciumnya keluar. Saat ku intip, kulihat Qi sedang asyik membantu buk Asri  memasak, dan yang di masak itu adalah Pie. Pie itu nampak lezat sekali aku ingin mencoba mencicipinya. Aku berbalik dan pergi meninggalkan ruangan dapur dengan perlahan karena tidak ingin mengganggu mereka. Namun dengan cepat langkah kaki terdengar di belakang ku.

“Nero kau mau kemana? Kau tidak ingin mencicipi kue pie ini? Padahal bu Asri sudah susah payah membuatnya” kata Qi sambil meraih tangan ku dan menariknya ke meja makan.

Bu Asri meletakkan pie yang baru jadi itu ke atas meja dan berkata, “Ya nona Queen benar, anak bandal. Kau tidak ingin mencicipi pie spesial buatan ibu? Aku tau kau sangat menginginkannya” katanya sambil tersenyum.

Aku ingin sekali menyangkal hal itu namun, ia benar. Aku ingin sekali mencicipi pie itu, tetapi ada hal penting yang harus ku lakukan. Setelah itu pak tua Tempes juga datang ke dapur, dan kami semua duduk di meja makan yang terbuat dari pohon jati ini. Piring di bagikan dan keu pie strawberi berlapis krim coklat ada di hadapan kami. Bu Asri memotong dan membagikannya pada kami dengan rata, tak lupa pula ia menyisihkan satu potong untuk Tifah. Kami menyantap pie ini bersama-sama. Rasa manis dari coklat dan rasa segarnya buah strawberi menyempurnakan hidangan ini. Tanpa terduga semua mata tertuju padaku, seolah-olah sedang melihat sesuatu yang mustahil.

“Wah aku tidak pernah melihat Nero tersenyum seperti itu, manis sekali”. Kata Qi dengan mata yang bersinar-sinar.

“Ternyata anak bandal ini bisa tersenyum juga ya, ku pikir kau hanya bisa menampilkan wajah surammu itu” ejek pak Tempes pada ku.

Aku berusaha untuk tidak menghiraukan ejekan dari pak tua itu, namun ia terus mengejekku. Begitu selesai makan, aku dan pak Tempes pergi ke TKP yang pertama. Sedangkan Qi memilih untuk tinggal di rumah saja karena ia ingin beristirahat dan kami berangkat ke tempat tujuan. Di dalam perjalanan kami kembali membahas beberapa topik mengenai kasus yang sedang kami hadapi ini. Terkait adanya faktor-faktor lain yang kemungkinan bisa mempengaruhi kasus ini. Walau itu hanyalah spekulasi kami, tapi aku pribadi tidak menginginkan hal itu terjadi.

Disaat mobil berhenti karena lampu merah, pak Tempes merubah topik pembicaraan, “Kau cukup dekat dengan nona muda Queen itu ya, Nero?”

Aku menoleh ke arah pak tua itu dan menjawab pertanyaannya, “Ya. Kami cukup dekat sejak insiden perampokan permata itu”.

“Ooo, aku ingat kejadian itu. Kalau tidak salah saat itu kau menyelamatkannya dari peluru nyasar. Yah, sampai sekarang aku merasa beruntung karena membawa mu kesana. Andai kata kau tidak ada disana, bisa saja permata keluarga King itu sudah berakhir entah dimana”. Jawab pak tua Tempes itu sambil memasukkan persneiling mobilnya.

“Ya, terima kasih karena sudah mengajakku saat itu pak tua”.

Mobil melaju ke tempat yang kami tuju dan tak berselang lama kami sampai di sebuah stasiun kecil di dekat sebuah perumahan. Stasiun ini adalah stasiun cabang kota Zapad yang paling dekat dengan kota Est. Di stasiun itu terdapat kumpulan bunga yang ditujukan untuk si korban. Masih terdapat garis polisi yang menandakan lokasi pembunuhan. Tempatnya tepat berada di titik buta kamera cctv, jadi percuma untuk melihat rekaman cctv.

“apakah ada saksi dalam kasus satu ini?” tanya ku kepada pak Tempes.

“Hanya satu” kata pak tua itu. Di hidupkannya sebatang rokok dan dilanjutkannya perkataannya, “saksi untuk kasus ini adalah sepupu si korban. Ia sedang berangkat ke rumah si korban untuk menginap malam itu dan ia meminta sepepunya untuk menjemputnya disini. Namun setelah ia sampai, ia tidak menemukan korban. Lalu ia mencoba untuk menelpon si korban dan ia mendengarkan dering bunyi HP nya dan disaat itu korban sudah ditemukan tak bernyawa. Terakhir yang aku dengar, ia menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini. Sungguh gadis yang malang”.

“Tidak ada yang bisa di ketahui selain waktu tewasnya korban. Dimana rumah Sepupu si korban ini?”

“Saksi kita tinggal di kota Central, distrik 5”.

Aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan mencari apa motif dari si pelaku, namun semuanya masih abu-abu seperti ada data yang hilang. “ Kita masih belum mengetahui motif dari si pelaku, dan kenapa ia membunuh anak SMA yang tidak bersalah. Andai saja, si korban pernah melakukan kesalahan, misalnya seperti mempunyai hutang kepada si pelaku, maka ia hanya perlu menghabisi si korban saja dan tidak perlu membunuh korban yang lainnya. Itu tidak masuk akal”. Selesai aku menjelaskan apa yang aku pikirkan pak Tempes nampak memikirkan kembali apa yang baru saja aku katakan. “Jadi...” sambungku “ Motif si pelaku tidak ada hubungannya dengan hal-hal berharga seperti uang dan sebagainya, dan hal ini menandakan, pelakunya pasti lebih dari satu orang”.

Mendengar perkataan ku barusan, pak tua itu seakan ingin menyangkalnya namun dengan cepat aku berkata, “ aku tau apa kau pikirkan pak tua, aku tau kau tidak setuju dengan pendapat ku ini, namun aku akan menjelaskannya jika kita sudah sampai di tempat yang ke dua”.

Pak tua itu nampak masih tidak percaya dengan ku, tapi ia hanya bisa menganggukkan kepalanya dan kami berjalan ke mobil. Sudah tidak ada yang bisa kami cari dari tempat ini. Mobil kami berangkat ke tempat berikutnya, sebuah gedung parkir yang tak jauh dari rumah korban ke dua. Korban kali ini adalah seorang guru kimia yang mengajar di SMA 1 kota Zapad. Menurut berkas yang aku baca, beliau dulunya adalah seorang dosen di perguruan tinggi ternama, namun karena mendekati masa pensiunnya ia akhirnya beralih menjadi seorang guru yang mengajar di SMA.

Setelah sampai di lokasi, kami berhenti di lantai 3 gedung parkiran ini, pak Tempes membawa ku ke sudut gedung yang bergaris polisi. Dan setelah itu ia menjelaskan kronologis kejadiannya. “Korban di temukan di sudut gedung ini, dengan ditutupi kain terpal yang terdapat di sekitar sini. Kebetulan gedung ini sedang direnovasi dan kebetulan sekali hari itu para pekerja sedang tidak melakukan pekerjaan. Dan jika kau lihat masih terdapat bekas jejak darah ke arah mobil korban...”

Aku memotong perkataan pak tempes dengan cepat, “ Jadi korban di bunuh di dekat mobilnya, begitu ?”

“Iya begitu menurut kami” kata pak Tempes.

Aku berpikir sejenak, dan sesasat kemudian aku mengutartakan pemikiranku, “Seperti yang aku katakan tadi, kalau pelaku dari semua ini lebih dari satu orang. Hal ini terbukti dari kasus ini. Korban di bunuh di dekat mobilnya, kemudian di seret dan di sembunyikan di sudut gedung itu. Dan kalau pelaku adalah orang yang kau tebak, maka hal itu tidaklah mungkin. Karena ia tidak akan bisa mengangkat tubuh seorang dewasa yang dua kali dari ukuran tubuhnya”.   

“Kalau begitu...” kata pak tua itu dengan raut wajah sedikit putus asa. Lalu dilanjutkannya perkataannya, “kalau begitu, siapa pelaku dari kasus ini?”

Aku diam sejenak. Untuk menjawab pertanyaan dari pak tua itu, aku juga masih belum bisa menjawabnya karena aku masih belum mendapatkan alasan si pelaku membunuh korbannya. “Kupikir semua akan jelas ketika kita sampai di lokasi ketiga” kata ku.

“Kau benar Nero, mari kita ke tempat berikutnya” wajah pak Tempes sudah kembali seperti biasa.

Kami segera berangkat ke TKP yang ketiga. Lokasi terakhir yang kami datangi hari ini letaknya tidak jauh dari tempat pertama yang kami datangi. Lokasinya berada di daerah perumahan. Saat hendak sampai di lokasi, aku melihat orang memperbaiki tiang listrik yang rusak. Dan tak jauh dari itu kami sampai ke lokasi berikutnya. Sebuah rumah dengan gaya minimalis modern, rumah yang sangat cantik jika dilihat dari depan. Di depan pintu terdapat garis polisi dan beberapa polisi yang menjaga TKP. Aku dan pak Tempes menghampiri polisi yang berjaga dan menjelaskan situasinya. Setelah itu aku dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Dan jika ku ilustrasikan rumah ini, maka akan tampak seperti ini. 

 

Ketika masuk ke dalam rumah, di dekat pintu masuk tergambar skestsa korban yang merupakan putri keluarga ini. Ia meninggal disini seakan sedang meminta bantuan. Aku mengikuti jejak darah yang ada disekitar sketsa tadi dan menemukan bekas darah yang sudah mengering di depan ruang dapur. Aku masuk ke ruang dapur, dan melihat sketsa orang tua korban di meja makan. Di atas meja terdapat 3 gelas minuman dan di kolong meja makan terdapat bekas darah yang sudah mengering. Dari ruang darpur aku melanjutkan investigasi ke lantai 2 dengan menaiki tangga yang ada di dekat ruangan dapur.

Di lantai 2 hanya terdapat kamar si ayah dan ibu, lalu kamar putri mereka, dan sebuah kamar kosong yang mungkin digunakan sebagai kamar tamu. Aku sudah mengetahui latar belakang dari keluarga ini dari berkas milik pak Tempes. Si Ayah, Khalita Rahma bekerja sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit di kota Zapad. Dilihat dari beberapa orang yang dekat dengan beliau, dikatakan ia adalah orang yang baik, bahkan  mau membantu pasien yang mempunyai masalah finansial di rumah sakit itu. Jadi kurang masuk akal saja akan ada orang yang ingin membunuhnya bahkan seluruh keluarganya. Sedangkan sang ibu, Dhea Putri hanyalah seorang ibu rumah tangga. Menurut para tetangga, ia juga orang yang baik dan sangat bertanggung jawab. Lalu putri mereka, Khalita Ansa adalah seorang siswi di SMA 1 Zapad. Sekolah yang sama dengan kedua korban sebelumnya.

Aku masuk kedalam kamar sang anak, sekilas tidak ada yang aneh. Tipikal kamar perempuan pada umunya, itu yang sesaat ku pikir. Namun kulihat beberapa tetes darah di dalam kamar dan sebuah tisu dengan bekas darah di tong sampah di dalam kamar. Di atas meja belajarnya terdapat sebuah buku harian. Kubuka buku itu dan sesaat aku merasa bersalah karena telah membaca rahasia seorang gadis, tapi ku coba untuk menjauhkan pikiran itu terlebih dahulu. Ku baca buku itu dengan seksama dan pada halaman pertama dan seterusnya hanya berisikan keseharian nya di sekolah, saat liburan dan semua hal yang menyenangkan yang ia lakukan bersama teman-temannya.

Dari beberapa halaman yang sudah aku baca, aku mengetahui watak si korban yang periang, dan disukai oleh teman-temannya. Dan dari hal ini aku mengetahui kalau Arkam korban dari kasus pertama berteman baik dengan ‘Ansa’ si korban dan juga Tifah. Kulembar terus buku harian itu hingga aku sampai pada halaman dimana ia menuliskan kalau disaat pulang sekolah teman baiknya Arkam megajaknya untuk pergi jalan, dan ia mengetahui kalau temannya itu menyukai dirinya dan sepertinya ia juga menyukai nak Arkam ini. Lalu pada halaman berikutnya korban menuliskan betapa hancurnya ia saat mengetahui, teman baiknya sekaligus orang yang ia sukai telah pergi. Dan di akhir kalimatnya ia nampak menginginkan pembalasan. Ku lembar buku harian ini ke halaman berikutnya dan buku harian ini berubah menjadi buku yang memetakan isi pikirannya akan siapa dalang pembunuhan temannya itu. Kupahami isi buku itu dan aku dapat menarik kesimpulan kalau si korban berpendapat kalau pembunuhan temannya ada sangkut pautnya dengan kasus yang terjadi di kota Est. Sungguh konyol sekali, aku tidak tahu darimana pemikiran itu datang. Dan sepertinya si korban berencana pergi ke kota Est untuk mencari tahu hal itu. Dan saat kulembar buku harian itu, buku itu sudah kosong yang artinya buku itu berakhir sampai situ. Aku jadi penasaran apakah ia berhasil menemukan sesuatu dari sana.

Aku keluar dari rumah itu dan menemui pak Tempes yang sedang berbicara dengan tetangga yang ada di sebelah rumah ini. Pak Tempes yang tadinya sedang berbicara membalikkan badan dan kemudian memanggilku. Begitu aku sampai disana aku diperkenalkan dengan orang yang pak Tempes ajak berbicara.

“Nero perkenalkan ini adalah pak Hasri. Beliau ini adalah ayah dari nak Arkam”.

Pak Hasri menjulurkan tangannya begitu pula aku sambil memperkenalkan diri, “Perkenalkan saya Albanero,  detektif yang diminta pak Tempes untuk membantu kasus ini. Dan saya berbelasungkawa atas apa yang menimpa keluarga bapak”.

“Terima kasih nak Nero, kami juga cukup terguncang atas kasus ini” kata pak Hasri dengan nada suara yang cukup berat. Pak asri diam sejenak lalu ia berkata, “Aku juga tak menyangka keluarga pak Rahma akan pergi secepat ini, padahal baru bulan kemarin kami mengadakan piknik bersama”.            

“Kita ini hanyalah manusia pak Hasri” sambung pak Tempes, “Jadi kita tidak mengetahui kapan kita meninggal”.

“Ya kau benar pak Tempes. Sekarang aku hanya bisa berdoa dan mengandalkan nak Nero untuk mengungkap kasus ini” kata pak Hasri sambil memandang ke arah ku.

Tak lama setelah mengobrol bersama pak Hasri, ia pamit karena harus ada yang ia kerjakan. Aku dan pak Tempes berjalan ke arah mobil dan menyudahi kegiatan hari ini. Tubuhku juga terasa lemas dan pegal. Ketika sudah duduk di dalam mobil aku menanyakan apakah hasil otopsi dari korban telah keluar, dan pak Tempes mengatakan kemungkinan hasil otopsi akan keluar besok. Lalu aku bertanya lagi pada pak Tempes.

“Hei pak tua, apakah kau tau narkotika jenis baru yang belakangan ini sedang marak diperbincangkan?”

Mobil mulai berjalan dan pak tua itu belum juga menjawab pertanyaanku, kupikir ia tidak mendengarkan ku jadi aku ingin bertanya padanya sekali lagi, namun sebelum aku mulai berbicara pak Tempes berkata, “Ya aku tau. Narkotika ini berjenis obat-obatan dengan nama ‘Angel’, beberapa hari belakangan ini kami banyak menangkap anak-anak muda yang memakai benda itu. Efek dari obat-obatan itu mulai dari kehilangan identitas diri, dan berhalusinasi hebat. Dan si pemakai selalu mengoceh kalau ia sedang melihat malaikat, ia adalah yang terpilih dan sebagainya. Sungguh berbahaya sekali. Dan mau sekeras apa pun kami melacak jalur perdagangan narkotika ini, kami selalu saja berakhir dengan kegagalan”. Setelah menjawab pertanyaan ku, keadaan mulai terasa hening. Pak tua itu melirik ke arah ku dan bertanya, “Memangnya kenapa Nero? Apakah kasus ini ada berkaitan dengan narkotika itu?” 

“Aku tidak tau. Tapi kuharap hal itu tidak memiliki hubungan dengan kasus ini”. Aku terdiam sejenak dan karena ada hal yang menarik perhatian ku aku kembali bertanya pada pak Tempes, “pak tua, apa kau tau dimana barang-barang yang dibawa Khalita Ansa”.

Pak tua itu terlihat kaget mendengar pertanyaan ku dan ia menjawab pertanyaan ku dengan ragu-ragu, “ Kurasa ada di ruang penyimpanan  di kantor. Memangnya ingin kau apakan dengan barang-barang gadis itu? Jika kau menjualnya maka kau akan terkena masalah dengan hukum”.

Mendengar jawaban dari pak tua itu sedikit menggilitik diriku, “Mana mungkin aku melakukan hal itu. Hanya saja ada hal yang membuatku penasaran”.

“Penasaran?” tanya pak Tempes pada ku.

“Iya, sepertinya gadis itu berkesimpulan kalau pelaku dari kasus ini ada sangkut pautnya dengan kasus yang terjadi di kota Est. Jadi ia pergi ke sana untuk melakukan penyelidikan, dan aku penasaran apa yang telah ia temukan disana”.

“Hanya itu?” kata pak Tempes yang kelihatan masih bingung.

Lalu aku menjawab pertanyaannya itu dengan santai, “Iya hanya itu”.

Setelah mendengar jawaban ku pak tua itu hanya bisa tertawa dengan sikapku yang selalu mudah penasaran, hal itu mengingatkan nya pada masa lalu. Dan setelah itu pak Tempes memberitahuku untuk pergi ke SMA 1 Zapad untuk melakukan investigasi. Walau sebenarnya hal itu tidak perlu menurutku, tapi pak tua itu bersikeras. Dan ia menyuruhku untuk membawa Qi kesana besok. Karena tidak bisa membantah aku hanya bisa mengikuti pak tua ini.

Sesampainya di kediaman pak Tempes, hari sudah sore dan langit sudah berwarna jingga. Burung-burung terbang pulang ke sarang mereka dan rumah-rumah mulai menyalakan lampu mereka. Saat masuk ke dalam rumah aku melihat Qi menemani Tifah membaca buku, dan nampaknya mereka telah akrab. Kurasa itulah kelebihan Qi, ia bisa dengan mudah berbaur dengan orang baru dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Aku mengmbil handuk dari koper ku dan pergi untuk mandi. Tak perlu lama bagi ku, aku sudah selesai melakukan mandi di sore itu. Ku lihat diriku di balik cermin dan kulihat wajah ku yang nampak letih, rambut putih ku yang masih basah dan mata biru yang seakan menatap balik diri ku dari balik cermin.

Selesai dari  kamar mandi buk Asri menyuruhku untuk memanggil Qi dan Tifah di ruang baca untuk segera bergabung di meja makan. Aku melakukan hal itu dan berjalan ke ruang baca lalu kupanggil mereka.

“Qi, Tifah waktunya makan malam. Buk Asri menyuruh kita ke meja makan”.

Setelah kupanggil begitu, Tifah menurunkan buku yang ia baca dan segera ke meja makan duluan. Matanya menatap tajam melihat ku seaakan mewaspadai diriku. Sungguh aneh sekali. Karena Qi tak jua beranjak dari sofa di ruang baca, aku menghampirinya dan mengajaknya untuk segera ke meja makan. Qi nampak hanyut ke dalam buku yang ia baca sehingga butuh waktu cukup lama ia menyadari kedatanganku. Ia menutup buku yang dibacanya dan kami segera ke tempat semuanya menunggu.

Menu utama makan malam saat itu adalah ayam panggang dengan saus spesial buatan buk Asri lalu ditemani dengan sup jamur. Kami semua menikmati makanan yang sangat lezat itu dengan bahagia. Jarang sekali aku bisa makan malam bersama dengan keluarga pak Tempes seperti ini, nostalgia rasanya. Selesai makan, kami semua berpencar ke berbagai tempat. Buk Asri dan Qi sedang ada di dapur membereskan piring-piring setelah makan malam, padahal buk Asri meminta melakukan itu sendiri tapi Qi menolak ide itu dan membantu buk Asri. Mereka mengobrol sebentar, tapi aku tidak tau apa yang mereka obrolkan tapi setelah buk Asri mengatakan sesuatu kepada Qi, Qi nampak tersipu malu.

Sedangkan pak Tempes ada di halaman belakang sedang menghisap rokoknya. Karena ia satu-satunya orang yang merokok, ia selalu merokok di luar rumah. Dan Tifah ada di dalam kamarnya. Dari apa yang pak Tempes ceritakan, setelah kematian dua teman dekatnya Tifah selalu nampak murung dan ketika di rumah ia menghabiskan waktu di dalam kamar. Karena tidak ada hal yang aku kerjakan, aku duduk santai di sebuah sofa yang ada di ruang keluarga sambil berselancar di internet. Tidak ada hal yang menarik perhatian ku saat itu, berita di internet kebanyakan mengabarkan tentang ‘Angel’ yang semakin marak beredar. Ada artikel yang membahas respon pemerintah untuk memberantas pengedaran obat terlarang ini.  Apapun respon yang diambil pemerintah, aku hanya bisa berharap yang terbaik.

Malam semakin larut dan mata ku mulai terasa berat dan aku hampir saja ketiduran di sofa ini. Melihat hal itu, buk Asri menghampiriku dan meminta ku untuk segera beristirahat. “Nak Nero, pergilah istirahat. Perjalanan dari kota Austral ke kota Zapad memang melelahkan, jadi pergilah tidur di kamar”. Aku menerima usul itu dan segera berdiri. Namun saat hendak meninggalkan ruangan buk Asri kembali memanggilku.

“Nak Nero” buk Asri diam sejenak dan ketika ia nampak telah memilih kata yang ingin di ucapkannya buk Asri melanjutkan, “Berhubung tidak ada kamar lain lagi, jadi ibu minta nak Nero untuk satu kamar dengan nak Rosa. Tidak apa-apa ya?”

Aku sempat bingung untuk sesaat jadi kujawab saja, “Mmm aku tidak keberatan dengan hal itu bu, tapi apakah Qi setuju dengan hal ini?”

“Nak Rosa tidak masalah dengan hal ini nak Nero” kata buk Asri dengan tersenyum dan aku merasakan adanya rasa senang dari buk Asri ketika mengatakan hal itu.

Aku berjalan menuju lantai 2 karena mata ku sudah tak tahan lagi. Sesampainya di depan kamar yang dimaksud aku mengetuk pintu kamar itu. Terdengar suara langkah kaki dari balik pintu mendekat. Saat pintu terbuka ku lihat Qi sudah mengenakan piyama miliknya. Dan saat kulangkahkan kaki ke dalam kamar, entah kenapa aku malah merasa gugup. Tapi karena aku sudah sangat mengantuk aku menjelaskan situasinya pada Qi.

“Baiklah Qi aku akan tidur dibawah dan kau akan tidur di atas kasur”.

Mendengar perkataan ku barusan Qi nampak bingung dan ia kembali bertanya, “Maksudnya kau akan tidur dilantai, Nero?”

“Iya” kata ku.

“Itu tidak boleh. Tubuhmu akan terasa pegal semua jika kau tidur dilantai”.

“Tapi Qi, kamar ini hanya mempunyai satu buah kasur...”

“Jadi?” sambung Qi dengan cepat. “Lagian..” tambahnya “kasur ini bisa untuk kita berdua” kata Qi dengan suara yang pelan.

Walaupun ia mengatakan hal itu dengan suara yang pelan namun aku masih bisa mendengarnya. Aku bingung harus memberikan respon bagaimana. Dan saat kulihat Qi, pipinya nampak merah karena mengatakan hal barusan. Jadi aku mengalah dan menuruti kemauan Qi. Setelah mendengar keputusan ku itu, pipi Qi nampak lebih merah dari sebelumnya.

Lampu kamar sudah mati, dan kami berada di satu tempat tidur yang sama. Bukannya bisa tidur dengan nyenyak malahan mata ku tidak bisa terpejam sama sekali. Karena hal itu aku mencoba mengajak Qi untuk mengobrol, sesaat kupikir ia telah tidur namun ia juga sama dengan ku.

“O ya Qi. Bolehkah aku tau alasan mu untuk ikut dengan ku?”

Aku memandang langit-langit kamar dan menunggu jawaban dari Qi. Kudengar suara dari Qi jadi ku balikkan badan ke arah Qi. Ia juga menghadap ke arah ku, Qi menutupi sedikit wajahnya dengan selimut dan berkata, “Alasanku ikut? Kurasa aku tidak tahu, tetapi saat di rumah aku merasa kesepian. Itu karena semua orang disana mempunyai sesuatu yang mereka kerjakan, misalnya kak Aster sekarang ia sedang sibuk menulis sebuah lagu, dan Jasmine selalu saja sibuk. Jadi kupikir, kalau aku ikut dengan mu aku tidak akan merasa kesepian. Lagipula entah kenapa saat berdua dengan mu seperti ini, aku merasa sangat nyaman”.

Setelah mengatakan hal itu, Qi sepenuhnya menutupi wajahnya dari ku. Dan di dalam hati aku merasa aku harus mengatakan sesuatu di situasi seperni ini. Qi mulai mengintip dari balik selimut dan dengan segera aku mengelus kepalanya dan berkata, “A..aku juga merasakan hal yang sama Qi. Aku merasa senang dan nyaman di saat kau ada di dekatku, bersama mu”.

 Qi tersenyum manis mendengar perkataan ku dan ia mulai menutup matanya. Begitu juga aku, mataku mulai terasa berat karena rasa kantuk dan letih ini. Dan akhirnya kami tertidur. Namun malam itu, mimpi buruk datang menghampiriku. Aku diperlihatkan kembali malam itu, api dimana-mana, ayah ditusuk dan dibakar oleh orang-orang asing. Mereka meneriaki ‘penyihir putih’ dan aku di sembunyikan di  dalam lemari. Aku tak bisa meminta tolong, suaraku hilang entah kemana. Aku merasa ketakutan dan seketika semua itu hilang dan yang kurasakan hanyalah belaian yang sangat lembut. Aku mengingat kelembutan ini, ini adalah disaat ibu mengelus kepala ku disaat aku kecil. Betapa rindunya aku dengan ini.

Cahaya mentari memasuki kamar dan menyapa ku dengan kehangatanya. Aku terbangun dari tidurku dan aku mendapati Qi memegang erat tangan ku. Dan aku teringat dengan apa yang kurasakan di dalam mimpi dan aku menyadari itu karena Qi yang nampaknya menenangkan diriku. Tak lama kemudian Qi bangun dari tidurnya dan aku menyapanya. Nampaknya kami berdua tidur dengan nyenyak. Aku mengingatkan kembali Qi untuk segera bersiap-siap karena hari ini kami harus pergi ke SMA 1 Zapad.

Tak butuh waktu lama bagi kami untuk bersiap, kami berdua turun dari lantai dua menuju ruang dapur karena buk Asri sudah menyiapkan sarapan. Ketika melihat kami berdua pak tua itu mengejek ku dan buk Asri juga ikut melakukan hal itu. Mereka berdua benar-benar puas mempermalukan aku pagi itu. Selesai sarapan, pak Tempes mengajak kami untuk berangkat, namun aku teringat dengan Tifah apakah ia tidak sekolah hari ini. Kutanyakan hal itu kepada pak Tempes dan ia mengatakan kalau putrinya itu hari ini tidak ingin masuk ke sekolah. Pak Tempes tidak bisa melakukan apa-apa akan hal itu dan membiarkan putrinya sembuh dari rasa sedihnya.

Butuh waktu sekitar 15 menit dari kediaman pak Tempes dan kami sampai di SMA 1 Zapad. Karena pak Tempes sudah membuat janji dengan kepala sekolah kami langsung di antar keruangan beliau.  Disana kami bertemu dengan pak Gunawan, kepala sekolah SMA ini. Kami di persilahkan duduk dan seorang petugas datang ke ruangan kepala sekolah dan meletakkan empat cangkir teh.

“Seperti yang saya jelaskan di dalam surat..” kata pak Tempes membuka pembicaraan. “Kami ingin melakukan sedikit investigasi di sekolah bapak. Hal ini di karenakan adanya korban yang berasal dari sekolah  ini, jadi kami ingin mengusut akar masalahnya”.

“Baiklah saya mengerti pak Tempes, saya juga ingin masalah ini segera berakhir”.

“Terima kasih atas kerja samanya pak Gunawan”.

Setelah itu kami membagi investigasi ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama beranggotakan Qi dan pak Tempes akan menginvestigasi murid-murid terutama teman sekelas dengan korban. Sedangkan aku akan mencoba menginvestigasi para guru dan staf sekolah tentang pak Akil, korban yang dibunuh di gedung parkiran. Aku memberi instruksi pada Qi untuk bersikap ramah pada murid-murid tanpa menunjukkan adanya tanda introgasi pada mereka. Jadi aku mengusulkan Qi untuk mengajak mereka berbicara santai, dengan begitu sedikit hal bisa mereka sembunyikan.

Aku memulai introgasiku pada pihak pimpinan sekolah seperti kepala sekolah, dan para wakil-wakil mereka. Hasilnya tidak ada yang berkaitan dengan alasan kenapa guru kimia itu dibunuh. Setelah mengintrogasi pimpinan sekolah, aku mulai mengintrogasi guru-guru yang mengenal pak Akil. Dan hasilnya ada satu yang menarik.

“Jadi.. pak Tommy dari apa yang saya dengar dari guru-guru yang lain, bapak adalah teman baiknya pak Akil, apakah benar?” ku perhatikan raut wajah pak Tommy terlihat sedikit ada keraguan darinya. Sepertinya ia masih gelisah apakah ia harus mengatakan hal yang ingin dia katakan atau tidak. Dan hal yang harus kulakukan adalah sedikit mendorongnya menceritakan hal apa pun yang ia sembunyikan. “Ini semua demi kebaikan pak Akil, pak Tommy. Mungkin beliau tidak akan bisa tenang kalau terus-terusan seperti ini”.

“Be... benar”. Wajahnya yang ragu itu sedikit hilang, “ saya berteman dengan beliau sejak kuliah. Walau beda jurusan, kami selalu nongkrong bersama. Ia adalah sosok yang berkemauan keras dan mempunyai mimpi dan tekad yang kuat. Saya sangat mengagumi sifatnya itu”. Pak Tommy mengambil nafas yang dalam kemudian melanjutkan ceritanya, “setelah lulus dari kuliah kami mendaftar kerja di universitas yang sama, dan bekerja sebagai dosen disana sampai kami berdua mempunyai keluarga masing-masing. Istrinya adalah kenalan dari istri ku, jadi kami sekeluarga sering melakukan merayakan acara bersama. Dan saat itu ia masih menjadi Akil yang aku kenal saat kuliah. Namun saat istrinya jatuh sakit beberapa bulan lalu, kurang lebih lima bulan yang lalu... atau enam bulan ya? Aku kurang ingat dengan waktu pastinya. Dan sejak saat itu sifatnya agak berubah. Ia membutuhkan uang untuk biaya perobatan istrinya. Tapi ia  malah berhenti menjadi dosen di universitas itu dan berkata ingin beralih profesi menjadi guru biasa saja. Sungguh tindakan yang aneh jika dilhat dari segi mana pun. Istrinya meminta ku untuk membantu dan mengawasi suaminya, karena ia merasa kalau suaminya telah terlibat dengan sesuatu. Dan karena permintaan istrinya aku juga ikut mengajar di sekolah ini. Namun tak berselang lama setelah itu, istrinya wafat”.

Pak Tommy mengambil air mineral yang telah disediakan di atas meja dan meminumnya hingga setengah. Kemudian dilanjutkannya ceritanya, “Sejak hari itu, temanku itu menyibukkan diri dengan sebuah penelitian. Aku tidak mengetahui apa-apa tentang penelitiannya itu. Mungkin ia hanya ingin meluapkan kesedihannya dengan cara seperti itu. Dan jika ku ingat-ingat ia tidak lagi melakukan penelitiannya dalam 2 bulan ini”.

Aku mencoba menggali lebih dalam tentang penelitian yang dilakukan korban, namun sepertinya pak Tommy memang tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Setelah selesai mengintrogasi pak Tommy aku melanjutkan introgasi pada guru-guru dan staf yang lainnya. Seperti yang kuduga aku tak lagi menemukan informasi berguna seperti informasi pak Tommy tadi. Hal ini menandakan betapa tertutupnya pak Akil ini mengenai urusan, kehidupan, dan masa lalunya.

Bel berbunyi panjang menandakan waktu istirahat bagi para siswa. Aku keluar dari ruangan introgasi yang telah disediakan dan pergi menemui Qi. Kami berpapasan di lorong dan memutuskan untuk pergi ke kantin. Berada di sekolah seperti ini mengingatkan ku dengan masa-masa sekolah yang aku jalani. Setibanya di kantin aku hanya membeli minuman kopi dari mesin minuman, dan Qi juga membeli minuman yang sama.

“Jadi bagaimana introgasi mu Qi? Apakah berjalan dengan lancar?” tanya ku pada Qi saat berjalan menuju ruang introgasi yang kugunakan.

“Semua berjalan lancar Nero. Seperti yang kau katakan, aku hanya mengajak mereka berbicara seperti biasa”.

“Lalu bagaimana hasilnya?”

“Aku mendapatkan beberapa informasi. Seperti, ada salah satu teman nak Ansa ini yang mengatakan kalau nak Ansa dan nak Arkam ini sebenarnya saling suka. Mereka hampir sering menunjukkan keakraban yang mungkin melebihi teman biasa, dan bisa di bilang keakraban di tingkat pasangan”. Pipinya Qi sedikit memerah karena mengimajinsaikan hal tersebut. “ Lalu ada juga yang bilang kalau sebenarnya Tifah juga suka dengan nak Arkam. Jadi seperti cinta segitiga. Dan ada rumor yang beredar kalau Tifah sudah di tolak oleh Arkam”.

“Aku nampaknya meremehkan kekuatan cinta di masa remaja ini”.

“Iya kau benar Nero. Cinta adalah sebuah ikatan emosi antara seseorang yang kau sayang dan dirimu yang lebih kuat dari ikatan pertemanan”.

Aku memandang ke arah Qi dengan wajah tak percaya dan berkata, “Apa kau serius mengatakan itu Qi?”

“Itu yang aku baca kemarin”. Katanya dengan santai sambil mempercepat langkahnya.    

  “Sebenarnya buku apa yang kau baca kemarin?” tanya ku pada Qi. Ia berbalik ke arahku sambil tersenyum manis dan berkata.

“Aku tidak akan bilang”.

Pak Tempes menghampiri kami di ruangan introgasi dengan membawa kabar kalau hasil otopsi para korban telah keluar. Jadi kami bergegas menuju ke kantor polisi. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak sekolah atas kerja samanya dalam introgasi ini. Dari SMA 1 Zapad membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke kantor polisi, tetapi karena jalanan sangat padat siang itu, kami sampai di kantor polisi dengan sedikit terlambat.

Begitu sampai disana, pak Tempes mengarahkan kami untuk menunggu di kantornya sedangkan ia pergi ke ruang otopsi dan menemui dokter Hasan, orang yang mengotopsi tubuh para korban. Tak butuh lama pak Tempes dan juga dokter Hasan masuk ke kantor pak Tempes dengan membawa berkas hasil otopsi. Beliau menjelaskan kalau kelima korban dipastikan dibunuh dengan benda tajam. Pada korban pertama, luka dapat ditemukan di perut kanan, dan di uluh hati. Hal itu menyebabkan terkoyaknya hati dan ginjal kanan si korban. Lalu pada korban kedua, luka tusukan dapat temukan di punggung sebelah kiri, luka tersebut melukai organ vital korban dan menewaskannya tak lama kemudian. Dan untuk korban di kasus ketiga, dokter Hasan memulai penjelasannya dari sang kepala keluarga. Luka tusukan yang didapat si ayah terdapat pada tengkuk leher, dan leher bagian depan bagian kerongkongan. Luka yang sama juga terdapat pada tubuh si ibu. Sedangkan untuk putri mereka, terdapat 5 tusukan pada punggung, dan 6 tusukan pada bagian perut, terdapat pula luka sayatan di wajah, kaki, dan tangan korban.

Setelah mendengar penjelasan dari dokter Hasan, aku melirik ke arah Qi, dan aku dapat melihat raut wajah Qi yang ketakutan membayangkan betapa kejamnya si pelaku melakukan hal itu pada anak berusia 16 tahun. Seakan ia mempunyai dendam kusumat pada anak bernama Ansa ini. Yah semuanya sudah jelas sekarang, aku tinggal melengkapi bagian puzle yang  hilang dan kasus ini selesai.

“Dokter Hasan...” kata ku memanggil dokter itu dan aku bertanya padanya, “Apakah ada tanda-tanda kalau korban telah diracun?”                                      

Dokter itu melirik ke arah ku dan kembali bertanya pada ku, “Darimana datang pemikiran seperti itu detektif?”

“Dari bekas luka pada korban pertama dan pada keluarga yang mejadi korban pembunuhan ini”.

“Oooh...” dokter itu diam sejenak dan melihat kembali berkas yang ada di tangannya setelah itu ia berkata lagi, “Bisakah kau menjelaskan lebih rinci tentang pemikiran itu, detektif” nada bicara sekarang berubah menjadi sedikit mengintrogasi. Dan kujelaskan semua yang ada dalam pikiran ku agar membuat dokter itu berhenti memainkan ku.

“Seperti yang aku bilang, pemikiran ini muncul karena luka yang di dapat korban sangatlah aneh”.

“Aneh?” sahut dokter itu.

“Ya aneh. Mari kita lihat pada korban yang pertama. Korban kali ini adalah seorang laki-laki berusia 16-17 tahun, dan luka tusukan terdapat pada badan bagian depan, tepatnya pada perut sebelah kanan dan di uluh hati. Dan sudah pasti luka tersebut di dapat si korban saat berhadapan dengan si pelaku. Namun jika aku jadi pelaku maka aku tidak akan melakukan serangan dari depan seperti itu karena persentase keberhasilannya yang rendah dan ada kemungkinan kalau si korban dapat menghindari serangan tersebut, dan jika hal itu terjadi maka pertarungan akan terjadi. Dan jika itu terjadi setidaknya si korban akan mendapatkan beberapa luka lain seperti luka lebam dan luka kores, mengingat si pelaku melancarkan aksinya dengan menggunakan benda tajam. Jadi hal yang paling masuk akal adalah melumpuhkan korban lalu menghabisinya”. 

“Masuk akal. Tapi bagaimana cara si pelaku melumpuhkan si korban?” tanya dokter itu kepada ku.

“Ada 3 cara yang terpikirkan oleh ku. Yaitu yang pertama dengan cara suntikan, tapi karena kita tidak menemukan adanya bekas suntikan pada korban, maka bukan dengan cara suntikan. Lalu yang kedua adalah dengan cara menyemprotkan gas beracun pada korban, namun hal ini memiliki banyak celah seperti seberapa ampuhnya racun tersebut di kondisi diluar ruangan, dan masih ada faktor yang harus diperhatikan seperti arah angin dan lain-lain. Dan cara terakhir adalah dengan memasukkan racun kedalam cairan dan memberikannya pada korban. Dan menurutku hal inilah yang paling masuk akal jika aku menjadi si pelaku”.

“Tapi itu sedikit tidak masuk akal, orang akan berpikir dua kali jika ingin meminum atau memakan pemberian oleh orang asing” bantah dokter itu.

Dengan santai aku kembali menjelaskan dan melirik ke arah pak Tempes, “Maka si pelaku harus memenuhi syarat ‘ia harus kenal dengan si korban’. Jika syarat itu sudah terpenuhi maka si pelaku bisa melancarkan aksinya”.

Keadaan ruangan hening sejenak. Cukup lama setelah itu dokter Hasan kembali bertanya padaku, “Lalu bagaimana dengan keluarga itu? Apakah menurutmu mereka juga diracun?”

“Tidak semua, hanya si ayah dan si ibu lah yang teracuni”.

“Dengan cara yang sama?” kata dokter itu.

“menurutku begitu”.

Dokter itu berdiri dan mengatakan akan kembali ke lab untuk memeriksa apakah yang aku katakan benar apa adanya. Pintu kantor itu terbuka dan si dokter pergi dari ruangan. Karena masih di kantor polisi aku kembali teringat dengan apa yang kucari kemarin, yaitu hasil penyelidikan dari Ansa. Aku kembali meminta pak Tempes untuk melihat barang bawaan yang di bawa gadis itu. Karena merasa tidak bisa meladeni rasa penasaranku yang sangat besar pak Tempes akhirnya menyuruhku untuk pergi ke ruang penyimpanan barang bukti. Dan karena penasaran juga, Qi juga ikut dengan ku.

Kami berjalan cukup jauh dari ruangan kantor pak Tempes menuju ruangan yang dimaksudnya. Dan karena kantor polisi ini juga lumayan besar, akhirnya aku memutuskan untuk meminta bantuan salah satu opsir yang kami temui saat berjalan. Setelah mengantarkan kami ke ruangan penyimpanan, aku dan Qi segera memasuki ruangan itu dan kami disambut oleh opsir polwan Rika. Aku menjelaskan semuanya dan dengan segera ia mengambilkan apa yang aku minta. Rika memberikan sebuah tas yang dimiliki korban pada saat ia ditemukan. Isi tas tersebut ada senter, buku note, pena, dan botol air. Berarti ia benar-benar pergi ke kota Est saat itu.

Karena tidak ada hal yang menarik, aku mulai membaca buku note yang ia bawa. Kurang lebih buku itu memiliki isi yang hampir sama dengan yang ada di dalam buku harian milik gadis ini. Tetapi yang berbeda adalah terdapat catatan disaat ia melakukan penyelidikan ini. Misalnya seperti :

-Berangkat pukul 8.00 dan kereta terakhir ke kota Zapad pukul 17.30.

-Akan mulai investigasi dari tempat ditemukannya mayat.

-Andre adalah orang yang mengetahui seluk beluk gorong-gorong di kota Est.

-Terdapat tulisan yang bertuliskan ‘Aku yang melakukannya’, dan ‘salah malaikat’ yang ditulis dengan darah. Lokasinya berada pada 2.521839, 100.163610.      

          Sungguh tak sia-sia aku mengikuti rasa penasaran ku ini. Aku memfoto bagian yang penting dari buku note ini dan mengembalikan buku itu. Qi sedari tadi hanya melihat ku tanpa tau apa yang sedang aku lakukan. Dan saat Qi bertanya tentang apa yang sedang aku lakukan, aku masih belum mau memberitahunya. Hal itu membuat ia sedikit marah dengan ku. Pipi Qi akan sedikit menggembung di saat ia marah dan itu sangat lucu sekali. Aku meredakan amarah Qi dengan mengelus kepalanya.

          Beberapa jam berlalu dan kami masih berada di kantor polisi menunggu hasil lab dari dokter Hasan mengenai adanya penggunaan racun dalam kasus ini seperti yang aku prediksi. Dan akhirnya dokter itu selesai menganalisis sampel darah dari para korban dan hasilnya prediksi ku tepat. Di dalam beberapa sampel darah korban ditemukannya senyawa beracun yang di dagnosis dari tanaman beracun yang tumbuh disekitar pegunungan utara, bunga Angelica Flos. Dan setelah diteliti lagi senyawa serupa juga di temukan di dalam narkotika yang viral belakangan ini, ‘Angel’.

          Lengkap sudah puzzle ini dan semua petunjuk mengarahkan kami ke kemungkinan yang  terburuk. Saat kami keluar dari kantor polisi hari sudah memasuki waktu senja, dan karena hal itu kami segera bergegas pulang. Begitu sampai di rumah saat Qi sedang membuka pintu depan dengan tiba-tiba Tifah melompat ke arah Qi yang membuat nya kaget dan hampir terjatuh ke belakang. Dan untungnya aku bisa menangkap mereka sebelum mereka berdua terjatuh. Aku terkejut dengan perubahan sifat Tifah yang mendadak ini, seperti ia sudah menjadi orang yang berbeda. Dan hal itu dibuktikan dari tidak adanya tatapan putus asa yang beberapa hari ini aku lihat dari Tifah. Pada saat pak Tempes menutup pintu rumah, aku memberikan kode padanya yang langsung dipahami oleh pak Tempes. Lalu aku menyuruh Qi untuk mandi terlebih dahulu dan ia segera bersiap untuk mandi. Sedangkan Tifah kembali berlari dengan riang ke arah dapur menemui buk Asri yang nampaknya ada di dapur. Kemudian aku dan pak Tempes masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan sesuatu.

“Sayang sekali pak tua, tetapi kartu yang kau lempar adalah benar”.

          Pak tua itu terduduk lemas setelah mendengar perkataan ku. Emosi bercampur aduk di dalam dirinya. Keputus-asaan, rasa kecewa, rasa sedih, rasa kasihan, semua itu seperti bisa terbaca dari raut wajahnya. Wibawa yang ia perlihatkan pada saat pertama kali bertemu dengan kami, hilang entah kemana. Aku tak pernah menduga kalau pak tua Tempes serapuh ini. Aku memintanya untuk menenangkan dirinya karena ia akan mengakhiri semua ini.

          Pada saat makan malam, keadaan di meja makan tidak seperti malam sebelumnya. Udara terasa menyesakkan dan sangat sulit untuk bernapas. Ruagan ini terasa hening bahkan tak ada nyamuk yang ingin melewat. Ku alihkan padangan kepada pak Tempes, memberinya kode untuk memulainya.

          Dilihatnya ke arah putrinya dan pak tua itu bertanya, “bagaimana kondisimu sekarang Tifah? Apakah sudah membaik?”

Putrinya tak menyaut dan hanya sibuk memainkan makanannya dengan sendoknya. Pak Tempes kembali bertanya pada Tifah dan lagi-lagi Tifah mengabaikan pertanyaan itu dan malah menawarkan teh kepada pak Tempes dengan senyuman yang ramah. Namun kesabaran pak Tempes sudah habis. Wajahnya yang tadinya tenang sekarang berubah menjadi menakutkan. Ia membentak anaknya tersebut sambil mendorong teh yang baru saja disajikan Tifah dengan berkata

“APA KAU KIRA AKU BODOH? HA!!!”

Mendengar suara sesuatu yang pecah membuat ku, Qi dan buk Asri reflek mundur menjauhi meja makan. Dan setelah itu amarah pak Tempes semakin terbakar.

“Apa seperti itu kau menghabisi teman-teman mu, dan keluarga itu? Dengan senyuman mu itu? Aku tak percaya selama ini aku membesarkan seorang psikopat. aku harap aku tidak memungut bayi wakt...” dengan cepat buk Asri menutup mulut suaminya itu.

Tifah hanya tertunduk di kursinya, diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun tanpa diduga Tifah berkata.     

“Aku juga berharap kau tidak memungut ku waktu itu, lebih baik kau tinggalkan bayi itu dijalanan dan membiarkannya mati. Aku tidak membutuhkan belas kasihmu. Seperti yang di katakan oleh ‘orang itu’ kau adalah pembohong”.

          Dengan cepat tamparan melayang ke pipi Tifah, tapi bukan pak Tempes yang menamparnya, dan bukan aku melainkan Qi. Qi merasa sangat kesal jika melihat ada orang yang kurang ajar dengan orang tua.

“Perkataan mu itu sudah kelewatan. Tidak pantas bagimu untuk berkata seperti itu kepada orang yang membesarkanmu walaupun ia bukanlah orang tua kandung mu. Dan ini semua hanya karena perasaan cinta monyet mu itu”.

          Tifah memegangi pipinya yang merah akibat ditampar tadi dan secara tiba-tiba ia tertawa dengan keras.

“Putri bangsawan yang hidup enak sepertimu jangan banyak bicara. Dan kau bilang ini semua karena urusan sepele seperti cinta. JANGAN BERCANDA BAJINGAN!! Kau hanya belum pernah merasakan kehilangan sesuatu yang berharga dan seakan membuatmu hampir gila. Ini semua karena gadis jalang itu yang mengambilnya dariku. Hatinya Arkam sepenuhnya telah di kuasai oleh si sialan itu. Bahkan saat ia di dalam keadan terakhirnya sekalipun ia tetap menolak ku. Itu semua karena gadis bajingan itu. Dan sekarang ia telah mati, wajah putus asanya sungguh sangat menjijikkan hahah HAHAHAHA”.

“Dan pada akhirnya tinggal hanya kau sendiri Tifah”. Tifah melirik ke arahku yang memegang HP dengan aplikasi perekam suara yang sedang terputar. “Kau ditahan atas tuduhan pembunuhan berantai, dan pembunuhan terencana”.

          Menyadari dirinya sedang di rekam, Tifah menerjang ke arahku untuk merebut HP milikku. Namun dengan mudah aku melumpuhkannya dan mengunci pergerakannya. Ia masih melakukan pemberontakan tapi itu semua sia-sia karena perbedaan kekuatan kami. Setelah semua kembali tenang, pak Tempes berniat membawa Tifah ke kantor polisi dan mengintrogasinya terkait dengan ‘orang itu’ yang di ucapkan Tifah. Aku berniat ikut mengantar Tifah tetapi aku dan Qi diminta untuk menjaga rumah sedangkan buk Asri pergi ke kantor polisi.

          Malam itu rumah ini terasa sangat sunyi. Suara jangkrik terdengar di halaman rumah menyanyikan lagu kesedihan. Aku dan Qi berada di kamar mencoba untuk beristirahat setelah kejadian itu. Qi nampak murung dan seperti memikirkan sesuatu. Karena khawatir aku bertanya mengenai keadaanya.

“Kau tidak apa-apa Qi?”. Tanya ku pada Qi yang sedang berbaring di kasur.

“Iya aku tidak apa-apa Nero”.

“Baiklah kalau begitu”.

          Sesaat keadaan terasa hening, dan kulihat Qi masih merasa gelisah akan sesuatu. Qi bangun dari ksaur dan melihat sekejap ke arah ku yang sedang duduk di sofa, lalu ia berjalan ke arah ku dan duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya di pundakku dan berkata, “Sejak kapan kau tau kalau Tifah adalah pelakunya Nero?”

“Sejak dari awal aku sudah mencurigai Tifah”.

“Sedari awal? Tapi bagaimana bisa?” kata Qi dengan sedikit kaget.

“Mungkin saat pertama kali bertemu dengan Tifah, aku langsung mengenali tatapan putus asa, dan menyesal itu. Karena ia masih bocah, ia belum bisa menutupi rasa bersalah yang begitu besar, tidak seperti pelaku yang selama ini aku kenal. Mereka sangat hebat menghapus perasaan itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa”.

          Qi memandang ku dengan perasaan kagum dan heran, lalu ia berkata, “Hanya dari tatapannya kau bisa mengetahuinya. Itu sangat mengagumkan”. Dengan cepat wajah kagum itu kembali berubah menjadi murung, kemudian Qi kembali bertanya, “Menurutmu apa hal yang membuat Tifah melakukan semua itu? Apakah hanya karena rasa cemburunya?”

“Kecemburuan dapat membutakan seseorang Qi. Tapi semua itu tergantung dari kesehatan mental seseorang itu juga. Kalau mentalnya masih sehat, kemungkinan besar orang itu masih bisa berpikir jernih dan memikirkan tindakannya. Dan sebaliknya jika mental orang itu sudah sakit, maka ia bisa melakukan apa saja”.

“Tapi Nero, Tifah hidup di lingkungan masyarakat yang sehat dan keluarga yang harmonis, jadi sangat tidak mungkin baginya untuk memiliki mental yang tidak baik”.

“Kau benar Qi. Maka menurut pendapatku, Tifah sedang di hasut oleh seseorang”.

“Dihasut? Apa maksudmu Nero?”

“Ada kemungkinan kalau dalang sebenarnya dari kasus ini yang menghasut Tifah untuk melakukan pembunuhan. Dan kemungkinan besar orang inilah yang memberikan racun kepada Tifah”.

          Mendengar penjelasn dari ku, Qi masih tidak percaya ada orang yang sebegitu kejamnya melakukan itu pada anak-anak dan meminta mereka untuk membunuh. Namun inilah kenyataan, manusia adalah makhluk yang mempunyai dua sisi, mereka bisa menjadi sangat baik ibarat malaikat, atau mereka bisa menjadi sangat kejam  ibarat iblis.

          Kupinta Qi untuk tidak terlalu memirkan hal itu dan menyuruhnya uantuk beristirahat. Qi mengiyakan permintaan ku dan kembali ke kasur. Dan sebenarnya aku juga masih memirkan satu hal mengenai kasus ini, walau kami sudah mengungkap pembunuh dari anak-anak itu, tetapi pelaku pembunuhan guru itu masih belum jelas. Selama kami tidak mengetahui penelitian apa yang dikerjakan guru itu sebelum kematiannya, si pelaku juga akan sulit ditemukan.

          Karena kelelahan memikirkan hal tersebut aku malah ketiduran di sofa ini. HP ku berdering menandakan ada yang memanggil, hal itu membuat ku terbangun dari tidurku dan ku lihat Qi ada di sebelahku dengan selimut yang menyelimuti kami. Hari sudah pagi dan ku lihat Qi masih tidur dengan nyenyak. Karena tidak ingin membangun Qi, ku pindahkan ia ke kasur dan kemudian aku keluar kamar untuk mengangkat telepon. Ternyata yang memanggil adalah pak Termpes.

          Aku menanyai kabarnya dan buk Asri yang nampaknya semalam tidak pulang kerumah. Pak Tempes mengabari kalau istrinya dapat beristirahat di kantornya, sedangkan ia terus melakukan introgasi pada Tifah yang pada saat itu di diagnosa memakai narkotika Angel. Hal itu dapat menjelaskan perubahan sikapnya malam itu. Pak Tempes juga menginformasikan putrinya itu ternyata sudah satu minggu ini mengonsumsi obat-obatan itu. Dan ‘orang itu’ yang di singgung Tifah kemarin malam adalah orang yang memberinya obat-obatan dan racun itu. Namun Tifah tidak mengenal orang itu. Tifah hanya bercerita kalau ia bertemu dengan orang itu di taman ketika ia telah sedang sedih karena telah di tolak oleh Arkam. Dan pada saat itu Tifah sering menghubunginya, dan sayangnya nomor itu telah tidak bisa di hubungi atau pun di lacak.

          Aku berpikir betapa bagus langkah yang telah dilakukan si pelaku ini, sehingga membuatnya sulit untuk dicari oleh kepolisian. Aku bertanya kepada pak Tempes apakah polisi telah menyelidiki rumah dari pak Akil? Dan ternyata rumah dari guru itu telah kosong. Menurut kesaksian tetangganya barang-barang korban dipindahkan karena si korban ingin pindah rumah, dan hal itu di lakukan di hari yang sama di saat guru ku itu terbunuh. Dengan kata lain, alasan yang mengatakan kalau barang itu dipindahkan karena ingin pindah rumah adalah kebohongan yang di buat si pelaku untuk mengamankan hasil penelitian guru itu.

          Dan akhirnya kasus ini belum sepenuhnya telah selesai. Aku menutup telepon dari pak Tempes dan kembali masuk ke kamar. Qi sudah bangun dari tidurnya, walau kesadarannya masih setengah yang baru kembali. Aku menintanya untuk mandi terlebih dahulu sedangkan aku turun ke dapur untuk memasak sarapan, karena pak Tempes dan buk Asri akan pulang.

          Walau jarang kulakukan, sebenarnya aku bisa memasak. Hal ini karena sebelum bertemu dengan Yu, aku harus memasak sendiri. Aku memasak nasi goreng untuk menu sarapan kali ini. Aku mempersiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan, seperti bawang merah, bawang putih, daun bawang, bebera buah telur, sambal dan daging ayam. Tanpa berlama-lama akupun memulai memasak. Pertama aku memotong bawang merah, bawang putih, daun bawang, dan daging ayam yang kupotong menjadi dadu. Ku pecahkan beberapa telur dan ku tuangkan di wadah, kutambahkan sedikit penyedap rasa kemudian ku kocok telur itu. Setelah itu, kupanaskan minyak kemudian ku goreng potongan ayam tadi menjadi sedikit kematangan. Lalu setelah semua sudah siap, aku menuangkan potongan bawang merah, dan bawang putih kedalam wajan dan memasaknya hingga sedikit kecokelatan. Setelah itu aku menuangkan nasi dan sambal secukupnya dan mengaduknya hingga tercampur rata. Kemudian tu tambahkan potongan ayam tadi kedalam nasi dan juga daun bawangnya. Setelah masak, aku menyajikan nasi goreng itu ke dalam piring, kemudian aku beralih ke telur. Kutuangkan adonan telur tadi ke dalam panci dengan keadaan api kecil, setelah telur telah menyebar merata di permukaan panci, aku menghancurkan bentuknya dengan mengaduknya secara perlahan demi mendapatkan tekstur telur yang lembut. Lalu setelah bagian bawah telur telah masak dan tidak mudah koyak, aku melipat telur menjadi dua dan mendapatkan telur dadar yang lembut. Setelah itu ku letakkan telur diatas nasi goreng, dan sarapan telah selesai.

          Aku memasak untuk beberapa porsi dan sepertinya waktunya sangat tepat karena pak Tempes dan istrinya telah sampai. Qi juga telah selesai mandi, dan kami semua memulai hari itu dengan sarapan. Walau terasa ada yang telah direnggut dari keluarga ini. Selesai sarapan aku menjelaskan kepada pak Tempes untuk pamit. Aku menjelaskan kalau aku akan ke kota Est untuk melakukan sesuatu. Pak Tempes berterima kasih karena telah membantunya megatasi keraguannya. Karena sebenarnya ia sudah menduga kalau putrinya ada sangkut pautnya dengan kasus ini sejak kematian nak Arkam, namun masih ada keraguan di hatinya. Dan karena itu ia meminta bantuan ku. Dan aku juga berterima kasih kepada keluarga ini untuk membantu dalam beberapa hari ini.  

          Setelah bersiap-siap kami pun berangkat pergi ke kota Est. Sesampainya di stasiun dan saat di dalam kereta Qi bertanya padaku, “Nero apa yang ingin kau lakukan di kota Est?”

          Aku selesai mengirim pesan pada kenalanku di kota Est lalu menjawab pertanyaan Qi, “Aku ingin membantu teman yang ada disana Qi. Sepertinya dia sedang kebingungan”. Kataku dengan sedikit tersenyum.

          Qi yang melihatku seperti bahagia malah kebingungan. Ia berkata “Hmm, tingkah mu cukup mencurigakan Nero. Apakah kau akan bertemu dengan mantan mu?” Tanya Qi kepada ku.

          Aku yang kaget dengan pertanyaan Qi langsung membantah pertanyaan tersebut. “Mantan darimana? Aku tidak pernah pacaran selama ini. Siapa yang berkata aku punya mantan, Qi?”

“Hmm, begitu ya... Rizky yang mengatakan kalau disaat sekolah kepolisian dulu, kau mempunyai banyak mantan”.

“Dia itu...”

“Jadi apa yang ingin kau lakukan di kota Est Nero?”

          Aku menunjukkan foto buku note milik Khalita Ansa dan menjelaskan tujuan ku. “ Aku ingin ke kota Est karena aku mendapatkan sesuatu dari buku note gadis itu, kemungkinan besar ini adalah petunjuk yang akan mengungkap dalang pembunuhan yang ada di kota Est, dan jika beruntung kita akan menangkap sesuatu yang besar”.

“Jadi karena itu kau ingin kesana ya Nero. Sepertinya menarik”. Kata Qi sambil terseyum.

          Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun kota Zapad. Kereta melaju dengan cepat, dan waktu yang di butuhkan untuk sampai ke kota Est hanya setengah jam. Dan tak terasa kami telah sampai di kota Est. Qi nampak sangat senang karena ini adalah pertama kalinya ia mengunjugi kota Est. Qi sangat bersemangat, ia mengajakku ke cafe yang sedang viral saat ini, Cafe Libra. Cafe yang menyajikan sensasi nongkrong dengan ditemani dengan kucing-kucing yang lucu. Lokasi itu menjadi spot incaran bagi anak muda dan para pasangan. Walau bagi ku, konsep makan dan minum dengan bulu kucing yang beterbangan di sekeliling mu adalah konsep yang sangat aneh, aku tetap menemani Qi untuk kesana.

          Sesampainya di sama kami benar-benar disambut oleh kawanan kucing yang sangat menggemaskan. Aku melihat Qi sangat kegirangan sampai-sampai memeluk gemas salah satu kucing yang ada disana. Kami duduk dan memesan minum. Aku memesan Cooffe latte dan Qi memesan Milkshake cokelat. Selama menunggu pesanan kami datang, tiga ekor kucing menghampiri kami. Masing-masing kucing di sini memiliki kalung dengan nama mereka tertulis disana. Kucing yang pertama menghampiri kami adalah kucing dengan corak orange dan putih yang memiliki nama Khidir Kanabawi. Dan yang kedua adalah kucing dengan corak putih polos yang mempunyai nama Khidir Karawita, lalu yang terakhir kucing dengan nama Sumbul yang mempunyai corak warna abu-abu.

          Kucing-kucing ini menghibur kami saat kami sedang menunggu pesanan. Disaat minuman kami sampai, seseorang juga telah sampai, ia adalah teman yang aku minta untuk datang. Orang itu menghampiri meja kami dan duduk di kursi kosong yang ada di depan ku.

“Seleramu dalam memilih tempat pertemuan sangat jelek Nero” katanya, di lihatnya Qi yang ada di sebelahku dan ia bergumam “Hmm begitu rupanya. Kau ingin memamerkan pacar barumu?”

          Wajah Qi sedikit memerah mendengar perkataan orang itu, aku meletakkan minumanku ke meja dan berkata, “Sayangnya perempuan ini bukanlah pacarku. Ia adalah putri kedua dari keluarga Queen, Queen Rosa”. 

“Ya, pantas saja aku merasa tidak asing dengan wajahnya”.

          Qi menundukkan kepalanya dan mulai memperkenalkan diri, “Perkenalkan saya Queen Rosa, putri kedua dari keluarga Queen, dan tuan ini adalah...”

“Aku Hector. Hector wacth, salah satu opsir polisi yang bertugas di kota Est. Jadi kenapa kau memanggilku saat aku bertugas Nero?”

“Aku menemukan petunjuk tentang kasus pembunuhan yang terjadi di kota ini”.

          Aku menjelaskan pada Hector mulai dari mana aku mendapatkan petunjuk ini dan memaparkan petunjuk yang kutemukan. Namun raut wajahnya menunjukkan rasa tidak yakin dengan petunjuk itu.

“Jadi pada intinya, kau ingin mengatakan kau mendapatkan petunjuk ini dari seorang gadis yang secara tidak sengaja menemukan petunjuk yang selama ini kami cari, begitu Nero?”

“Ya kira-kira begitu”.

“Jangan bercanda Nero” kata Hector dengan raut wajah marah sambil memukul meja. Yang membuat pelanggan di cafe itu melirik ke arah kami. Lalu dilanjutkannya, “Apa kau tau berapa besar usaha yang aku keluarkan demi menyelesaikan kasus ini? Dan tiba-tiba kau datang entah dari mana dan mengatakan kau mempunyai petunjuk untuk kasus ini”.

          Hector berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan meja kami dengan berkata, “Maaf Nero tapi aku tidak bisa membantumu”. Setelah itu ia berjalan keluar dari cafe. Qi sedikit heran dengan sikap Hector barusan, jadi Qi bertanya pada ku mengenai hubungan ku dengan Hector. Dan aku menjelaskan semuanya.

“Pada saat di Sekolah kepolisian aku, Rizky dan Hector adalah seorang sahabat. Kami selalu bersaing dalam menggapai nomor satu. Namun persaingan menjadi semakin sulit bagi Hector karena ia tidak mempunyai kekuatan fisik yang besar seperti Rizky. Jadi ia mencoba mengandalkan kemampuan otaknya untuk bersaing, namun ia merasa tidak mungkin bisa mengalahkan ku di bidang itu. Jadi semenjak itu hubungan kami dengan Hector mulai merenggang. Dan kenapa ia bertingkah seperti itu, mungkin karena ia kelelahan dalam menuntaskan kasus ini. Aku tidak ada niatan untuk merendahkannya, aku jujur ingin membantunya”.

“Aku tau niat mu baik Nero. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat”.

“kau benar Qi, mungkin aku memanggilnya di waktu yang salah”.

          Selesai menghabiskan minuman dan bermain dengan kucing di cafe itu, aku memutuskan untuk pergi hotel untuk beristirahat. Tetapi sebelum aku memanggil taxi, Qi mengatakan pada ku bahwa adiknya saat ini ada di kota Est. Karena saat di cafe tadi, Qi sempat mengunggah foto ia bersama dengan kucing disana. Adiknya yang mengenali tempat itu langsung mengirimi pesan pada Qi dan memintanya untuk menginap di rumahnya.

          Aku sedikit terkejut karena seingatku adik Qi saat ini baru berusia 16 tahun, dan ia sudah bisa mempunyai rumah sendiri? Aku menanyakan hal itu pada Qi dan ia menjelaskan bahwa adiknya itu sangat jenius. Bahkan karena kejeniusannya itu ia bisa melangkap sekolah dan sekarang sedang berkuliah di universitas ternama di usia semuda itu. Bahkan sekarang ia sedang menjalankan usaha jual beli properti.

          Tanpa berlama-lama kami segera menuju ke lokasi adiknya Qi. Ia mengirimkan sebuah lokasi pada Qi dan kami meminta taxi untuk pergi ke tempat itu. Sekitar 17 menit kami sampai di sebuah mansion besar. Lokasinya agak jauh dari perkotaan dan suasana mansion ini sangat teduh. Pohon-pohon yang rindang menyejukkan suasana di halaman depan dan terdapat air mancur berukuran sedang disana. Kami memenekan bel yang ada di sebelah pintu dan seketika suara bel itu menggema ke dalam mansion tersebut. Tak berselang lama seorang perempuan dengan pakaian maid membukakan pintu depan sambil menundukkan kepalanya dan menyambut kami masuk.

          Begitu masuk mansion ini, aku sangat terpesona dengan interior ruangan yang ada disini. Mulai dari dekorasi, pajangan, serta lampunya nampak mewah. Entah berapa banyak uang yang dikeluarkan adiknya Qi untuk mansion ini, tetapi yang pasti ini semua sangatlah menakjubkan. Lalu dari lantai dua nampak seorang gadis dengan rambung pirang dengan mengenakan gaun putih menuruni tangga. Gadis itu menuruni tangga dengan ditemani oleh seorang butler dengan paras tampan.

          Setelah sampai di bawah, gadis itu dengan cepat berlari ke arah Qi sambil berteriak “kakak” dan memeluk Qi. Aku melihat itu sambil tersenyum karena jarang sekali aku melihat hal yang begitu menghangatkan seperti ini. Setelah selesai berpelukan, Qi mulai mengenalkan ku pada adiknya.

“Jasmine, perkenalkan ini adalah teman kakak dari kepolisian, namanya Kingsla Albanero. Dan Nero, perkenalkan ini adalah adikku putri ketiga dari keluarga Queen, Queen Jasmin”.

“Senang berkenalan dengan mu Jasmine. Sebenarnya namaku Albanero kau tidak perlu repot menyebutkan gelar itu, panggil saja aku Nero” kata ku dengan sedikit membukkan badan.

          Jasmine berjalan sedikit ke arahku, karena tubuhnya kecil ia menjinjitkan kakinya dan entah darimana ia menamparku, walau tamparan itu tidak berasa sama sekali. Qi sangat kaget melihat hal itu dan dengan sontak menjauhkan Jasmine dari ku. Sedangkan Jasmin terus memberontak dan mengoceh, ia berkata.

“Lepaskan kak, aku ingin memberi pelajaran pada orang yang menculikmu. Lepaskan aku”.

          Qi menangkap kedua tangan Jasmine lalu memegangnya dengan kuat sambil menatap mata adiknya itu dengan wajah yang sedikit menakutkan, Qi berkata “Aku tidak sedang diculik atau ditawan oleh siapapun. Kalau kau membicarakan tentang insiden yang lalu, itu terjadi karena kecerobohanku sendiri yang tidak hati-hati dan akhirnya diculik. Sedangkan Nero lah yang menyelamatkan ku. Apa kau paham adikku Jasmin”.

          Jasmin mengangguk, mengiyakan pertanyaan Qi. Lalu Qi meminta adiknya untuk meminta maaf padaku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. Dan aku bisa melihat sesuatu yang sangat langka, dan baru menyadari selama ini aku tak pernah melihat Qi marah dan baru tahu kalau ia marah bakalan semenakutkan itu.

          Kami pindah ke ruang tamu untuk berbincang-bincang. Jasmin bertanya tentang urusan apa yang kami lakukan di kota Est dan aku menjelaskan maksud kedatangan kami kemari. Mendengar penjelasanku Jasmin ikut bersemangat. Ia meminta ikut dalam penyelidikan yang akan ku lakukan besok namun langsung ditolak oleh Qi. Aku juga mengatakan pada Qi kalau besok ia juga tidak akan ikut dalam investigasi. Mendengar berita itu, Qi nampak murung dan tidak bersemangat. Aku menjelaskan pada mereka berdua kalau aku berencana pergi ke lokasi yang ditandai oleh Ansa di buku Notenya. Jasmin berpikir sejenak dan setelah itu ia memerintahkan butlernya, Sebastian untuk ikut bersama ku besok. Aku tidak keberatan dengan hal itu, begitu juga dengan Sebastian yang ada di belakang Jasmin.

          Sebastian mengantarkan ku ke kamar tamu sedangkan Qi dan Jasmin sedang melepas rindu sambil jalan-jalan di taman yang ada di belakang mansion. Setelah membantuku membawakan koperku Sebastian membungkukkan badannya dan meminta maaf atas apa yang di lakukan Jasmin tadi.

“Saya meminta maaf atas apa yang dilakukan oleh nona Jasmin, tuan Nero”.

“Tidak apa-apa Sebastian. Aku juga sudah melupakan kejadian tadi”.

“Terima kasih tuan Nero. Terkadang nona Jasmin suka bertindak semaunya, tapi itu semua karena ia sangat menyayangi nona Rosa”.

“Ya, aku mengerti kekhawatiranya terhadap Qi. Jika aku juga mempunyai saudara, dan mendengar berita kalau saudaraku diculik, aku juga akan menghajar penculik itu”.

          Sebastian tersenyum mendengar pekataan ku, lalu ia berkata, “Mohon bantuannya untuk besok tuan Nero. Mungkin saya tidak berpengalaman jadi mohon bantuannya”.

“Ya, aku juga mohon bantuan mu Sebastian”.

          Sebastian keluar dari kamar dan aku merebahkkan diriku di atas kasur ini. Aku merenungkan bagaimana kasus ini bisa terjadi, apakah masih ada sangku pautnya dengan ‘malaikat’ ini? Kemungkinan-kemungkinan itu terus keluar dari kepalaku. Aku melihat ja dari HP ku dan ternyata waktu masih pukul 13:00. Karena punya waktu kosong jadi aku mengambil buku novelku yang sengaja ku bawa. Aku melanjutkan membaca dari bagian sebelumnya. Belum sempat membaca setengah halaman, Qi menerobos masuk bersama Jasmin ke dalam kamar ku. Mereka berlari-larian di dalam kamar, seperti sedang bermain kejar-kejaran. Aku yang baru saja mendapatkan waktu yang bagus untuk bersantai sekarang waktu itu hilang.

          Sebastian kembali ke kamarku mengabarkan kalau makan siang sudah siap. Qi dan Jasmin yang mendengar itu berhenti berlarian dan keluar dari kamar ini. Qi menoleh ke arahku dan mengajakku untuk makan siang bersama. Aku berdiri dari kasur dan pergi bersama dengan Qi menuju meja makan. Setelah makan siang, hari itu terasa sangat damai, Qi dan Jasmin tertidur karena kelelahan. Dari wajah mereka terlihat sangat bahagia walau sedang tidur. Karena Jasmin sedang berkuliah ia sangat jarang bisa menemui kakaknya itu, sedangkan Qi diminta untuk membantu di perusahaan keluarganya. Dari sisa hari itu aku habiskan untuk menamatkan novel ini hingga malam hari dan akhirnya aku berhasil menamatkan novel Agatha Christie ini.

          Keesokan harinya, pukul 9 pagi, aku dan Sebastian bersiap-siap untuk pergi melakukan investigasi. Kami berhenti di sebuah resto yang menyediakan Egg Benedict sebagai menu sarapan, resto Erina. Restoran ini terletak di dekat pusat perbelanjaan, yang menjadikannya tempat yang sangat ideal. Banyak orang-orang menikmati sarapan di tempat ini. Dan harus kuakui egg benedict yang mereka sajikan benar-benar nikmat. Selesai menyantap sarapan aku mulai menjelaskan rencana ku pada Sebastian.

“Sebelumnya terima kasih karena telah mau membantuku dalam penyelidikan ini Sebastian. Berkat adanya dirimu aku bisa menyingkat waktu penyelidikan ini”.

“Menyingkat waktu? Apa maksudnya itu tuan Nero?”

“Aku ingin kau mengikuti orang bernama Andre dari pelayanan publik. Karena besar kemungkinan ia ada kaitannya dengan kasus ini, sedangkan aku akan pergi ke lokasi yang diberitahukan gadis kecil ini”.

“Apa Cuma itu saja yang harus kulakukan?”

“Untuk lebih jelasnya nanti akan kuberi tahu pada mu. Sekarang kita harus berangkat ke kantor pelayanan publik”.

“Baiklah, aku mengerti tuan Nero”.

          Kami pergi ke kantor pelayanan publik yang tak jauh dari lokasi kami saat ini. Pelayanan publik adalah orang-orang yang bertugas untuk membangun, merawat, dan memperbaiki fasilitas yang ada di kota. Pada umumnya pelayanan publik mempunyai banyak divisi, dan divisi yang ingin kami kunjungi adalah divisi air kota. Mereka yang bertanggung jawab atas air bersih, air limbah, dan sebagainya di kota ini.

          Kami sampai di kantor pelayanan publik, dan meminta Sebastian untuk masuk dan membuat permintaan, sedangkan aku menunggu di mobil. Tak berselang lama Sebastian masuk bersama orang dari pelayanan publik. Aku menyerahkan kemudi pada Sebastian dan memulai introgasi.

          Aku memulai investigasi dari pertanyaan basa-basi untuk memulai pembicaraan, “Bang Taufik, sudah lama kerja di pelayanan publik?”

“Saya bekerja sudah cukup lama bang, kira-kira sekitar 3 tahun”.

“Wah, sudah cukup lama juga ya bang?” aku memperhatikan ekspresi lawan bicara ku, tidak ada keraguan ataupun kewaspadaan, ia bersikap normal. Lalu kulanjutkan pembicaraan, “Kalau sudah selama itu bekerja itu, apakah bang Taufik sudah tahu seluk beluk jalur air di kota Est ini?”

“Tidak sama sekali” katanya dengan spontan “Bagaimana ya... bisa dibilang jalur air pembuangan atau gorong-gorong kota ini sangatlah sulit, semacam labirin. Menurut cerita yang saya dengar, dahulu gorong-gorong kota ini digunakan sebagai labirin untuk menjebak musuh di zaman perang. Yah, walau itu hanya sekedar cerita dari orang tua, tapi setelah melihatnya saya jadi percaya”.

“Apakah di divisi air kota ada orang yang hafal dengan jalur air itu bang Taufik?”

“Ada satu orang, ia adalah kepala divisi, pak Andre. Saya sangat menghormati orang itu. Walau anda pergi ke sana dengan memakai peta, anda akan tetap tersesat, namun hal itu berbeda bagi pak Andre. Ia bisa tahu seluruh jalur walau dengan mata tertutup”.

“Hebatnya, aku jadi ingin bertemu dengan beliau”. Didalam hati aku tau kalau bang Taufik telah diperdaya. Walau aku tidak punya bukti untuk membuktikan hal itu.

          Karena Andre yang sedang kuselidiki mempunyai jabatan di pelayan publik, jadi tidak sulit untuk mengetahui orangnya. Aku tinggal membuka website pelayanan publik dan melihat fotonya disana. Aku mengirimkan fotonya pada Sebastian, dan memberikan arahan untuk menurunkan ku di lokasi penemuan mayat sebelumnya yang terletak tak jauh dari distrik hiburan sedangkan Sebastian kuminta untuk menyelidiki Andre. Dan dari informasi yang ku terima dari bang Taufik pada jam makan siang Andre akan ada di resto Erina sampai ia kembali ke kantor pelayanan publik. Dan kami berpisah melakukan hal yang kami lakukan.

          Aku masuk ke dalam gorong-gorong itu yang kebetulan sedang di jaga oleh dua petugas kepolisian, aku menjelaskan situasinya dan mereka memperbolehkan aku masuk. Saat berjalan menuju lokasi aku bertanya pada bang Taufik tentang bagaimana perangai dari Andre ini. Dan bang Taufik menjelaskan kalau Andre adalah orang yang bertanggung jawab dan keras, ia keras pada diri sendiri dan kepada bawahannya. Namun belakangan ini, Andre yang ia kenal saat ini sedikit mulai berubah. Hal itu dirasakan oleh bang Taufik selaku bawahan dari Andre saat sahabat dari Andre dinyatakan menghilang selama sebulan. Atasannya itu nampak depresi dan tertekan, apalagi dikabarkan kalau sahabatnya itu ditemukan tewas. Dan sejak saat itu watak Andre berubah total, seperti ia bukanlah dirinya lagi.

          Lalu aku kembali bertanya pada bang Taufik, mengenai apakah ada kemungkinan kalau Andre adalah pelaku dari kasus pembunuhan ini. sekilas nampak keraguan dari wajah bang Taufik, ia tidak yakin kalau itu bisa terjadi. Perasaan kagum dari seseorang terkadang membutakan kenyataan dari orang yang dikagumi, tetapi kalau itu yang diyakini oleh bang taufik, maka aku menghormatinya.

Disepanjang perjanan bang Taufik telah banyak bercerita yang membuatku semakin yakin. Begitu sampai di lokasi yang dimaksud dari buku note Khalita Ansa, wajah dari bang Taufik nampak terkejut dan tak menyangka dengan apa yang ia lihat. Aku membalikkan badan dan bertanya pada bang Taufik.

“Bang Taufik, bisakah kau menceritakan semua yang kau ketahui pada ku?”

Malam harinya aku merebahkan badan setelah melakukan investigasi tadi siang. Aku telah menerima informasi dari bang Taufik, dan juga dari Sebastian yang melakukan penyelidikan pada Andre, dan Sebastian mengabari kalau Andre sempat berbicara dengan orang yang memakai hoodie hitam dan masker disebuah gang di distrik hiburan. Sebuah informasi yang sangat berharga.

Qi mengetuk pintu kamar dan aku mengizinkannya masuk, aku merubah posisiku dengan duduk di kasur. Qi datang untuk memastikan bagaimana dengan investigasi ku hari ini. Aku menjelaskan pada Qi kalau investigasi hari ini berjalan dengan lancar, aku hanya tinggal melakukan eksekusi besok dan kemungkinan kasus ini selesai. Tetapi karena kasus ini juga melibatkan narkotika ‘Angel’ yang ku temukan di lokasi yang ditandai gadis itu, aku menjadi kurang yakin akan tuntasnya kasus ini sepenuhnya.

Jarang sekali aku menjadi ragu seperti ini. Qi yang menatapku dengan serius duduk di sebelahku dan meletakkan kepala ku di pahanya. Aku sedikit kaget dengan apa yang dilakukan Qi, tetapi ia juga nampak malu, pipinya sedikit memerah dan begitu juga aku. Di elusnya kepalaku sambil berkata dengan lembut.

“Kau sudah berjuang sekuat tenaga Nero. Kau boleh ragu, semua orang pernah ragu. Tetapi, keraguan tidak cocok untuk mu. Dari pertama kali aku bertemu dengan mu di pesta malam itu. Aku langsung menyukai mata tanpa keraguan itu. Sudah beberapa kali kau menyelamatkan aku, kau lah pahlawanku, dan kaulah orang yang aku cinta”.

          Qi berhenti bicara, wajahnya merah padam karena malu. Ia memejamkan matanya, menyembunyikan mata cokelat terang itu dari ku. Aku bangun dari pangkuan Qi dan memeluk dirinya sambil mengelus kepalanya dan membalas perasaanya.

“Aku tak menduga kalau kau yang mengatakan itu pertama kali Qi, padahal aku ingin menjadi yang pertama mengatakan itu. Tapi semua itu tidaklah penting karena, aku juga mencintaimu”.

“A..Apa itu benar Nero? A..apa kau benar-benar mencintaiku?”

“Tentu saja Qi, aku akan selalu mencintaimu”.

          Wajah Qi nampak sangat bahagia. “O ya...” katanya, “maukah kau membuat janji pada ku Nero?”

“Janji apa?”

          Diangkatnya jari kelingkingnya dan Qi berkata “Berjanjilah pada ku, kalau kita tidak akan meninggalkan satu sama lain. Aku akan menjaga mu, dan kau akan menjaga ku”.

“Baiklah. Aku berjanji untuk tidak akan meninggalkan mu, dan akan selalu menjaga mu, dengan hidup ku” Sambil melingkarkan jari kelingkingku pada jari Qi dan membuat janji. “Terima kasih Qi, karena telah menenangkan ku, berkatmu aku bisa meyakinkan diriku”. 

          Qi mengangguk dan tersenyum manis padaku, dan tinggal satu hal yang harus aku lakukan untuk kasus ini. Aku akan memanggil dia dan tak perlu waktu lama dia menjawab panggilan ku.

          Siang, pukul 13:00, orang-orang memenuhi resto Erina. Sudah waktunya untuk makan siang dan orang-orang menyantap menu makan siang di tempat itu. Menu andalannya adalah Robo de toro, sebuah sup buntut kerbau yang disantap dengan kentang goreng. Biasanya ditemani dengan wine sebagai pelengkap. Aku mencari tempat duduk yang kosong untuk menikmati hidangan ini, dan menemukan tempat yang kosong di dekat jendela, tanpa berlama-lama aku kesana. Karena padatnya resto ini di waktu makan siang ini aku harus berbagi meja dengan orang berkulit sawo matang, dengan badan yang tegap yang mengenakan baju dari pelayanan publik dengan tag nama bertuliskan Andre di dada kanan bajunya.

“Maaf ya pak, saya duduk disni. Saya tidak mengganggu kan?”

“Tidak sama sekali. Waktu makan siang selalu ramai disini”.

“Yah, tidak heran. Hidangan ini sangatlah nikmat” kata ku sambil memakan robo de toro ini.   

          Andre juga menyantap makan siangnya dengan lahap. Ia mengambil segelas wine dan meminumnya dengan puas. Aku mengamatinya dan melihat ada yang sedikit aneh dari sikapnya. Aku bertanya padanya untuk mengamati tindakannya.

“Apa kau tau obat-obatan Angel, pak Andre?”

“Ya, aku tau. Itu narkotika yang sedang viral itukan? Mau di televisi, koran, atau di internet kabar mengenai obat-obatan itu terus saja diperbincangkan”.

“Kau benar. Dan setelah melihatnya sekali, aku bisa langsung tahu kondisi orang yang menggunakannya”.

“B..Begitu... ya”.

          Wajahnya sedikit pucat, dan keringat mulai mengucur dari keningnya. Aku mulai menekannya untuk melihat kembali reaksinya.

“Aku bercanda. Aku tidak pernah melihat pengguna angel selama ini”. wajahnya kembali tenang, dan tebakanku benar. “Tapi, aku tau apa yang telah kau perbuat atas dua teman mu”.

          Wajahnya mulai ketakutan dan ketenangannya mulai hilang, ia membantah perkataan ku dan berkata “Apa maksudmu? Kau tidak mengetahui apapun tentangku dan mulai bertindak kurang ajar dan menuduhku membunuh sahabatku?”

“Aku tidak pernah menuduhmu membunuh temanmu pak Andre”. Ia menyadari kalau ia telah keceplosan, aku memanfaatkannya, “Aku telah menyelidiki kegiatan mu dalam dua bulan terakhir. Dan aku menemukan dana tak bersumber yang masuk ke rekeningmu. Selain itu aku juga menemukan beberapa paket narkotika Angel di gorong-gorong, tempat kau menyiksa kedua temanmu itu”.

“Bagaimana kau tau tempat itu?” tanya Andre dengan panik.

          Aku tersenyum padanya dan menjawab pertanyaannya, “Kesalahan terbesarmu adalah membiarkan gadis kecil itu memasuki gorong-gorong itu. Dan tanpa ia sengaja ia menemukan tempat yang mencurigakan, lalu menandai lokasinya di buku notenya. Sedangkan aku hanya mengikuti rasa ingin tahu ku, dan benar sesuai dugaan ku”.

“Kau tidak punya bukti kalau aku pelaku dari semua ini, lagi pula bisa saja paket narkotika itu bukan punya ku” katanya dengan sedikit mengancam ku untuk membantah tuduhan yang aku utarakan.

“kau benar, bisa saja barang itu bukanlah punya mu. Tapi, akan lain ceritanya jika kau bukanlah pemilik, melainkan orang yang medistribusikan obat-obatan itu. Jadi pada dasarnya, bos mu, orang yang memiliki obat-obatan ini bekerja sama dengan mu dan kau adalah orang yangbertugas untuk mengedarkannya. Namun kedua sahabatmu itu menyadari perbuatan mu. Karena tidak ingin ketahuan kau menangkap mereka. Kau mencoba untuk meyakinkan mereka dan mengajak mereka untuk bekerja sama, tetapi mereka menolak. Dan akhirnya kau membunuh mereka...”

“BUKAN!!...” teriak andre memotong perkataanku. Dengan wajah panik dan ketakutan, ia berbicara “Bukan aku yang membunuh mereka. Aku hanya di tugaskan untuk menjebak mereka masuk kedalam gorong-gorong dan membuat mereka tak sadarkan diri. Orang itu, orang itu mengatakan padaku untuk membunuh mereka. Tetapi aku tidak bisa melakukannya, mereka adalah sahabat ku. Tetapi si bajingan itu menyuntikkan ku obat itu dan memaksa ku melakukannya. Percayalah, aku tidak ingin melakukan semua ini, aku terpaksa”.

             Air mata jatuh, dan Andre menangis menyesali atas apa yang ia lakukan. Aku tidak merasakan kebohongan dari perkataan dan tindakannya.

“Beritahu aku, siapa ‘orang itu’?”

          Andre menatapku dengan serius, tatapan itu penuh harap. “Dia... namanya adalah G...”

          Seketika kepala Andre pecah, otaknya berhamburan keluar dan darah melompat kesana kemari. Aku terkejut melihatnya dan langsung melihat ke arah jendela. Jelas sekali ada orang yang mengintai kami. Polisi yang menyamar sebagai pelanggan langsung bergegas bertindak mengikuti arahan Hector. Tak berselang lama Hector menghampiriku dan meminta maaf pada ku.

“Maaf Nero, kami tidak dapat melacak si penembak jitu. Padahal aku sudah mengerahkan anggota untuk mengawasi area 1 kilometer dari lokasi ini”.

“Tidak apa-apa Hector, aku juga tidak menduga hal ini. dan terima kasih karena telah membantu ku”.

“Ya. Sama-sama. Kalau begitu aku akan kembali mengumpulkan informasi dari anggota ku, dan sebaiknya kau memcuci wajahmu Nero. Rambutmu berubah jadi merah karena terkena darah”.

          Hector berjalan keluar dari resto mencari si penembak jitu dan aku masih duduk di tempat yang sama. Resto ini menjadi sunyi, hanya aku sendiri yang ada di dalamnya. Aku kepikiran akan sesuatu dan mencari sesuatu dari badan korban. Dan tebakan ku benar, terdapat alat pelacak di kerah baju korban. Seketika HP yang dibawa Andre berdering dan nomor yang memanggil tidak diketahui. Aku menjawab telepon tersebut dan mendengar suara dari si penelopon.

“Senang bertemu dengan mu detektif. Atau kupanggil saja penyihir putih”. Seketika amarah memuncak karena tingkah orang ini. ia melanjutkan, “Bagaimana pertunjukan barusan? Itu adalah balasanku karena kau telah mengambil paket obat itu”.

“Jadi kau orang yang memanipulasi Andre dan Adikku Tifah?”

“Oooh maksud mu gadis bodoh itu? Dia benar-benar bodoh sampai mau mengikuti perintahku layaknya anjing. Dan itu semua karena cintanya di tolak, hahahaha. Sangat lucu sekali”.

“Apa yang kau lakukan pada barang-barang guru itu?”

“Maksudmu, si tua Akil? Aku hanya mengambil pesanan ku dan barang-barang yang lainnya aku tidak tau menau”.

“Pesanan apa maksud mu?”

“Aku tidak akan memberitahukannya pada mu, lagi pula tidak akan seru kalau semuanya kau ketahui”.

“Yah terserah. Setidaknya hari ini kau telah melakukan kesalahan dengan tidak membunuhku”.

          Orang itu tertawa sejenak dan berkata, “Aku bisa saja membunuhmu kapan saja penyihir putih. Tetapi hal itu tidaklah akan menarik lagi”.

“Aku akan membunuhmu kalau kau memanggil ku dengan sebutan itu”.

“Coba saja, penyihir putih”.

          Teleponnya mati dan sepertinya melacaknya dari sim card juga percuma. Aku pergi ke kamar mandi dan mencuci wajah dan rambutku yang terkena darah. Kemarahan ku masih belum mereda akibat dari orang itu sampai-sampai aku memecahkan cermin di kamar mandi dengan meninjunya. Aku pasti akan menghajar si bajingan itu.

          Aku pulang ke tempat Qi dan berpamitan pada Jasmin dan Sebastian yang telah mengizinkan aku tinggal disini untuk beberapa waktu. Aku dan Qi pulang ke kota Austral. Malam di hiasi dengan cahaya rembulan, kereta yang kami naiki melaju dengan cepat, dan Qi tidur nyenyak di sampingku. Tetapi aku masih kepikiran apakah aku bisa menjaga Qi dari segala ancaman yang ditujukan pada ku. Qi pasti akan terseret ke dalam masalahku, kecuali... kecuali aku melakukan ‘itu’. Tapi untuk sekarang aku tidak perlu memikirkan hal itu, yang harus aku lakukan adalah mengantarkan Qi dengan selamat sampai ke rumahnya. Dan untuk pertama kalinya kasus yang aku tangani tidaklah selesai sepenuhnya dan membiarkan malaikat menari di atas kematian.

 


 

--Bersambung--

Komentar

Postingan Populer