BOOK OF CRIME CHAPTER III: TARIAN MALAIKAT
BOOK
OF CRIME SERIES
CHAPTER
III
TARIAN
MALAIKAT
Hari
yang sangat damai, matahari bersinar lembut, para burung berkicau merdu dan
suara gemerisik dedaunan tertiup angin menambah merdunya melodi alam. Jauh dari
suara berisik kendaraan, aku mencoba mencari ketenangan dengan bersantai
menyeruput secangkir kopi luwak di tepi kolam ikan koi ini sembari membaca
novel favoritku, novel karya Agatha Christie. Aku harap ketenangan ini bisa
bertahan selamanya, namun di dunia ini tidak ada yang abadi. Suara gaduh
terdengar di pintu depan. Ketukan pintu terdengar berulang-ulang hingga
membuatku jengkel.
Ku
alihkan pandangan ke arah asisten ku yang berdiri tak jauh dari posisi ku saat
itu, dan memintanya untuk mengecek ke depan, “Yu bisa kau lihat siapa yang ada
di depan sana, dia telah mengganggu hari tenang ku”.
“Baik tuan Nero”,
dengan segera Yu melangkah menuju pintu depan.
Saat
pintu terbuka terdengar suara seorang perempuan yang berteriak dari ruang tengah,
ia memanggil namaku sambil berlari ke halaman belakang dengan penuh semangat.
Orang itu adalah orang yang sangat tidak ingin ku jumpai saat ini, ia adalah nona muda Queen Rosa. Putri kedua dari
bangsawan Queen, kami bertemu dua tahun lalu saat keluarga Kings kehilangan
harta berharga mereka. Dan karena keluarga Queen punya hubungan yang dekat
dengan kepolisian di kota Austral maka aku sering medatangi kediamanan keluarga
Queen dan sejak itu kami berteman cukup dekat.
Rambut
hitam panjang milik nona muda itu terurai saat ia berlari mengahmpiri ku.
Dengan semangat ia menyapa ku layaknya anak kecil, dan sebenarnya Queen Rosa
empat tahun lebih muda dari ku. “Nero, aku rindu sekali dengan mu. Aku cari kemana-mana ternyata kau disini, dan
sedang apa kau di tempat ini? “
Kututup
buku novelku dan kulihat nona muda itu
duduk di hadapan ku dengan senyum manis menunggu jawaban ku, “Aku sedang
menjalani liburan. Jadi kenapa kau mencari ku Qi?”.
“Oooh...” kata Qi
dengan santai. Lalu dilanjutnya, “Aku hanya ingin mengatarkan surat ini. Beberapa
hari yang lalu rekanmu meminta ku untuk mengantarkan surat ini padamu”. Di
serahkannya surat yang dibawa Qi kepadaku. Surat dengan amplop putih dengan cap
kepolisan kota Zapad.
Melihat
surat itu aku bertanya pada Qi, “Lalu Qi, kenapa Rizky tidak mengirimkan surat
itu langsung padaku? Padahal dia tahu tempat liburanku ini”.
“Ntahlah, dia tidak
memberitahu apapun”.
Aku
memutuskan untuk pindah keruang tamu untuk melanjutkan pembicaraan kami, namun kali
ini kami ditemani dengan Clairmont cake dan
cokelat panas. Qi nampak senang menyantap Clairmont cake buatan Yu. Yuliana
atau yang sering kupanggil “Yu” adalah seorang asisten yang bekerja untuk
membantu ku mengurusi masalah berkas-berkas pekerjaan yang sering kubawa ke
rumah, dan sekalian membantuku dalam urusan bersih-bersih dan masak-memasak.
Kupandangi
sejenak surat yang ada dihadapanku. Cukup lama kupandangi surat itu yang
membuat Qi juga penasaran dengan apa yang ku lakukan. Surat dengan lambang
segel kepolisian ini, sepertinya akan mengakhiri liburan ku. Dan tebakanku
benar sekali. Surat itu adalah surat permintaan dari kepala polisi kota Zapad.
Sudah lama aku tak mendapat kabar dari pak tua itu, dan aku memutuskan untuk
mengakhiri liburan ku dan memenuhi permintaannya. Aku tidak bisa menolak
permintaan pak tua ini.
Seakan
tau isi pikiran ku, Qi tersenyum kecil dan berkata, “Sepertinya kau harus
mengakhiri liburan mu ya, tuan Kingsla Albanero?”
“Sepertinya kau sudah
mengetahuinya Qi. Dan sudah ku katakan untuk tidak perlu menambahkan gelar itu,
nona Queen Rosa”.
“Kenapa? Padahal itu
adalah sebuah gelar kohormatan”.
“Rasanya terdengar
sedikit aneh, untukku”.
Qi
hanya tertawa kecil mendengar perkataan ku seakan ia sepenedapat dengan ku. Dan
setelah itu kuminta Yu untuk mengambilkan
sebuah koper yang ada di lantai dua, dan aku pergi ke kamar untuk bersiap mempacking baju untuk ku bawa. Qi
yang melihat tindakan ku bertanya pada ku, “Kau ingin pergi kemana Nero?
Bolehkah aku ikut denganmu?”.
Mendengar
pertanyaan dari Qi, ku hentikan kegiatan ku dan aku jelaskan kepadanya kemana
aku akan pergi, “ Aku akan pergi ke kota Zapad, aku mendapat permintaan dari
kepala polisi kota Zapad untuk membantu mereka menangani kasus pembunuhan yang
belakanagan ini terjadi disana”.
Qi
hanya menatapku dengan serius, lalu ia berkata “Hmm... menjadi seorang detektif
terkenal itu susah juga ya. Jadi apakah
aku boleh ikut?”
“aku tidak
merekomendasikannya Qi”.
“Kenapa aku tak boleh
ikut Nero? “
“Aku tidak ingin
kejadian yang lalu terulang lagi, aku tidak ingin kehilangan mu Qi”. Jawaban ku
barusan membuat Qi kaget dan seketika pipinya sedikit memerah.
Di
tenangkannya dirinya dan Qi berkata, “ Kali ini hal itu tidak akan terjadi,
jadi percayalah Nero”.
“Baiklah, tetapi kau
harus selalu berada di dekat ku. Akan sangat merepotkan jika salah satu
keluarga bangsawan sepertimu hilang, dan jangan lupa untuk meminta izin kepada
ayahmu”.
Setelah
selesai mempacking barang, kami langsung berangkat ke stasiun kota Austral. Dan
Yu ku beri perintah untuk mengambil libur hingga urusan ini selesai. Sesampainya
di stasiun nampak orang-orang yang sedang menunggu kereta, namun suasananya nampak lumayan sepi di karenakan pada waktu
begini orang-orang sedang sibuk bekerja dan anak-anak sibuk sekolah.
Setelah menerima koper
yang berisi baju dari pelayannya, Qi
kelihatan bersemangat sekali, ia seperti anak kecil yang menantikan perjalanan
tamasya sekolah. Tak lama menunggu muncul sebuah kereta melaju ke arah stasiun.
Kereta yang tadi melaju dengan cepat kini melambat dan berhenti. Pintu kereta
terbuka dan kami masuk ke dalam gerbong. Aku duduk di dekat jendela, begitu
juga Qi yang juga duduk di dekat jendela. Kami duduk saling berhadapan dan
meletakkan barang bawaan kami di sebelah kami. Setelah beberapa menit menunggu
semua penumpang naik, kereta kembali melaju perlahan tapi pasti sampai dengan
kecepatan penuhnya. Semua yang kulihat silih berganti dengan cepat. Di sepanjang
perjalanan Qi menikmati apa yang ia lihat di perjalanan. Butuh waktu yang cukup
lama agar kami sampai di kota Zapad, sekitar satu harian. Namun, aku menikmati
ketenangan ini walau aku tahu kalau ini hanya lah sementara. Ku kabari kepala
polisi kota Zapad bahwa aku akan sampai disana besok siang.
Waktu
terasa sangat cepat, kami habiskan waktu dengan bermain kartu, hingga tak
terasa matahari sudah turun ke cakrawala meninggalkan sinar jingga yang indah
ditambah dengan pemandangan pematang sawah. Dan tak terasa tubuhku merasa
lelah. Ku sandarkan diri dan ku biarkan rasa kantuk menyerang, perlahan namun
pasti mataku terasa berat dan akhirnya aku terlelap.
Aku
terbangun dari tidurku dan tidak tau kenapa tetapi bahuku terasa berat. Dan saat
kubuka mataku, kulihat Qi sedang tidur disebelahku dan bahuku sebagai
sandarannya. Ia memindahkan koper yang ada disampingku dan menukarkan tempatnya
sehingga ia bisa ada disebelahku. Saat
melihatnya hatiku tak tega untuk membangunkannya, wajahnya sangat imut saat ia
tidur. Kubiarkan saja begini, mungkin ini yang terbaik. Kulihat ke arah jendela,
dan pemandangan masih lalu lalang di
hadapanku. Bulan bersinar terang malam ini, cahaya dari lampu rumah-rumah
bersinar indah menerangi malam. Dan kupikir aku akan melanjutkan tidurku.
Saat
aku terbangun untuk yang kedua kalinya, matahari sudah bersinar agak tinggi
menandakan hari sudah pagi. Dan kereta yang kami naiki sudah sampai di kota
Candence, yang artinya tinggal sekitar 3 jam lagi kami sampai dikota Zapad. Ku
lihat Qi masih teretidur pulas di sebelahku. Ku tepuk bahunya dengan perlahan
untuk membangunkannya.
“ Qi, bangun. Kita
sudah hampir sampai”.
Matanya
mulai terbuka dengan perlahan, dan matanya yang cokelat cerah itu menampakkan
dirinya. Qi termenung sebentar dan melihat sekelilingnya kemudian ia
meregangkan badannya dan berkata, “ Kita sudah ada dimana Nero?”
Kujawab
pertanyaan Qi sambil memberikan sebuah air mineral padanya, “Kita sedang
berhenti di stasiun kota Candence. Aku akan membeli sarapan untuk kita, jadi
tolong jaga barang bawaan kita ya Qi”.
Qi
hanya mengangguk sambil menguap dan mengusap matanya, “Nero aku mau sarapan
yang manis-manis ya” katanya dengan suara lemah.
Aku
mengiyakan permintaannya dan pergi ke toko yang ada di stasiun, membeli roti
lapis isi daging untuk ku dan roti dengan selai strawberi untuk Qi. Setelah
membeli sarapan aku kembali kedalam kereta. Dan kini giliran Qi yang keluar
untuk pergi ke kamar mandi dan aku yang menjaga barang bawaan kami. Selesai
dari kamar mandi Qi masuk ke kereta dan kami menyantap sarapan pagi itu dan tak
lama dari itu kereta kembali berangkat. Selama di perjalanan kami mengobrol
mengenai topik liburan kami yang lalu. Kereta melaju cepat dan kami memasuki
terowongan. Semuanya terlihat gelap, aku hampir tidak bisa melihat apa pun.
Kereta kami sedikit terguncang karena kontur tanah yang tidak rata dan membuat
HP yang ada di sebelah Qi terjatuh, aku berniat membantunya mengambilkan HP nya
karena saat itu sangat minim penerangan. Gerbong yang tadinya gelap kini telah
terang kembali, dan ternyata kami berusaha mengambil HP yang terjatuh sehingga
tak sengaja wajah kami berdekatan di saat itu mata kami saling bertemu, wajah
kami memerah karena malu dan seketika kami saling menjaga jarak.
Laju
kereta perlahan melambat menandakan kami telah sampai di tempat tujuan. Pintu
gerbong kereta terbuka dan semua penumpang keluar dari kereta begitu juga
dengan kami. Saat kulangkahkan kaki di stasiun kota Zapad, suasana yang
kurasakan terasa sangat berbeda. Hawa panasnya sangat terasa hingga baru
beberapa menit saja bajuku sudah basah karena keringat. Kami duduk di bangku
yang ada di stasiun dan aku mengabari pak tua itu kalau kami sudah sampai. Tak
perlu menunggu lama, kepala polisi kota Zapad, pak Ade Tempes datang menjemput
kami. Tubuh tegapnya sangat mudah untuk dikenali walau dari keramaian. Ia
menghampiri kami dengan parasnya yang kuat, kumis lebat yang sedikit sudah
mulai memutih dan dengan rambut yang juga hampir memutih seutuhnya.
“Lama tak jumpa Pak tua
Tempes” kata ku menyapanya.
Pak
tua itu sedikikt tertawa melihat tingkah kurang ajarku yang tidak hilang dari
dulu, “ Kau masih saja tidak berubah ya Nero. Masih menjadi anak kurang ajar ya
hahaha”.
Ketawa
keras dari pak tua itu membuat orang-orang di sekliling kami terkejut. Selesai
ia tertawa, dilihatnya perempuan di sebelahku dengan tatapan bingung. Qi yang
sadar akan pandangan bingung itu segera memperkenalkan dirinya, “Izinkan saya
memperkenalkan diri pak, saya Queen Rosa, putri kedua dari keluarga Queen.
Senang bertemu dengan mu pak Tempes”.
“I..ini beneran putri
dari keluarga Queen? Suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda nona” kata pak
tua itu dengan gugup.
“S..saya juga merasa
terhormat bisa bertemu dengan bapak selaku kepala polisi kota ini yang
mempunyai segudang prestasi”.
Wajah
Qi sedikit memerah karena gugup dan aku tidak paham apa yang membuat ia menjadi
segugup itu. Tak lama kemudian suasana yang canggung tadi bisa teratasi karena
pak Tempes dan Qi bisa menemukan topik pembicaraan yang sama. Kami berjalan ke
parkiran dan naik mobil pak Tempes. Selama di perjalanan Pak tua Tempes menceritakan
cerita masa lalunya, mulai dari ia masuk kepolisian di waktu muda, lalu
kejadian apa saja yang sudah ia lalui dalam menjalankan tugasnya sebagai
polisi, dan menceritakan hubungannya dengan ku. Qi yang sedari tadi
mendengarkan semua cerita dari pak Tempes sedikit kaget saat mengetahui aku dan
pak tempes sebenarnya mempunyai hubungan keluarga. Aku di adopsi oleh pak
tempes saat berusia 10 tahun, karena pada saat itu terjadi insiden kebakaran
yang menghanguskan rumah dan menewaskan ibu dan ayahku. Yah, itu semua adalah
kisah lama. Tak perlu waktu yang lama, kami sampai di kediaman keluarga Tempes.
Kediaman
bergaya mideaval ditambah sentuhan abad pertengahan ini tampak megah dengan
halamannya yang luas. Pintu depan terbuka seolah-olah sudah tau kedatangan
kami. Seorang gadis berambut hitam keluar dengan memakai seragam sekolah, ia
nampak sedikit terkejut dengan kedatangan kami. Mata ku memandangi wajahnya
yang mengingatkan ku pada seseorang. Pak Tempes menghampiri gadis itu sambil
mengatakan “ Apakah kau masih ingat putri kecil ku Nero? anak yang dulu selalu
kusuruh untuk kau jaga”.
Seketika
bayangan kabur itu tercerahkan, “ ini Tifah? Tifah yang itu? Aku tidak
menyangka kalau ia akan tumbuh menjadi gadis yang anggun”. Mendengar perkataan ku, pak tua Tempes itu
kebali tertawa.
Ia
mengantarkan kami masuk kedalam rumah dan aku kembali bertemu dengan istrinya
pak Tempes, buk Asri. Ia merasa senang aku kembali ke sini. Kami duduk di ruang
tamu, bercerita melepas rindu dan pak Tempes pergi mengantarkan putrinya, Tifah
ke sekolah. Satu hal yang aku sadari saat bertemu dengan gadis itu, aku
mengenali tatapan yang ia tunjukkan kepadaku. Sekitar 30 menit kami bercerita
di ruang tamu, pak Tempes kembali tiba setelah dari mengantarkan Tifah. Dan
seketika pak Tempes mengajak ku ke ruang kerjanya untuk membahas perihal
permintaan yang ia sampaikan di surat itu. Sedangkan Qi ikut bu Asri ke
dapur.
Di
dalam ruang kerja pak tua itu terdapat rak buku yang sangat besar. Rak itu
berisikan buku-buku filsafat, psikologi, kriminologi, dan beberapa buku satra
terkenal. Aku duduk di sofa dan pak tua itu duduk di hadapanku. Di atas meja
kaca yang ada di depanku terdapat sebuah berkas mengenai kasus pembunuhan yang
terjadi baru-baru ini. Menurut deduksinya pelaku dari kasus pembunuhan anak SMA
di peron stasiun cabang kota Zapad, pembunuhan guru SMA di gedung parkir dan
pembantaian satu keluarga di dalangi oleh orang yang sama. Ia menjelaskan
pendapatnya pada ku dengan rinci. Namun setelah selesai memaparkan pendapatnya
aku menyanggah buah pikir pak Tempes karena adanya kontradiksi dari pendapatnya
dengan fakta yang ada di lapangan. Pak tua itu belum mengerti dengan apa yang
ku maksud, dan ia sebenarnya sudah menebak siapa pelakunya berdasarkan
analisisnya. Aku tidak mendengarkan pelaku yang ditebak oleh pak tua itu. Aku
meminta kepadanya agar bisa melihat ke TKP , agar aku bisa menjelaskan apa yang
aku pikirkan.
Pak
tua itu menyandarkan tubuhnya dan berkata “Seperti yang sudah ku katakan pada
mu Nero, aku sudah melemparkan kartu mengenai siapa pelaku dari kasus ini, dan
untuk pertama kalinya aku berharap kartu yang kulempar salah”. Wajah pak tua
itu terlihat muram.
“Tenanglah pak tua,
untuk itulah aku ada disini”.
Setelah kurang lebih 15 menit, aku keluar dari ruang kerja itu. Samar-samar terdengar
suara tawa dari ruang dapur, ku coba menghampiri sumber suara itu namun aku di
sambut oleh bau yang sangat enak. Aroma ini hampir membuat liur semua orang
yang menciumnya keluar. Saat ku intip, kulihat Qi sedang asyik membantu buk
Asri memasak, dan yang di masak itu
adalah Pie. Pie itu nampak lezat sekali aku ingin mencoba mencicipinya. Aku
berbalik dan pergi meninggalkan ruangan dapur dengan perlahan karena tidak
ingin mengganggu mereka. Namun dengan cepat langkah kaki terdengar di belakang
ku.
“Nero kau mau kemana?
Kau tidak ingin mencicipi kue pie ini? Padahal bu Asri sudah susah payah
membuatnya” kata Qi sambil meraih tangan ku dan menariknya ke meja makan.
Bu
Asri meletakkan pie yang baru jadi itu ke atas meja dan berkata, “Ya nona Queen
benar, anak bandal. Kau tidak ingin mencicipi pie spesial buatan ibu? Aku tau
kau sangat menginginkannya” katanya sambil tersenyum.
Aku
ingin sekali menyangkal hal itu namun, ia benar. Aku ingin sekali mencicipi pie
itu, tetapi ada hal penting yang harus ku lakukan. Setelah itu pak tua Tempes
juga datang ke dapur, dan kami semua duduk di meja makan yang terbuat dari
pohon jati ini. Piring di bagikan dan keu pie strawberi berlapis krim coklat
ada di hadapan kami. Bu Asri memotong dan membagikannya pada kami dengan rata,
tak lupa pula ia menyisihkan satu potong untuk Tifah. Kami menyantap pie ini
bersama-sama. Rasa manis dari coklat dan rasa segarnya buah strawberi
menyempurnakan hidangan ini. Tanpa terduga semua mata tertuju padaku, seolah-olah
sedang melihat sesuatu yang mustahil.
“Wah aku tidak pernah
melihat Nero tersenyum seperti itu, manis sekali”. Kata Qi dengan mata yang
bersinar-sinar.
“Ternyata anak bandal
ini bisa tersenyum juga ya, ku pikir kau hanya bisa menampilkan wajah surammu
itu” ejek pak Tempes pada ku.
Aku
berusaha untuk tidak menghiraukan ejekan dari pak tua itu, namun ia terus
mengejekku. Begitu selesai makan, aku dan pak Tempes pergi ke TKP yang pertama.
Sedangkan Qi memilih untuk tinggal di rumah saja karena ia ingin beristirahat
dan kami berangkat ke tempat tujuan. Di dalam perjalanan kami kembali membahas
beberapa topik mengenai kasus yang sedang kami hadapi ini. Terkait adanya
faktor-faktor lain yang kemungkinan bisa mempengaruhi kasus ini. Walau itu
hanyalah spekulasi kami, tapi aku pribadi tidak menginginkan hal itu terjadi.
Disaat
mobil berhenti karena lampu merah, pak Tempes merubah topik pembicaraan, “Kau
cukup dekat dengan nona muda Queen itu ya, Nero?”
Aku
menoleh ke arah pak tua itu dan menjawab pertanyaannya, “Ya. Kami cukup dekat
sejak insiden perampokan permata itu”.
“Ooo, aku ingat
kejadian itu. Kalau tidak salah saat itu kau menyelamatkannya dari peluru
nyasar. Yah, sampai sekarang aku merasa beruntung karena membawa mu kesana.
Andai kata kau tidak ada disana, bisa saja permata keluarga King itu sudah
berakhir entah dimana”. Jawab pak tua Tempes itu sambil memasukkan persneiling
mobilnya.
“Ya, terima kasih
karena sudah mengajakku saat itu pak tua”.
Mobil
melaju ke tempat yang kami tuju dan tak berselang lama kami sampai di sebuah
stasiun kecil di dekat sebuah perumahan. Stasiun ini adalah stasiun cabang kota
Zapad yang paling dekat dengan kota Est. Di stasiun itu terdapat kumpulan bunga
yang ditujukan untuk si korban. Masih terdapat garis polisi yang menandakan
lokasi pembunuhan. Tempatnya tepat berada di titik buta kamera cctv, jadi
percuma untuk melihat rekaman cctv.
“apakah ada saksi dalam
kasus satu ini?” tanya ku kepada pak Tempes.
“Hanya satu” kata pak
tua itu. Di hidupkannya sebatang rokok dan dilanjutkannya perkataannya, “saksi
untuk kasus ini adalah sepupu si korban. Ia sedang berangkat ke rumah si korban
untuk menginap malam itu dan ia meminta sepepunya untuk menjemputnya disini.
Namun setelah ia sampai, ia tidak menemukan korban. Lalu ia mencoba untuk
menelpon si korban dan ia mendengarkan dering bunyi HP nya dan disaat itu
korban sudah ditemukan tak bernyawa. Terakhir yang aku dengar, ia menyalahkan
dirinya sendiri atas kejadian ini. Sungguh gadis yang malang”.
“Tidak ada yang bisa di
ketahui selain waktu tewasnya korban. Dimana rumah Sepupu si korban ini?”
“Saksi kita tinggal di
kota Central, distrik 5”.
Aku
memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan mencari apa motif dari si pelaku, namun
semuanya masih abu-abu seperti ada data yang hilang. “ Kita masih belum
mengetahui motif dari si pelaku, dan kenapa ia membunuh anak SMA yang tidak
bersalah. Andai saja, si korban pernah melakukan kesalahan, misalnya seperti
mempunyai hutang kepada si pelaku, maka ia hanya perlu menghabisi si korban
saja dan tidak perlu membunuh korban yang lainnya. Itu tidak masuk akal”.
Selesai aku menjelaskan apa yang aku pikirkan pak Tempes nampak memikirkan
kembali apa yang baru saja aku katakan. “Jadi...” sambungku “ Motif si pelaku
tidak ada hubungannya dengan hal-hal berharga seperti uang dan sebagainya, dan
hal ini menandakan, pelakunya pasti lebih dari satu orang”.
Mendengar
perkataan ku barusan, pak tua itu seakan ingin menyangkalnya namun dengan cepat
aku berkata, “ aku tau apa kau pikirkan pak tua, aku tau kau tidak setuju
dengan pendapat ku ini, namun aku akan menjelaskannya jika kita sudah sampai di
tempat yang ke dua”.
Pak
tua itu nampak masih tidak percaya dengan ku, tapi ia hanya bisa menganggukkan
kepalanya dan kami berjalan ke mobil. Sudah tidak ada yang bisa kami cari dari
tempat ini. Mobil kami berangkat ke tempat berikutnya, sebuah gedung parkir
yang tak jauh dari rumah korban ke dua. Korban kali ini adalah seorang guru
kimia yang mengajar di SMA 1 kota Zapad. Menurut berkas yang aku baca, beliau
dulunya adalah seorang dosen di perguruan tinggi ternama, namun karena
mendekati masa pensiunnya ia akhirnya beralih menjadi seorang guru yang
mengajar di SMA.
Setelah
sampai di lokasi, kami berhenti di lantai 3 gedung parkiran ini, pak Tempes
membawa ku ke sudut gedung yang bergaris polisi. Dan setelah itu ia menjelaskan
kronologis kejadiannya. “Korban di temukan di sudut gedung ini, dengan ditutupi
kain terpal yang terdapat di sekitar sini. Kebetulan gedung ini sedang
direnovasi dan kebetulan sekali hari itu para pekerja sedang tidak melakukan
pekerjaan. Dan jika kau lihat masih terdapat bekas jejak darah ke arah mobil
korban...”
Aku
memotong perkataan pak tempes dengan cepat, “ Jadi korban di bunuh di dekat
mobilnya, begitu ?”
“Iya begitu menurut
kami” kata pak Tempes.
Aku
berpikir sejenak, dan sesasat kemudian aku mengutartakan pemikiranku, “Seperti
yang aku katakan tadi, kalau pelaku dari semua ini lebih dari satu orang. Hal
ini terbukti dari kasus ini. Korban di bunuh di dekat mobilnya, kemudian di
seret dan di sembunyikan di sudut gedung itu. Dan kalau pelaku adalah orang
yang kau tebak, maka hal itu tidaklah mungkin. Karena ia tidak akan bisa
mengangkat tubuh seorang dewasa yang dua kali dari ukuran tubuhnya”.
“Kalau begitu...” kata
pak tua itu dengan raut wajah sedikit putus asa. Lalu dilanjutkannya
perkataannya, “kalau begitu, siapa pelaku dari kasus ini?”
Aku
diam sejenak. Untuk menjawab pertanyaan dari pak tua itu, aku juga masih belum
bisa menjawabnya karena aku masih belum mendapatkan alasan si pelaku membunuh
korbannya. “Kupikir semua akan jelas ketika kita sampai di lokasi ketiga” kata
ku.
“Kau benar Nero, mari
kita ke tempat berikutnya” wajah pak Tempes sudah kembali seperti biasa.
Kami segera berangkat ke TKP yang ketiga. Lokasi terakhir yang kami datangi hari ini letaknya tidak jauh dari tempat pertama yang kami datangi. Lokasinya berada di daerah perumahan. Saat hendak sampai di lokasi, aku melihat orang memperbaiki tiang listrik yang rusak. Dan tak jauh dari itu kami sampai ke lokasi berikutnya. Sebuah rumah dengan gaya minimalis modern, rumah yang sangat cantik jika dilihat dari depan. Di depan pintu terdapat garis polisi dan beberapa polisi yang menjaga TKP. Aku dan pak Tempes menghampiri polisi yang berjaga dan menjelaskan situasinya. Setelah itu aku dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Dan jika ku ilustrasikan rumah ini, maka akan tampak seperti ini.
Ketika
masuk ke dalam rumah, di dekat pintu masuk tergambar skestsa korban yang
merupakan putri keluarga ini. Ia meninggal disini seakan sedang meminta
bantuan. Aku mengikuti jejak darah yang ada disekitar sketsa tadi dan menemukan
bekas darah yang sudah mengering di depan ruang dapur. Aku masuk ke ruang dapur,
dan melihat sketsa orang tua korban di meja makan. Di atas meja terdapat 3
gelas minuman dan di kolong meja makan terdapat bekas darah yang sudah
mengering. Dari ruang darpur aku melanjutkan investigasi ke lantai 2 dengan
menaiki tangga yang ada di dekat ruangan dapur.
Di
lantai 2 hanya terdapat kamar si ayah dan ibu, lalu kamar putri mereka, dan
sebuah kamar kosong yang mungkin digunakan sebagai kamar tamu. Aku sudah
mengetahui latar belakang dari keluarga ini dari berkas milik pak Tempes. Si
Ayah, Khalita Rahma bekerja sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit di
kota Zapad. Dilihat dari beberapa orang yang dekat dengan beliau, dikatakan ia
adalah orang yang baik, bahkan mau
membantu pasien yang mempunyai masalah finansial di rumah sakit itu. Jadi
kurang masuk akal saja akan ada orang yang ingin membunuhnya bahkan seluruh
keluarganya. Sedangkan sang ibu, Dhea Putri hanyalah seorang ibu rumah tangga.
Menurut para tetangga, ia juga orang yang baik dan sangat bertanggung jawab.
Lalu putri mereka, Khalita Ansa adalah seorang siswi di SMA 1 Zapad. Sekolah
yang sama dengan kedua korban sebelumnya.
Aku
masuk kedalam kamar sang anak, sekilas tidak ada yang aneh. Tipikal kamar
perempuan pada umunya, itu yang sesaat ku pikir. Namun kulihat beberapa tetes
darah di dalam kamar dan sebuah tisu dengan bekas darah di tong sampah di dalam
kamar. Di atas meja belajarnya terdapat sebuah buku harian. Kubuka buku itu dan
sesaat aku merasa bersalah karena telah membaca rahasia seorang gadis, tapi ku
coba untuk menjauhkan pikiran itu terlebih dahulu. Ku baca buku itu dengan
seksama dan pada halaman pertama dan seterusnya hanya berisikan keseharian nya
di sekolah, saat liburan dan semua hal yang menyenangkan yang ia lakukan
bersama teman-temannya.
Dari
beberapa halaman yang sudah aku baca, aku mengetahui watak si korban yang
periang, dan disukai oleh teman-temannya. Dan dari hal ini aku mengetahui kalau
Arkam korban dari kasus pertama berteman baik dengan ‘Ansa’ si korban dan juga
Tifah. Kulembar terus buku harian itu hingga aku sampai pada halaman dimana ia
menuliskan kalau disaat pulang sekolah teman baiknya Arkam megajaknya untuk
pergi jalan, dan ia mengetahui kalau temannya itu menyukai dirinya dan
sepertinya ia juga menyukai nak Arkam ini. Lalu pada halaman berikutnya korban
menuliskan betapa hancurnya ia saat mengetahui, teman baiknya sekaligus orang
yang ia sukai telah pergi. Dan di akhir kalimatnya ia nampak menginginkan
pembalasan. Ku lembar buku harian ini ke halaman berikutnya dan buku harian ini
berubah menjadi buku yang memetakan isi pikirannya akan siapa dalang pembunuhan
temannya itu. Kupahami isi buku itu dan aku dapat menarik kesimpulan kalau si
korban berpendapat kalau pembunuhan temannya ada sangkut pautnya dengan kasus
yang terjadi di kota Est. Sungguh konyol sekali, aku tidak tahu darimana
pemikiran itu datang. Dan sepertinya si korban berencana pergi ke kota Est
untuk mencari tahu hal itu. Dan saat kulembar buku harian itu, buku itu sudah
kosong yang artinya buku itu berakhir sampai situ. Aku jadi penasaran apakah ia
berhasil menemukan sesuatu dari sana.
Aku
keluar dari rumah itu dan menemui pak Tempes yang sedang berbicara dengan
tetangga yang ada di sebelah rumah ini. Pak Tempes yang tadinya sedang
berbicara membalikkan badan dan kemudian memanggilku. Begitu aku sampai disana
aku diperkenalkan dengan orang yang pak Tempes ajak berbicara.
“Nero perkenalkan ini
adalah pak Hasri. Beliau ini adalah ayah dari nak Arkam”.
Pak
Hasri menjulurkan tangannya begitu pula aku sambil memperkenalkan diri,
“Perkenalkan saya Albanero, detektif
yang diminta pak Tempes untuk membantu kasus ini. Dan saya berbelasungkawa atas
apa yang menimpa keluarga bapak”.
“Terima kasih nak Nero,
kami juga cukup terguncang atas kasus ini” kata pak Hasri dengan nada suara
yang cukup berat. Pak asri diam sejenak lalu ia berkata, “Aku juga tak
menyangka keluarga pak Rahma akan pergi secepat ini, padahal baru bulan kemarin
kami mengadakan piknik bersama”.
“Kita ini hanyalah
manusia pak Hasri” sambung pak Tempes, “Jadi kita tidak mengetahui kapan kita
meninggal”.
“Ya kau benar pak
Tempes. Sekarang aku hanya bisa berdoa dan mengandalkan nak Nero untuk
mengungkap kasus ini” kata pak Hasri sambil memandang ke arah ku.
Tak
lama setelah mengobrol bersama pak Hasri, ia pamit karena harus ada yang ia
kerjakan. Aku dan pak Tempes berjalan ke arah mobil dan menyudahi kegiatan hari
ini. Tubuhku juga terasa lemas dan pegal. Ketika sudah duduk di dalam mobil aku
menanyakan apakah hasil otopsi dari korban telah keluar, dan pak Tempes
mengatakan kemungkinan hasil otopsi akan keluar besok. Lalu aku bertanya lagi
pada pak Tempes.
“Hei pak tua, apakah
kau tau narkotika jenis baru yang belakangan ini sedang marak diperbincangkan?”
Mobil
mulai berjalan dan pak tua itu belum juga menjawab pertanyaanku, kupikir ia
tidak mendengarkan ku jadi aku ingin bertanya padanya sekali lagi, namun
sebelum aku mulai berbicara pak Tempes berkata, “Ya aku tau. Narkotika ini berjenis
obat-obatan dengan nama ‘Angel’, beberapa hari belakangan ini kami banyak
menangkap anak-anak muda yang memakai benda itu. Efek dari obat-obatan itu
mulai dari kehilangan identitas diri, dan berhalusinasi hebat. Dan si pemakai
selalu mengoceh kalau ia sedang melihat malaikat, ia adalah yang terpilih dan
sebagainya. Sungguh berbahaya sekali. Dan mau sekeras apa pun kami melacak
jalur perdagangan narkotika ini, kami selalu saja berakhir dengan kegagalan”.
Setelah menjawab pertanyaan ku, keadaan mulai terasa hening. Pak tua itu
melirik ke arah ku dan bertanya, “Memangnya kenapa Nero? Apakah kasus ini ada
berkaitan dengan narkotika itu?”
“Aku tidak tau. Tapi
kuharap hal itu tidak memiliki hubungan dengan kasus ini”. Aku terdiam sejenak
dan karena ada hal yang menarik perhatian ku aku kembali bertanya pada pak
Tempes, “pak tua, apa kau tau dimana barang-barang yang dibawa Khalita Ansa”.
Pak
tua itu terlihat kaget mendengar pertanyaan ku dan ia menjawab pertanyaan ku
dengan ragu-ragu, “ Kurasa ada di ruang penyimpanan di kantor. Memangnya ingin kau apakan dengan
barang-barang gadis itu? Jika kau menjualnya maka kau akan terkena masalah
dengan hukum”.
Mendengar
jawaban dari pak tua itu sedikit menggilitik diriku, “Mana mungkin aku
melakukan hal itu. Hanya saja ada hal yang membuatku penasaran”.
“Penasaran?” tanya pak
Tempes pada ku.
“Iya, sepertinya gadis
itu berkesimpulan kalau pelaku dari kasus ini ada sangkut pautnya dengan kasus
yang terjadi di kota Est. Jadi ia pergi ke sana untuk melakukan penyelidikan,
dan aku penasaran apa yang telah ia temukan disana”.
“Hanya itu?” kata pak
Tempes yang kelihatan masih bingung.
Lalu
aku menjawab pertanyaannya itu dengan santai, “Iya hanya itu”.
Setelah
mendengar jawaban ku pak tua itu hanya bisa tertawa dengan sikapku yang selalu
mudah penasaran, hal itu mengingatkan nya pada masa lalu. Dan setelah itu pak
Tempes memberitahuku untuk pergi ke SMA 1 Zapad untuk melakukan investigasi.
Walau sebenarnya hal itu tidak perlu menurutku, tapi pak tua itu bersikeras.
Dan ia menyuruhku untuk membawa Qi kesana besok. Karena tidak bisa membantah
aku hanya bisa mengikuti pak tua ini.
Sesampainya
di kediaman pak Tempes, hari sudah sore dan langit sudah berwarna jingga. Burung-burung
terbang pulang ke sarang mereka dan rumah-rumah mulai menyalakan lampu mereka.
Saat masuk ke dalam rumah aku melihat Qi menemani Tifah membaca buku, dan
nampaknya mereka telah akrab. Kurasa itulah kelebihan Qi, ia bisa dengan mudah
berbaur dengan orang baru dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Aku
mengmbil handuk dari koper ku dan pergi untuk mandi. Tak perlu lama bagi ku,
aku sudah selesai melakukan mandi di sore itu. Ku lihat diriku di balik cermin
dan kulihat wajah ku yang nampak letih, rambut putih ku yang masih basah dan
mata biru yang seakan menatap balik diri ku dari balik cermin.
Selesai
dari kamar mandi buk Asri menyuruhku
untuk memanggil Qi dan Tifah di ruang baca untuk segera bergabung di meja
makan. Aku melakukan hal itu dan berjalan ke ruang baca lalu kupanggil mereka.
“Qi, Tifah waktunya
makan malam. Buk Asri menyuruh kita ke meja makan”.
Setelah
kupanggil begitu, Tifah menurunkan buku yang ia baca dan segera ke meja makan
duluan. Matanya menatap tajam melihat ku seaakan mewaspadai diriku. Sungguh
aneh sekali. Karena Qi tak jua beranjak dari sofa di ruang baca, aku
menghampirinya dan mengajaknya untuk segera ke meja makan. Qi nampak hanyut ke
dalam buku yang ia baca sehingga butuh waktu cukup lama ia menyadari
kedatanganku. Ia menutup buku yang dibacanya dan kami segera ke tempat semuanya
menunggu.
Menu
utama makan malam saat itu adalah ayam panggang dengan saus spesial buatan buk
Asri lalu ditemani dengan sup jamur. Kami semua menikmati makanan yang sangat
lezat itu dengan bahagia. Jarang sekali aku bisa makan malam bersama dengan
keluarga pak Tempes seperti ini, nostalgia rasanya. Selesai makan, kami semua
berpencar ke berbagai tempat. Buk Asri dan Qi sedang ada di dapur membereskan
piring-piring setelah makan malam, padahal buk Asri meminta melakukan itu
sendiri tapi Qi menolak ide itu dan membantu buk Asri. Mereka mengobrol sebentar,
tapi aku tidak tau apa yang mereka obrolkan tapi setelah buk Asri mengatakan
sesuatu kepada Qi, Qi nampak tersipu malu.
Sedangkan
pak Tempes ada di halaman belakang sedang menghisap rokoknya. Karena ia
satu-satunya orang yang merokok, ia selalu merokok di luar rumah. Dan Tifah ada
di dalam kamarnya. Dari apa yang pak Tempes ceritakan, setelah kematian dua
teman dekatnya Tifah selalu nampak murung dan ketika di rumah ia menghabiskan
waktu di dalam kamar. Karena tidak ada hal yang aku kerjakan, aku duduk santai
di sebuah sofa yang ada di ruang keluarga sambil berselancar di internet. Tidak
ada hal yang menarik perhatian ku saat itu, berita di internet kebanyakan
mengabarkan tentang ‘Angel’ yang semakin marak beredar. Ada artikel yang
membahas respon pemerintah untuk memberantas pengedaran obat terlarang
ini. Apapun respon yang diambil
pemerintah, aku hanya bisa berharap yang terbaik.
Malam
semakin larut dan mata ku mulai terasa berat dan aku hampir saja ketiduran di
sofa ini. Melihat hal itu, buk Asri menghampiriku dan meminta ku untuk segera
beristirahat. “Nak Nero, pergilah istirahat. Perjalanan dari kota Austral ke
kota Zapad memang melelahkan, jadi pergilah tidur di kamar”. Aku menerima usul
itu dan segera berdiri. Namun saat hendak meninggalkan ruangan buk Asri kembali
memanggilku.
“Nak Nero” buk Asri
diam sejenak dan ketika ia nampak telah memilih kata yang ingin di ucapkannya
buk Asri melanjutkan, “Berhubung tidak ada kamar lain lagi, jadi ibu minta nak
Nero untuk satu kamar dengan nak Rosa. Tidak apa-apa ya?”
Aku
sempat bingung untuk sesaat jadi kujawab saja, “Mmm aku tidak keberatan dengan
hal itu bu, tapi apakah Qi setuju dengan hal ini?”
“Nak Rosa tidak masalah
dengan hal ini nak Nero” kata buk Asri dengan tersenyum dan aku merasakan
adanya rasa senang dari buk Asri ketika mengatakan hal itu.
Aku
berjalan menuju lantai 2 karena mata ku sudah tak tahan lagi. Sesampainya di
depan kamar yang dimaksud aku mengetuk pintu kamar itu. Terdengar suara langkah
kaki dari balik pintu mendekat. Saat pintu terbuka ku lihat Qi sudah mengenakan
piyama miliknya. Dan saat kulangkahkan kaki ke dalam kamar, entah kenapa aku
malah merasa gugup. Tapi karena aku sudah sangat mengantuk aku menjelaskan
situasinya pada Qi.
“Baiklah Qi aku akan
tidur dibawah dan kau akan tidur di atas kasur”.
Mendengar
perkataan ku barusan Qi nampak bingung dan ia kembali bertanya, “Maksudnya kau
akan tidur dilantai, Nero?”
“Iya” kata ku.
“Itu tidak boleh.
Tubuhmu akan terasa pegal semua jika kau tidur dilantai”.
“Tapi Qi, kamar ini
hanya mempunyai satu buah kasur...”
“Jadi?” sambung Qi
dengan cepat. “Lagian..” tambahnya “kasur ini bisa untuk kita berdua” kata Qi
dengan suara yang pelan.
Walaupun
ia mengatakan hal itu dengan suara yang pelan namun aku masih bisa
mendengarnya. Aku bingung harus memberikan respon bagaimana. Dan saat kulihat
Qi, pipinya nampak merah karena mengatakan hal barusan. Jadi aku mengalah dan
menuruti kemauan Qi. Setelah mendengar keputusan ku itu, pipi Qi nampak lebih
merah dari sebelumnya.
Lampu
kamar sudah mati, dan kami berada di satu tempat tidur yang sama. Bukannya bisa
tidur dengan nyenyak malahan mata ku tidak bisa terpejam sama sekali. Karena
hal itu aku mencoba mengajak Qi untuk mengobrol, sesaat kupikir ia telah tidur
namun ia juga sama dengan ku.
“O ya Qi. Bolehkah aku
tau alasan mu untuk ikut dengan ku?”
Aku
memandang langit-langit kamar dan menunggu jawaban dari Qi. Kudengar suara dari
Qi jadi ku balikkan badan ke arah Qi. Ia juga menghadap ke arah ku, Qi menutupi
sedikit wajahnya dengan selimut dan berkata, “Alasanku ikut? Kurasa aku tidak tahu,
tetapi saat di rumah aku merasa kesepian. Itu karena semua orang disana
mempunyai sesuatu yang mereka kerjakan, misalnya kak Aster sekarang ia sedang
sibuk menulis sebuah lagu, dan Jasmine selalu saja sibuk. Jadi kupikir, kalau
aku ikut dengan mu aku tidak akan merasa kesepian. Lagipula entah kenapa saat
berdua dengan mu seperti ini, aku merasa sangat nyaman”.
Setelah
mengatakan hal itu, Qi sepenuhnya menutupi wajahnya dari ku. Dan di dalam hati
aku merasa aku harus mengatakan sesuatu di situasi seperni ini. Qi mulai
mengintip dari balik selimut dan dengan segera aku mengelus kepalanya dan
berkata, “A..aku juga merasakan hal yang sama Qi. Aku merasa senang dan nyaman
di saat kau ada di dekatku, bersama mu”.
Qi tersenyum manis mendengar perkataan ku dan
ia mulai menutup matanya. Begitu juga aku, mataku mulai terasa berat karena
rasa kantuk dan letih ini. Dan akhirnya kami tertidur. Namun malam itu, mimpi
buruk datang menghampiriku. Aku diperlihatkan kembali malam itu, api
dimana-mana, ayah ditusuk dan dibakar oleh orang-orang asing. Mereka meneriaki
‘penyihir putih’ dan aku di sembunyikan di
dalam lemari. Aku tak bisa meminta tolong, suaraku hilang entah kemana. Aku
merasa ketakutan dan seketika semua itu hilang dan yang kurasakan hanyalah belaian
yang sangat lembut. Aku mengingat kelembutan ini, ini adalah disaat ibu
mengelus kepala ku disaat aku kecil. Betapa rindunya aku dengan ini.
Cahaya
mentari memasuki kamar dan menyapa ku dengan kehangatanya. Aku terbangun dari
tidurku dan aku mendapati Qi memegang erat tangan ku. Dan aku teringat dengan
apa yang kurasakan di dalam mimpi dan aku menyadari itu karena Qi yang
nampaknya menenangkan diriku. Tak lama kemudian Qi bangun dari tidurnya dan aku
menyapanya. Nampaknya kami berdua tidur dengan nyenyak. Aku mengingatkan
kembali Qi untuk segera bersiap-siap karena hari ini kami harus pergi ke SMA 1
Zapad.
Tak
butuh waktu lama bagi kami untuk bersiap, kami berdua turun dari lantai dua
menuju ruang dapur karena buk Asri sudah menyiapkan sarapan. Ketika melihat
kami berdua pak tua itu mengejek ku dan buk Asri juga ikut melakukan hal itu.
Mereka berdua benar-benar puas mempermalukan aku pagi itu. Selesai sarapan, pak
Tempes mengajak kami untuk berangkat, namun aku teringat dengan Tifah apakah ia
tidak sekolah hari ini. Kutanyakan hal itu kepada pak Tempes dan ia mengatakan
kalau putrinya itu hari ini tidak ingin masuk ke sekolah. Pak Tempes tidak bisa
melakukan apa-apa akan hal itu dan membiarkan putrinya sembuh dari rasa sedihnya.
Butuh
waktu sekitar 15 menit dari kediaman pak Tempes dan kami sampai di SMA 1 Zapad.
Karena pak Tempes sudah membuat janji dengan kepala sekolah kami langsung di
antar keruangan beliau. Disana kami
bertemu dengan pak Gunawan, kepala sekolah SMA ini. Kami di persilahkan duduk
dan seorang petugas datang ke ruangan kepala sekolah dan meletakkan empat
cangkir teh.
“Seperti yang saya
jelaskan di dalam surat..” kata pak Tempes membuka pembicaraan. “Kami ingin melakukan
sedikit investigasi di sekolah bapak. Hal ini di karenakan adanya korban yang
berasal dari sekolah ini, jadi kami
ingin mengusut akar masalahnya”.
“Baiklah saya mengerti
pak Tempes, saya juga ingin masalah ini segera berakhir”.
“Terima kasih atas
kerja samanya pak Gunawan”.
Setelah
itu kami membagi investigasi ini menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
beranggotakan Qi dan pak Tempes akan menginvestigasi murid-murid terutama teman
sekelas dengan korban. Sedangkan aku akan mencoba menginvestigasi para guru dan
staf sekolah tentang pak Akil, korban yang dibunuh di gedung parkiran. Aku
memberi instruksi pada Qi untuk bersikap ramah pada murid-murid tanpa
menunjukkan adanya tanda introgasi pada mereka. Jadi aku mengusulkan Qi untuk
mengajak mereka berbicara santai, dengan begitu sedikit hal bisa mereka sembunyikan.
Aku
memulai introgasiku pada pihak pimpinan sekolah seperti kepala sekolah, dan
para wakil-wakil mereka. Hasilnya tidak ada yang berkaitan dengan alasan kenapa
guru kimia itu dibunuh. Setelah mengintrogasi pimpinan sekolah, aku mulai
mengintrogasi guru-guru yang mengenal pak Akil. Dan hasilnya ada satu yang
menarik.
“Jadi.. pak Tommy dari
apa yang saya dengar dari guru-guru yang lain, bapak adalah teman baiknya pak
Akil, apakah benar?” ku perhatikan raut wajah pak Tommy terlihat sedikit ada keraguan
darinya. Sepertinya ia masih gelisah apakah ia harus mengatakan hal yang ingin
dia katakan atau tidak. Dan hal yang harus kulakukan adalah sedikit
mendorongnya menceritakan hal apa pun yang ia sembunyikan. “Ini semua demi
kebaikan pak Akil, pak Tommy. Mungkin beliau tidak akan bisa tenang kalau
terus-terusan seperti ini”.
“Be... benar”. Wajahnya
yang ragu itu sedikit hilang, “ saya berteman dengan beliau sejak kuliah. Walau
beda jurusan, kami selalu nongkrong bersama. Ia adalah sosok yang berkemauan
keras dan mempunyai mimpi dan tekad yang kuat. Saya sangat mengagumi sifatnya
itu”. Pak Tommy mengambil nafas yang dalam kemudian melanjutkan ceritanya,
“setelah lulus dari kuliah kami mendaftar kerja di universitas yang sama, dan
bekerja sebagai dosen disana sampai kami berdua mempunyai keluarga
masing-masing. Istrinya adalah kenalan dari istri ku, jadi kami sekeluarga
sering melakukan merayakan acara bersama. Dan saat itu ia masih menjadi Akil
yang aku kenal saat kuliah. Namun saat istrinya jatuh sakit beberapa bulan
lalu, kurang lebih lima bulan yang lalu... atau enam bulan ya? Aku kurang ingat
dengan waktu pastinya. Dan sejak saat itu sifatnya agak berubah. Ia membutuhkan
uang untuk biaya perobatan istrinya. Tapi ia
malah berhenti menjadi dosen di universitas itu dan berkata ingin
beralih profesi menjadi guru biasa saja. Sungguh tindakan yang aneh jika dilhat
dari segi mana pun. Istrinya meminta ku untuk membantu dan mengawasi suaminya,
karena ia merasa kalau suaminya telah terlibat dengan sesuatu. Dan karena
permintaan istrinya aku juga ikut mengajar di sekolah ini. Namun tak berselang
lama setelah itu, istrinya wafat”.
Pak
Tommy mengambil air mineral yang telah disediakan di atas meja dan meminumnya
hingga setengah. Kemudian dilanjutkannya ceritanya, “Sejak hari itu, temanku
itu menyibukkan diri dengan sebuah penelitian. Aku tidak mengetahui apa-apa
tentang penelitiannya itu. Mungkin ia hanya ingin meluapkan kesedihannya dengan
cara seperti itu. Dan jika ku ingat-ingat ia tidak lagi melakukan penelitiannya
dalam 2 bulan ini”.
Aku
mencoba menggali lebih dalam tentang penelitian yang dilakukan korban, namun
sepertinya pak Tommy memang tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Setelah
selesai mengintrogasi pak Tommy aku melanjutkan introgasi pada guru-guru dan
staf yang lainnya. Seperti yang kuduga aku tak lagi menemukan informasi berguna
seperti informasi pak Tommy tadi. Hal ini menandakan betapa tertutupnya pak
Akil ini mengenai urusan, kehidupan, dan masa lalunya.
Bel
berbunyi panjang menandakan waktu istirahat bagi para siswa. Aku keluar dari
ruangan introgasi yang telah disediakan dan pergi menemui Qi. Kami berpapasan
di lorong dan memutuskan untuk pergi ke kantin. Berada di sekolah seperti ini
mengingatkan ku dengan masa-masa sekolah yang aku jalani. Setibanya di kantin
aku hanya membeli minuman kopi dari mesin minuman, dan Qi juga membeli minuman
yang sama.
“Jadi bagaimana
introgasi mu Qi? Apakah berjalan dengan lancar?” tanya ku pada Qi saat berjalan
menuju ruang introgasi yang kugunakan.
“Semua berjalan lancar
Nero. Seperti yang kau katakan, aku hanya mengajak mereka berbicara seperti
biasa”.
“Lalu bagaimana
hasilnya?”
“Aku mendapatkan
beberapa informasi. Seperti, ada salah satu teman nak Ansa ini yang mengatakan
kalau nak Ansa dan nak Arkam ini sebenarnya saling suka. Mereka hampir sering
menunjukkan keakraban yang mungkin melebihi teman biasa, dan bisa di bilang
keakraban di tingkat pasangan”. Pipinya Qi sedikit memerah karena
mengimajinsaikan hal tersebut. “ Lalu ada juga yang bilang kalau sebenarnya
Tifah juga suka dengan nak Arkam. Jadi seperti cinta segitiga. Dan ada rumor
yang beredar kalau Tifah sudah di tolak oleh Arkam”.
“Aku nampaknya
meremehkan kekuatan cinta di masa remaja ini”.
“Iya kau benar Nero.
Cinta adalah sebuah ikatan emosi antara seseorang yang kau sayang dan dirimu
yang lebih kuat dari ikatan pertemanan”.
Aku
memandang ke arah Qi dengan wajah tak percaya dan berkata, “Apa kau serius
mengatakan itu Qi?”
“Itu yang aku baca
kemarin”. Katanya dengan santai sambil mempercepat langkahnya.
“Sebenarnya
buku apa yang kau baca kemarin?” tanya ku pada Qi. Ia berbalik ke arahku sambil
tersenyum manis dan berkata.
“Aku tidak akan
bilang”.
Pak
Tempes menghampiri kami di ruangan introgasi dengan membawa kabar kalau hasil
otopsi para korban telah keluar. Jadi kami bergegas menuju ke kantor polisi. Tak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pihak sekolah atas kerja samanya
dalam introgasi ini. Dari SMA 1 Zapad membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai
ke kantor polisi, tetapi karena jalanan sangat padat siang itu, kami sampai di
kantor polisi dengan sedikit terlambat.
Begitu
sampai disana, pak Tempes mengarahkan kami untuk menunggu di kantornya
sedangkan ia pergi ke ruang otopsi dan menemui dokter Hasan, orang yang
mengotopsi tubuh para korban. Tak butuh lama pak Tempes dan juga dokter Hasan
masuk ke kantor pak Tempes dengan membawa berkas hasil otopsi. Beliau
menjelaskan kalau kelima korban dipastikan dibunuh dengan benda tajam. Pada
korban pertama, luka dapat ditemukan di perut kanan, dan di uluh hati. Hal itu
menyebabkan terkoyaknya hati dan ginjal kanan si korban. Lalu pada korban
kedua, luka tusukan dapat temukan di punggung sebelah kiri, luka tersebut melukai
organ vital korban dan menewaskannya tak lama kemudian. Dan untuk korban di
kasus ketiga, dokter Hasan memulai penjelasannya dari sang kepala keluarga.
Luka tusukan yang didapat si ayah terdapat pada tengkuk leher, dan leher bagian
depan bagian kerongkongan. Luka yang sama juga terdapat pada tubuh si ibu.
Sedangkan untuk putri mereka, terdapat 5 tusukan pada punggung, dan 6 tusukan
pada bagian perut, terdapat pula luka sayatan di wajah, kaki, dan tangan
korban.
Setelah
mendengar penjelasan dari dokter Hasan, aku melirik ke arah Qi, dan aku dapat
melihat raut wajah Qi yang ketakutan membayangkan betapa kejamnya si pelaku
melakukan hal itu pada anak berusia 16 tahun. Seakan ia mempunyai dendam
kusumat pada anak bernama Ansa ini. Yah semuanya sudah jelas sekarang, aku
tinggal melengkapi bagian puzle yang
hilang dan kasus ini selesai.
“Dokter Hasan...” kata
ku memanggil dokter itu dan aku bertanya padanya, “Apakah ada tanda-tanda kalau
korban telah diracun?”
Dokter
itu melirik ke arah ku dan kembali bertanya pada ku, “Darimana datang pemikiran
seperti itu detektif?”
“Dari bekas luka pada
korban pertama dan pada keluarga yang mejadi korban pembunuhan ini”.
“Oooh...” dokter itu
diam sejenak dan melihat kembali berkas yang ada di tangannya setelah itu ia berkata
lagi, “Bisakah kau menjelaskan lebih rinci tentang pemikiran itu, detektif”
nada bicara sekarang berubah menjadi sedikit mengintrogasi. Dan kujelaskan
semua yang ada dalam pikiran ku agar membuat dokter itu berhenti memainkan ku.
“Seperti yang aku bilang,
pemikiran ini muncul karena luka yang di dapat korban sangatlah aneh”.
“Aneh?” sahut dokter
itu.
“Ya aneh. Mari kita
lihat pada korban yang pertama. Korban kali ini adalah seorang laki-laki
berusia 16-17 tahun, dan luka tusukan terdapat pada badan bagian depan,
tepatnya pada perut sebelah kanan dan di uluh hati. Dan sudah pasti luka
tersebut di dapat si korban saat berhadapan dengan si pelaku. Namun jika aku
jadi pelaku maka aku tidak akan melakukan serangan dari depan seperti itu
karena persentase keberhasilannya yang rendah dan ada kemungkinan kalau si
korban dapat menghindari serangan tersebut, dan jika hal itu terjadi maka
pertarungan akan terjadi. Dan jika itu terjadi setidaknya si korban akan
mendapatkan beberapa luka lain seperti luka lebam dan luka kores, mengingat si
pelaku melancarkan aksinya dengan menggunakan benda tajam. Jadi hal yang paling
masuk akal adalah melumpuhkan korban lalu menghabisinya”.
“Masuk akal. Tapi
bagaimana cara si pelaku melumpuhkan si korban?” tanya dokter itu kepada ku.
“Ada 3 cara yang
terpikirkan oleh ku. Yaitu yang pertama dengan cara suntikan, tapi karena kita
tidak menemukan adanya bekas suntikan pada korban, maka bukan dengan cara
suntikan. Lalu yang kedua adalah dengan cara menyemprotkan gas beracun pada korban,
namun hal ini memiliki banyak celah seperti seberapa ampuhnya racun tersebut di
kondisi diluar ruangan, dan masih ada faktor yang harus diperhatikan seperti
arah angin dan lain-lain. Dan cara terakhir adalah dengan memasukkan racun
kedalam cairan dan memberikannya pada korban. Dan menurutku hal inilah yang
paling masuk akal jika aku menjadi si pelaku”.
“Tapi itu sedikit tidak
masuk akal, orang akan berpikir dua kali jika ingin meminum atau memakan
pemberian oleh orang asing” bantah dokter itu.
Dengan
santai aku kembali menjelaskan dan melirik ke arah pak Tempes, “Maka si pelaku
harus memenuhi syarat ‘ia harus kenal dengan si korban’. Jika syarat itu sudah
terpenuhi maka si pelaku bisa melancarkan aksinya”.
Keadaan
ruangan hening sejenak. Cukup lama setelah itu dokter Hasan kembali bertanya
padaku, “Lalu bagaimana dengan keluarga itu? Apakah menurutmu mereka juga
diracun?”
“Tidak semua, hanya si
ayah dan si ibu lah yang teracuni”.
“Dengan cara yang
sama?” kata dokter itu.
“menurutku begitu”.
Dokter
itu berdiri dan mengatakan akan kembali ke lab untuk memeriksa apakah yang aku
katakan benar apa adanya. Pintu kantor itu terbuka dan si dokter pergi dari
ruangan. Karena masih di kantor polisi aku kembali teringat dengan apa yang
kucari kemarin, yaitu hasil penyelidikan dari Ansa. Aku kembali meminta pak
Tempes untuk melihat barang bawaan yang di bawa gadis itu. Karena merasa tidak
bisa meladeni rasa penasaranku yang sangat besar pak Tempes akhirnya menyuruhku
untuk pergi ke ruang penyimpanan barang bukti. Dan karena penasaran juga, Qi
juga ikut dengan ku.
Kami
berjalan cukup jauh dari ruangan kantor pak Tempes menuju ruangan yang
dimaksudnya. Dan karena kantor polisi ini juga lumayan besar, akhirnya aku
memutuskan untuk meminta bantuan salah satu opsir yang kami temui saat
berjalan. Setelah mengantarkan kami ke ruangan penyimpanan, aku dan Qi segera
memasuki ruangan itu dan kami disambut oleh opsir polwan Rika. Aku menjelaskan
semuanya dan dengan segera ia mengambilkan apa yang aku minta. Rika memberikan
sebuah tas yang dimiliki korban pada saat ia ditemukan. Isi tas tersebut ada
senter, buku note, pena, dan botol air. Berarti ia benar-benar pergi ke kota
Est saat itu.
Karena
tidak ada hal yang menarik, aku mulai membaca buku note yang ia bawa. Kurang
lebih buku itu memiliki isi yang hampir sama dengan yang ada di dalam buku
harian milik gadis ini. Tetapi yang berbeda adalah terdapat catatan disaat ia
melakukan penyelidikan ini. Misalnya seperti :
-Berangkat
pukul 8.00 dan kereta terakhir ke kota Zapad pukul 17.30.
-Akan
mulai investigasi dari tempat ditemukannya mayat.
-Andre
adalah orang yang mengetahui seluk beluk gorong-gorong di kota Est.
-Terdapat
tulisan yang bertuliskan ‘Aku yang melakukannya’, dan ‘salah malaikat’ yang
ditulis dengan darah. Lokasinya berada pada 2.521839, 100.163610.
Sungguh tak sia-sia aku mengikuti rasa penasaran ku ini.
Aku memfoto bagian yang penting dari buku note ini dan mengembalikan buku itu.
Qi sedari tadi hanya melihat ku tanpa tau apa yang sedang aku lakukan. Dan saat
Qi bertanya tentang apa yang sedang aku lakukan, aku masih belum mau
memberitahunya. Hal itu membuat ia sedikit marah dengan ku. Pipi Qi akan
sedikit menggembung di saat ia marah dan itu sangat lucu sekali. Aku meredakan
amarah Qi dengan mengelus kepalanya.
Beberapa jam berlalu dan kami masih berada di kantor polisi
menunggu hasil lab dari dokter Hasan mengenai adanya penggunaan racun dalam
kasus ini seperti yang aku prediksi. Dan akhirnya dokter itu selesai
menganalisis sampel darah dari para korban dan hasilnya prediksi ku tepat. Di
dalam beberapa sampel darah korban ditemukannya senyawa beracun yang di
dagnosis dari tanaman beracun yang tumbuh disekitar pegunungan utara, bunga
Angelica Flos. Dan setelah diteliti lagi senyawa serupa juga di temukan di
dalam narkotika yang viral belakangan ini, ‘Angel’.
Lengkap sudah puzzle ini dan semua petunjuk mengarahkan
kami ke kemungkinan yang terburuk. Saat
kami keluar dari kantor polisi hari sudah memasuki waktu senja, dan karena hal
itu kami segera bergegas pulang. Begitu sampai di rumah saat Qi sedang membuka
pintu depan dengan tiba-tiba Tifah melompat ke arah Qi yang membuat nya kaget
dan hampir terjatuh ke belakang. Dan untungnya aku bisa menangkap mereka
sebelum mereka berdua terjatuh. Aku terkejut dengan perubahan sifat Tifah yang
mendadak ini, seperti ia sudah menjadi orang yang berbeda. Dan hal itu
dibuktikan dari tidak adanya tatapan putus asa yang beberapa hari ini aku lihat
dari Tifah. Pada saat pak Tempes menutup pintu rumah, aku memberikan kode
padanya yang langsung dipahami oleh pak Tempes. Lalu aku menyuruh Qi untuk
mandi terlebih dahulu dan ia segera bersiap untuk mandi. Sedangkan Tifah
kembali berlari dengan riang ke arah dapur menemui buk Asri yang nampaknya ada
di dapur. Kemudian aku dan pak Tempes masuk ke ruang kerja untuk mendiskusikan
sesuatu.
“Sayang sekali pak tua,
tetapi kartu yang kau lempar adalah benar”.
Pak tua itu terduduk lemas setelah mendengar perkataan ku.
Emosi bercampur aduk di dalam dirinya. Keputus-asaan, rasa kecewa, rasa sedih,
rasa kasihan, semua itu seperti bisa terbaca dari raut wajahnya. Wibawa yang ia
perlihatkan pada saat pertama kali bertemu dengan kami, hilang entah kemana.
Aku tak pernah menduga kalau pak tua Tempes serapuh ini. Aku memintanya untuk
menenangkan dirinya karena ia akan mengakhiri semua ini.
Pada saat makan malam, keadaan di meja makan tidak seperti
malam sebelumnya. Udara terasa menyesakkan dan sangat sulit untuk bernapas.
Ruagan ini terasa hening bahkan tak ada nyamuk yang ingin melewat. Ku alihkan
padangan kepada pak Tempes, memberinya kode untuk memulainya.
Dilihatnya ke arah putrinya dan pak tua itu bertanya,
“bagaimana kondisimu sekarang Tifah? Apakah sudah membaik?”
Putrinya
tak menyaut dan hanya sibuk memainkan makanannya dengan sendoknya. Pak Tempes
kembali bertanya pada Tifah dan lagi-lagi Tifah mengabaikan pertanyaan itu dan
malah menawarkan teh kepada pak Tempes dengan senyuman yang ramah. Namun
kesabaran pak Tempes sudah habis. Wajahnya yang tadinya tenang sekarang berubah
menjadi menakutkan. Ia membentak anaknya tersebut sambil mendorong teh yang
baru saja disajikan Tifah dengan berkata
“APA KAU KIRA AKU
BODOH? HA!!!”
Mendengar
suara sesuatu yang pecah membuat ku, Qi dan buk Asri reflek mundur menjauhi
meja makan. Dan setelah itu amarah pak Tempes semakin terbakar.
“Apa seperti itu kau
menghabisi teman-teman mu, dan keluarga itu? Dengan senyuman mu itu? Aku tak
percaya selama ini aku membesarkan seorang psikopat. aku harap aku tidak
memungut bayi wakt...” dengan cepat buk Asri menutup mulut suaminya itu.
Tifah
hanya tertunduk di kursinya, diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun
tanpa diduga Tifah berkata.
“Aku juga berharap kau
tidak memungut ku waktu itu, lebih baik kau tinggalkan bayi itu dijalanan dan
membiarkannya mati. Aku tidak membutuhkan belas kasihmu. Seperti yang di
katakan oleh ‘orang itu’ kau adalah pembohong”.
Dengan cepat tamparan melayang ke pipi Tifah, tapi bukan
pak Tempes yang menamparnya, dan bukan aku melainkan Qi. Qi merasa sangat kesal
jika melihat ada orang yang kurang ajar dengan orang tua.
“Perkataan mu itu sudah
kelewatan. Tidak pantas bagimu untuk berkata seperti itu kepada orang yang
membesarkanmu walaupun ia bukanlah orang tua kandung mu. Dan ini semua hanya karena
perasaan cinta monyet mu itu”.
Tifah memegangi pipinya yang merah akibat ditampar tadi dan
secara tiba-tiba ia tertawa dengan keras.
“Putri bangsawan yang
hidup enak sepertimu jangan banyak bicara. Dan kau bilang ini semua karena
urusan sepele seperti cinta. JANGAN BERCANDA BAJINGAN!! Kau hanya belum pernah
merasakan kehilangan sesuatu yang berharga dan seakan membuatmu hampir gila.
Ini semua karena gadis jalang itu yang mengambilnya dariku. Hatinya Arkam
sepenuhnya telah di kuasai oleh si sialan itu. Bahkan saat ia di dalam keadan
terakhirnya sekalipun ia tetap menolak ku. Itu semua karena gadis bajingan itu.
Dan sekarang ia telah mati, wajah putus asanya sungguh sangat menjijikkan hahah
HAHAHAHA”.
“Dan pada akhirnya
tinggal hanya kau sendiri Tifah”. Tifah melirik ke arahku yang memegang HP
dengan aplikasi perekam suara yang sedang terputar. “Kau ditahan atas tuduhan
pembunuhan berantai, dan pembunuhan terencana”.
Menyadari dirinya sedang di rekam, Tifah menerjang ke
arahku untuk merebut HP milikku. Namun dengan mudah aku melumpuhkannya dan
mengunci pergerakannya. Ia masih melakukan pemberontakan tapi itu semua sia-sia
karena perbedaan kekuatan kami. Setelah semua kembali tenang, pak Tempes
berniat membawa Tifah ke kantor polisi dan mengintrogasinya terkait dengan
‘orang itu’ yang di ucapkan Tifah. Aku berniat ikut mengantar Tifah tetapi aku
dan Qi diminta untuk menjaga rumah sedangkan buk Asri pergi ke kantor polisi.
Malam itu rumah ini terasa sangat sunyi. Suara jangkrik
terdengar di halaman rumah menyanyikan lagu kesedihan. Aku dan Qi berada di
kamar mencoba untuk beristirahat setelah kejadian itu. Qi nampak murung dan
seperti memikirkan sesuatu. Karena khawatir aku bertanya mengenai keadaanya.
“Kau tidak apa-apa
Qi?”. Tanya ku pada Qi yang sedang berbaring di kasur.
“Iya aku tidak apa-apa
Nero”.
“Baiklah kalau begitu”.
Sesaat keadaan terasa hening, dan kulihat Qi masih merasa
gelisah akan sesuatu. Qi bangun dari ksaur dan melihat sekejap ke arah ku yang
sedang duduk di sofa, lalu ia berjalan ke arah ku dan duduk di sampingku sambil
menyandarkan kepalanya di pundakku dan berkata, “Sejak kapan kau tau kalau
Tifah adalah pelakunya Nero?”
“Sejak dari awal aku
sudah mencurigai Tifah”.
“Sedari awal? Tapi
bagaimana bisa?” kata Qi dengan sedikit kaget.
“Mungkin saat pertama
kali bertemu dengan Tifah, aku langsung mengenali tatapan putus asa, dan
menyesal itu. Karena ia masih bocah, ia belum bisa menutupi rasa bersalah yang
begitu besar, tidak seperti pelaku yang selama ini aku kenal. Mereka sangat
hebat menghapus perasaan itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa”.
Qi memandang ku dengan perasaan kagum dan heran, lalu ia
berkata, “Hanya dari tatapannya kau bisa mengetahuinya. Itu sangat
mengagumkan”. Dengan cepat wajah kagum itu kembali berubah menjadi murung,
kemudian Qi kembali bertanya, “Menurutmu apa hal yang membuat Tifah melakukan
semua itu? Apakah hanya karena rasa cemburunya?”
“Kecemburuan dapat
membutakan seseorang Qi. Tapi semua itu tergantung dari kesehatan mental
seseorang itu juga. Kalau mentalnya masih sehat, kemungkinan besar orang itu
masih bisa berpikir jernih dan memikirkan tindakannya. Dan sebaliknya jika
mental orang itu sudah sakit, maka ia bisa melakukan apa saja”.
“Tapi Nero, Tifah hidup
di lingkungan masyarakat yang sehat dan keluarga yang harmonis, jadi sangat
tidak mungkin baginya untuk memiliki mental yang tidak baik”.
“Kau benar Qi. Maka
menurut pendapatku, Tifah sedang di hasut oleh seseorang”.
“Dihasut? Apa maksudmu
Nero?”
“Ada kemungkinan kalau
dalang sebenarnya dari kasus ini yang menghasut Tifah untuk melakukan
pembunuhan. Dan kemungkinan besar orang inilah yang memberikan racun kepada
Tifah”.
Mendengar penjelasn dari ku, Qi masih tidak percaya ada
orang yang sebegitu kejamnya melakukan itu pada anak-anak dan meminta mereka
untuk membunuh. Namun inilah kenyataan, manusia adalah makhluk yang mempunyai
dua sisi, mereka bisa menjadi sangat baik ibarat malaikat, atau mereka bisa
menjadi sangat kejam ibarat iblis.
Kupinta Qi untuk tidak terlalu memirkan hal itu dan
menyuruhnya uantuk beristirahat. Qi mengiyakan permintaan ku dan kembali ke
kasur. Dan sebenarnya aku juga masih memirkan satu hal mengenai kasus ini,
walau kami sudah mengungkap pembunuh dari anak-anak itu, tetapi pelaku
pembunuhan guru itu masih belum jelas. Selama kami tidak mengetahui penelitian
apa yang dikerjakan guru itu sebelum kematiannya, si pelaku juga akan sulit
ditemukan.
Karena kelelahan memikirkan hal tersebut aku malah
ketiduran di sofa ini. HP ku berdering menandakan ada yang memanggil, hal itu
membuat ku terbangun dari tidurku dan ku lihat Qi ada di sebelahku dengan
selimut yang menyelimuti kami. Hari sudah pagi dan ku lihat Qi masih tidur
dengan nyenyak. Karena tidak ingin membangun Qi, ku pindahkan ia ke kasur dan
kemudian aku keluar kamar untuk mengangkat telepon. Ternyata yang memanggil
adalah pak Termpes.
Aku menanyai kabarnya dan buk Asri yang nampaknya semalam
tidak pulang kerumah. Pak Tempes mengabari kalau istrinya dapat beristirahat di
kantornya, sedangkan ia terus melakukan introgasi pada Tifah yang pada saat itu
di diagnosa memakai narkotika Angel. Hal itu dapat menjelaskan perubahan
sikapnya malam itu. Pak Tempes juga menginformasikan putrinya itu ternyata
sudah satu minggu ini mengonsumsi obat-obatan itu. Dan ‘orang itu’ yang di
singgung Tifah kemarin malam adalah orang yang memberinya obat-obatan dan racun
itu. Namun Tifah tidak mengenal orang itu. Tifah hanya bercerita kalau ia
bertemu dengan orang itu di taman ketika ia telah sedang sedih karena telah di
tolak oleh Arkam. Dan pada saat itu Tifah sering menghubunginya, dan sayangnya
nomor itu telah tidak bisa di hubungi atau pun di lacak.
Aku berpikir betapa bagus langkah yang telah dilakukan si
pelaku ini, sehingga membuatnya sulit untuk dicari oleh kepolisian. Aku
bertanya kepada pak Tempes apakah polisi telah menyelidiki rumah dari pak Akil?
Dan ternyata rumah dari guru itu telah kosong. Menurut kesaksian tetangganya
barang-barang korban dipindahkan karena si korban ingin pindah rumah, dan hal
itu di lakukan di hari yang sama di saat guru ku itu terbunuh. Dengan kata
lain, alasan yang mengatakan kalau barang itu dipindahkan karena ingin pindah
rumah adalah kebohongan yang di buat si pelaku untuk mengamankan hasil
penelitian guru itu.
Dan akhirnya kasus ini belum sepenuhnya telah selesai. Aku
menutup telepon dari pak Tempes dan kembali masuk ke kamar. Qi sudah bangun
dari tidurnya, walau kesadarannya masih setengah yang baru kembali. Aku
menintanya untuk mandi terlebih dahulu sedangkan aku turun ke dapur untuk
memasak sarapan, karena pak Tempes dan buk Asri akan pulang.
Walau jarang kulakukan, sebenarnya aku bisa memasak. Hal
ini karena sebelum bertemu dengan Yu, aku harus memasak sendiri. Aku memasak
nasi goreng untuk menu sarapan kali ini. Aku mempersiapkan bahan-bahan yang
dibutuhkan, seperti bawang merah, bawang putih, daun bawang, bebera buah telur,
sambal dan daging ayam. Tanpa berlama-lama akupun memulai memasak. Pertama aku
memotong bawang merah, bawang putih, daun bawang, dan daging ayam yang kupotong
menjadi dadu. Ku pecahkan beberapa telur dan ku tuangkan di wadah, kutambahkan
sedikit penyedap rasa kemudian ku kocok telur itu. Setelah itu, kupanaskan
minyak kemudian ku goreng potongan ayam tadi menjadi sedikit kematangan. Lalu
setelah semua sudah siap, aku menuangkan potongan bawang merah, dan bawang
putih kedalam wajan dan memasaknya hingga sedikit kecokelatan. Setelah itu aku
menuangkan nasi dan sambal secukupnya dan mengaduknya hingga tercampur rata.
Kemudian tu tambahkan potongan ayam tadi kedalam nasi dan juga daun bawangnya.
Setelah masak, aku menyajikan nasi goreng itu ke dalam piring, kemudian aku
beralih ke telur. Kutuangkan adonan telur tadi ke dalam panci dengan keadaan
api kecil, setelah telur telah menyebar merata di permukaan panci, aku
menghancurkan bentuknya dengan mengaduknya secara perlahan demi mendapatkan
tekstur telur yang lembut. Lalu setelah bagian bawah telur telah masak dan
tidak mudah koyak, aku melipat telur menjadi dua dan mendapatkan telur dadar
yang lembut. Setelah itu ku letakkan telur diatas nasi goreng, dan sarapan
telah selesai.
Aku memasak untuk beberapa porsi dan sepertinya waktunya
sangat tepat karena pak Tempes dan istrinya telah sampai. Qi juga telah selesai
mandi, dan kami semua memulai hari itu dengan sarapan. Walau terasa ada yang
telah direnggut dari keluarga ini. Selesai sarapan aku menjelaskan kepada pak
Tempes untuk pamit. Aku menjelaskan kalau aku akan ke kota Est untuk melakukan
sesuatu. Pak Tempes berterima kasih karena telah membantunya megatasi
keraguannya. Karena sebenarnya ia sudah menduga kalau putrinya ada sangkut
pautnya dengan kasus ini sejak kematian nak Arkam, namun masih ada keraguan di
hatinya. Dan karena itu ia meminta bantuan ku. Dan aku juga berterima kasih
kepada keluarga ini untuk membantu dalam beberapa hari ini.
Setelah bersiap-siap kami pun berangkat pergi ke kota Est. Sesampainya
di stasiun dan saat di dalam kereta Qi bertanya padaku, “Nero apa yang ingin
kau lakukan di kota Est?”
Aku selesai mengirim pesan pada kenalanku di kota Est lalu
menjawab pertanyaan Qi, “Aku ingin membantu teman yang ada disana Qi.
Sepertinya dia sedang kebingungan”. Kataku dengan sedikit tersenyum.
Qi yang melihatku seperti bahagia malah kebingungan. Ia
berkata “Hmm, tingkah mu cukup mencurigakan Nero. Apakah kau akan bertemu
dengan mantan mu?” Tanya Qi kepada ku.
Aku yang kaget dengan pertanyaan Qi langsung membantah
pertanyaan tersebut. “Mantan darimana? Aku tidak pernah pacaran selama ini.
Siapa yang berkata aku punya mantan, Qi?”
“Hmm, begitu ya...
Rizky yang mengatakan kalau disaat sekolah kepolisian dulu, kau mempunyai
banyak mantan”.
“Dia itu...”
“Jadi apa yang ingin
kau lakukan di kota Est Nero?”
Aku menunjukkan foto buku note milik Khalita Ansa dan
menjelaskan tujuan ku. “ Aku ingin ke kota Est karena aku mendapatkan sesuatu
dari buku note gadis itu, kemungkinan besar ini adalah petunjuk yang akan
mengungkap dalang pembunuhan yang ada di kota Est, dan jika beruntung kita akan
menangkap sesuatu yang besar”.
“Jadi karena itu kau
ingin kesana ya Nero. Sepertinya menarik”. Kata Qi sambil terseyum.
Kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun kota Zapad.
Kereta melaju dengan cepat, dan waktu yang di butuhkan untuk sampai ke kota Est
hanya setengah jam. Dan tak terasa kami telah sampai di kota Est. Qi nampak
sangat senang karena ini adalah pertama kalinya ia mengunjugi kota Est. Qi
sangat bersemangat, ia mengajakku ke cafe yang sedang viral saat ini, Cafe
Libra. Cafe yang menyajikan sensasi nongkrong dengan ditemani dengan
kucing-kucing yang lucu. Lokasi itu menjadi spot incaran bagi anak muda dan
para pasangan. Walau bagi ku, konsep makan dan minum dengan bulu kucing yang
beterbangan di sekeliling mu adalah konsep yang sangat aneh, aku tetap menemani
Qi untuk kesana.
Sesampainya di sama kami benar-benar disambut oleh kawanan
kucing yang sangat menggemaskan. Aku melihat Qi sangat kegirangan sampai-sampai
memeluk gemas salah satu kucing yang ada disana. Kami duduk dan memesan minum.
Aku memesan Cooffe latte dan Qi memesan Milkshake cokelat. Selama menunggu
pesanan kami datang, tiga ekor kucing menghampiri kami. Masing-masing kucing di
sini memiliki kalung dengan nama mereka tertulis disana. Kucing yang pertama
menghampiri kami adalah kucing dengan corak orange dan putih yang memiliki nama
Khidir Kanabawi. Dan yang kedua adalah kucing dengan corak putih polos yang
mempunyai nama Khidir Karawita, lalu yang terakhir kucing dengan nama Sumbul
yang mempunyai corak warna abu-abu.
Kucing-kucing ini menghibur kami saat kami sedang menunggu
pesanan. Disaat minuman kami sampai, seseorang juga telah sampai, ia adalah
teman yang aku minta untuk datang. Orang itu menghampiri meja kami dan duduk di
kursi kosong yang ada di depan ku.
“Seleramu dalam memilih
tempat pertemuan sangat jelek Nero” katanya, di lihatnya Qi yang ada di
sebelahku dan ia bergumam “Hmm begitu rupanya. Kau ingin memamerkan pacar
barumu?”
Wajah Qi sedikit memerah mendengar perkataan orang itu, aku
meletakkan minumanku ke meja dan berkata, “Sayangnya perempuan ini bukanlah
pacarku. Ia adalah putri kedua dari keluarga Queen, Queen Rosa”.
“Ya, pantas saja aku
merasa tidak asing dengan wajahnya”.
Qi menundukkan kepalanya dan mulai memperkenalkan diri,
“Perkenalkan saya Queen Rosa, putri kedua dari keluarga Queen, dan tuan ini
adalah...”
“Aku Hector. Hector
wacth, salah satu opsir polisi yang bertugas di kota Est. Jadi kenapa kau
memanggilku saat aku bertugas Nero?”
“Aku menemukan petunjuk
tentang kasus pembunuhan yang terjadi di kota ini”.
Aku menjelaskan pada Hector mulai dari mana aku mendapatkan
petunjuk ini dan memaparkan petunjuk yang kutemukan. Namun raut wajahnya
menunjukkan rasa tidak yakin dengan petunjuk itu.
“Jadi pada intinya, kau
ingin mengatakan kau mendapatkan petunjuk ini dari seorang gadis yang secara
tidak sengaja menemukan petunjuk yang selama ini kami cari, begitu Nero?”
“Ya kira-kira begitu”.
“Jangan bercanda Nero”
kata Hector dengan raut wajah marah sambil memukul meja. Yang membuat pelanggan
di cafe itu melirik ke arah kami. Lalu dilanjutkannya, “Apa kau tau berapa
besar usaha yang aku keluarkan demi menyelesaikan kasus ini? Dan tiba-tiba kau
datang entah dari mana dan mengatakan kau mempunyai petunjuk untuk kasus ini”.
Hector berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan meja
kami dengan berkata, “Maaf Nero tapi aku tidak bisa membantumu”. Setelah itu ia
berjalan keluar dari cafe. Qi sedikit heran dengan sikap Hector barusan, jadi
Qi bertanya pada ku mengenai hubungan ku dengan Hector. Dan aku menjelaskan
semuanya.
“Pada saat di Sekolah
kepolisian aku, Rizky dan Hector adalah seorang sahabat. Kami selalu bersaing
dalam menggapai nomor satu. Namun persaingan menjadi semakin sulit bagi Hector
karena ia tidak mempunyai kekuatan fisik yang besar seperti Rizky. Jadi ia
mencoba mengandalkan kemampuan otaknya untuk bersaing, namun ia merasa tidak
mungkin bisa mengalahkan ku di bidang itu. Jadi semenjak itu hubungan kami dengan
Hector mulai merenggang. Dan kenapa ia bertingkah seperti itu, mungkin karena
ia kelelahan dalam menuntaskan kasus ini. Aku tidak ada niatan untuk
merendahkannya, aku jujur ingin membantunya”.
“Aku tau niat mu baik
Nero. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat”.
“kau benar Qi, mungkin
aku memanggilnya di waktu yang salah”.
Selesai menghabiskan minuman dan bermain dengan kucing di
cafe itu, aku memutuskan untuk pergi hotel untuk beristirahat. Tetapi sebelum
aku memanggil taxi, Qi mengatakan pada ku bahwa adiknya saat ini ada di kota
Est. Karena saat di cafe tadi, Qi sempat mengunggah foto ia bersama dengan
kucing disana. Adiknya yang mengenali tempat itu langsung mengirimi pesan pada
Qi dan memintanya untuk menginap di rumahnya.
Aku sedikit terkejut karena seingatku adik Qi saat ini baru
berusia 16 tahun, dan ia sudah bisa mempunyai rumah sendiri? Aku menanyakan hal
itu pada Qi dan ia menjelaskan bahwa adiknya itu sangat jenius. Bahkan karena
kejeniusannya itu ia bisa melangkap sekolah dan sekarang sedang berkuliah di
universitas ternama di usia semuda itu. Bahkan sekarang ia sedang menjalankan
usaha jual beli properti.
Tanpa berlama-lama kami segera menuju ke lokasi adiknya Qi.
Ia mengirimkan sebuah lokasi pada Qi dan kami meminta taxi untuk pergi ke
tempat itu. Sekitar 17 menit kami sampai di sebuah mansion besar. Lokasinya
agak jauh dari perkotaan dan suasana mansion ini sangat teduh. Pohon-pohon yang
rindang menyejukkan suasana di halaman depan dan terdapat air mancur berukuran
sedang disana. Kami memenekan bel yang ada di sebelah pintu dan seketika suara
bel itu menggema ke dalam mansion tersebut. Tak berselang lama seorang perempuan
dengan pakaian maid membukakan pintu depan sambil menundukkan kepalanya dan
menyambut kami masuk.
Begitu masuk mansion ini, aku sangat terpesona dengan
interior ruangan yang ada disini. Mulai dari dekorasi, pajangan, serta lampunya
nampak mewah. Entah berapa banyak uang yang dikeluarkan adiknya Qi untuk
mansion ini, tetapi yang pasti ini semua sangatlah menakjubkan. Lalu dari
lantai dua nampak seorang gadis dengan rambung pirang dengan mengenakan gaun
putih menuruni tangga. Gadis itu menuruni tangga dengan ditemani oleh seorang
butler dengan paras tampan.
Setelah sampai di bawah, gadis itu dengan cepat berlari ke
arah Qi sambil berteriak “kakak” dan memeluk Qi. Aku melihat itu sambil
tersenyum karena jarang sekali aku melihat hal yang begitu menghangatkan
seperti ini. Setelah selesai berpelukan, Qi mulai mengenalkan ku pada adiknya.
“Jasmine, perkenalkan
ini adalah teman kakak dari kepolisian, namanya Kingsla Albanero. Dan Nero,
perkenalkan ini adalah adikku putri ketiga dari keluarga Queen, Queen Jasmin”.
“Senang berkenalan
dengan mu Jasmine. Sebenarnya namaku Albanero kau tidak perlu repot menyebutkan
gelar itu, panggil saja aku Nero” kata ku dengan sedikit membukkan badan.
Jasmine berjalan sedikit ke arahku, karena tubuhnya kecil
ia menjinjitkan kakinya dan entah darimana ia menamparku, walau tamparan itu
tidak berasa sama sekali. Qi sangat kaget melihat hal itu dan dengan sontak
menjauhkan Jasmine dari ku. Sedangkan Jasmin terus memberontak dan mengoceh, ia
berkata.
“Lepaskan kak, aku
ingin memberi pelajaran pada orang yang menculikmu. Lepaskan aku”.
Qi menangkap kedua tangan Jasmine lalu memegangnya dengan kuat
sambil menatap mata adiknya itu dengan wajah yang sedikit menakutkan, Qi
berkata “Aku tidak sedang diculik atau ditawan oleh siapapun. Kalau kau
membicarakan tentang insiden yang lalu, itu terjadi karena kecerobohanku
sendiri yang tidak hati-hati dan akhirnya diculik. Sedangkan Nero lah yang
menyelamatkan ku. Apa kau paham adikku Jasmin”.
Jasmin mengangguk, mengiyakan pertanyaan Qi. Lalu Qi
meminta adiknya untuk meminta maaf padaku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu
sama sekali. Dan aku bisa melihat sesuatu yang sangat langka, dan baru
menyadari selama ini aku tak pernah melihat Qi marah dan baru tahu kalau ia
marah bakalan semenakutkan itu.
Kami pindah ke ruang tamu untuk berbincang-bincang. Jasmin
bertanya tentang urusan apa yang kami lakukan di kota Est dan aku menjelaskan
maksud kedatangan kami kemari. Mendengar penjelasanku Jasmin ikut bersemangat.
Ia meminta ikut dalam penyelidikan yang akan ku lakukan besok namun langsung
ditolak oleh Qi. Aku juga mengatakan pada Qi kalau besok ia juga tidak akan
ikut dalam investigasi. Mendengar berita itu, Qi nampak murung dan tidak
bersemangat. Aku menjelaskan pada mereka berdua kalau aku berencana pergi ke
lokasi yang ditandai oleh Ansa di buku Notenya. Jasmin berpikir sejenak dan
setelah itu ia memerintahkan butlernya, Sebastian untuk ikut bersama ku besok.
Aku tidak keberatan dengan hal itu, begitu juga dengan Sebastian yang ada di
belakang Jasmin.
Sebastian mengantarkan ku ke kamar tamu sedangkan Qi dan
Jasmin sedang melepas rindu sambil jalan-jalan di taman yang ada di belakang
mansion. Setelah membantuku membawakan koperku Sebastian membungkukkan badannya
dan meminta maaf atas apa yang di lakukan Jasmin tadi.
“Saya meminta maaf atas
apa yang dilakukan oleh nona Jasmin, tuan Nero”.
“Tidak apa-apa
Sebastian. Aku juga sudah melupakan kejadian tadi”.
“Terima kasih tuan
Nero. Terkadang nona Jasmin suka bertindak semaunya, tapi itu semua karena ia
sangat menyayangi nona Rosa”.
“Ya, aku mengerti
kekhawatiranya terhadap Qi. Jika aku juga mempunyai saudara, dan mendengar
berita kalau saudaraku diculik, aku juga akan menghajar penculik itu”.
Sebastian tersenyum mendengar pekataan ku, lalu ia berkata,
“Mohon bantuannya untuk besok tuan Nero. Mungkin saya tidak berpengalaman jadi
mohon bantuannya”.
“Ya, aku juga mohon
bantuan mu Sebastian”.
Sebastian keluar dari kamar dan aku merebahkkan diriku di
atas kasur ini. Aku merenungkan bagaimana kasus ini bisa terjadi, apakah masih
ada sangku pautnya dengan ‘malaikat’ ini? Kemungkinan-kemungkinan itu terus
keluar dari kepalaku. Aku melihat ja dari HP ku dan ternyata waktu masih pukul
13:00. Karena punya waktu kosong jadi aku mengambil buku novelku yang sengaja
ku bawa. Aku melanjutkan membaca dari bagian sebelumnya. Belum sempat membaca
setengah halaman, Qi menerobos masuk bersama Jasmin ke dalam kamar ku. Mereka
berlari-larian di dalam kamar, seperti sedang bermain kejar-kejaran. Aku yang
baru saja mendapatkan waktu yang bagus untuk bersantai sekarang waktu itu
hilang.
Sebastian kembali ke kamarku mengabarkan kalau makan siang
sudah siap. Qi dan Jasmin yang mendengar itu berhenti berlarian dan keluar dari
kamar ini. Qi menoleh ke arahku dan mengajakku untuk makan siang bersama. Aku
berdiri dari kasur dan pergi bersama dengan Qi menuju meja makan. Setelah makan
siang, hari itu terasa sangat damai, Qi dan Jasmin tertidur karena kelelahan.
Dari wajah mereka terlihat sangat bahagia walau sedang tidur. Karena Jasmin
sedang berkuliah ia sangat jarang bisa menemui kakaknya itu, sedangkan Qi
diminta untuk membantu di perusahaan keluarganya. Dari sisa hari itu aku
habiskan untuk menamatkan novel ini hingga malam hari dan akhirnya aku berhasil
menamatkan novel Agatha Christie ini.
Keesokan harinya, pukul 9 pagi, aku dan Sebastian
bersiap-siap untuk pergi melakukan investigasi. Kami berhenti di sebuah resto
yang menyediakan Egg Benedict sebagai menu sarapan, resto Erina. Restoran ini
terletak di dekat pusat perbelanjaan, yang menjadikannya tempat yang sangat
ideal. Banyak orang-orang menikmati sarapan di tempat ini. Dan harus kuakui egg
benedict yang mereka sajikan benar-benar nikmat. Selesai menyantap sarapan aku
mulai menjelaskan rencana ku pada Sebastian.
“Sebelumnya terima
kasih karena telah mau membantuku dalam penyelidikan ini Sebastian. Berkat
adanya dirimu aku bisa menyingkat waktu penyelidikan ini”.
“Menyingkat waktu? Apa
maksudnya itu tuan Nero?”
“Aku ingin kau mengikuti
orang bernama Andre dari pelayanan publik. Karena besar kemungkinan ia ada
kaitannya dengan kasus ini, sedangkan aku akan pergi ke lokasi yang
diberitahukan gadis kecil ini”.
“Apa Cuma itu saja yang
harus kulakukan?”
“Untuk lebih jelasnya nanti
akan kuberi tahu pada mu. Sekarang kita harus berangkat ke kantor pelayanan
publik”.
“Baiklah, aku mengerti
tuan Nero”.
Kami pergi ke kantor pelayanan publik yang tak jauh dari
lokasi kami saat ini. Pelayanan publik adalah orang-orang yang bertugas untuk
membangun, merawat, dan memperbaiki fasilitas yang ada di kota. Pada umumnya
pelayanan publik mempunyai banyak divisi, dan divisi yang ingin kami kunjungi
adalah divisi air kota. Mereka yang bertanggung jawab atas air bersih, air
limbah, dan sebagainya di kota ini.
Kami sampai di kantor pelayanan publik, dan meminta
Sebastian untuk masuk dan membuat permintaan, sedangkan aku menunggu di mobil.
Tak berselang lama Sebastian masuk bersama orang dari pelayanan publik. Aku
menyerahkan kemudi pada Sebastian dan memulai introgasi.
Aku memulai investigasi dari pertanyaan basa-basi untuk
memulai pembicaraan, “Bang Taufik, sudah lama kerja di pelayanan publik?”
“Saya bekerja sudah
cukup lama bang, kira-kira sekitar 3 tahun”.
“Wah, sudah cukup lama
juga ya bang?” aku memperhatikan ekspresi lawan bicara ku, tidak ada keraguan
ataupun kewaspadaan, ia bersikap normal. Lalu kulanjutkan pembicaraan, “Kalau
sudah selama itu bekerja itu, apakah bang Taufik sudah tahu seluk beluk jalur
air di kota Est ini?”
“Tidak sama sekali”
katanya dengan spontan “Bagaimana ya... bisa dibilang jalur air pembuangan atau
gorong-gorong kota ini sangatlah sulit, semacam labirin. Menurut cerita yang
saya dengar, dahulu gorong-gorong kota ini digunakan sebagai labirin untuk
menjebak musuh di zaman perang. Yah, walau itu hanya sekedar cerita dari orang
tua, tapi setelah melihatnya saya jadi percaya”.
“Apakah di divisi air
kota ada orang yang hafal dengan jalur air itu bang Taufik?”
“Ada satu orang, ia
adalah kepala divisi, pak Andre. Saya sangat menghormati orang itu. Walau anda
pergi ke sana dengan memakai peta, anda akan tetap tersesat, namun hal itu
berbeda bagi pak Andre. Ia bisa tahu seluruh jalur walau dengan mata tertutup”.
“Hebatnya, aku jadi
ingin bertemu dengan beliau”. Didalam hati aku tau kalau bang Taufik telah
diperdaya. Walau aku tidak punya bukti untuk membuktikan hal itu.
Karena Andre yang sedang kuselidiki mempunyai jabatan di
pelayan publik, jadi tidak sulit untuk mengetahui orangnya. Aku tinggal membuka
website pelayanan publik dan melihat fotonya disana. Aku mengirimkan fotonya
pada Sebastian, dan memberikan arahan untuk menurunkan ku di lokasi penemuan
mayat sebelumnya yang terletak tak jauh dari distrik hiburan sedangkan
Sebastian kuminta untuk menyelidiki Andre. Dan dari informasi yang ku terima
dari bang Taufik pada jam makan siang Andre akan ada di resto Erina sampai ia
kembali ke kantor pelayanan publik. Dan kami berpisah melakukan hal yang kami
lakukan.
Aku masuk ke dalam gorong-gorong itu yang kebetulan sedang
di jaga oleh dua petugas kepolisian, aku menjelaskan situasinya dan mereka
memperbolehkan aku masuk. Saat berjalan menuju lokasi aku bertanya pada bang
Taufik tentang bagaimana perangai dari Andre ini. Dan bang Taufik menjelaskan
kalau Andre adalah orang yang bertanggung jawab dan keras, ia keras pada diri
sendiri dan kepada bawahannya. Namun belakangan ini, Andre yang ia kenal saat
ini sedikit mulai berubah. Hal itu dirasakan oleh bang Taufik selaku bawahan
dari Andre saat sahabat dari Andre dinyatakan menghilang selama sebulan.
Atasannya itu nampak depresi dan tertekan, apalagi dikabarkan kalau sahabatnya
itu ditemukan tewas. Dan sejak saat itu watak Andre berubah total, seperti ia
bukanlah dirinya lagi.
Lalu aku kembali bertanya pada bang Taufik, mengenai apakah
ada kemungkinan kalau Andre adalah pelaku dari kasus pembunuhan ini. sekilas
nampak keraguan dari wajah bang Taufik, ia tidak yakin kalau itu bisa terjadi.
Perasaan kagum dari seseorang terkadang membutakan kenyataan dari orang yang
dikagumi, tetapi kalau itu yang diyakini oleh bang taufik, maka aku
menghormatinya.
Disepanjang
perjanan bang Taufik telah banyak bercerita yang membuatku semakin yakin.
Begitu sampai di lokasi yang dimaksud dari buku note Khalita Ansa, wajah dari
bang Taufik nampak terkejut dan tak menyangka dengan apa yang ia lihat. Aku
membalikkan badan dan bertanya pada bang Taufik.
“Bang Taufik, bisakah
kau menceritakan semua yang kau ketahui pada ku?”
Malam
harinya aku merebahkan badan setelah melakukan investigasi tadi siang. Aku
telah menerima informasi dari bang Taufik, dan juga dari Sebastian yang
melakukan penyelidikan pada Andre, dan Sebastian mengabari kalau Andre sempat
berbicara dengan orang yang memakai hoodie hitam dan masker disebuah gang di
distrik hiburan. Sebuah informasi yang sangat berharga.
Qi
mengetuk pintu kamar dan aku mengizinkannya masuk, aku merubah posisiku dengan
duduk di kasur. Qi datang untuk memastikan bagaimana dengan investigasi ku hari
ini. Aku menjelaskan pada Qi kalau investigasi hari ini berjalan dengan lancar,
aku hanya tinggal melakukan eksekusi besok dan kemungkinan kasus ini selesai.
Tetapi karena kasus ini juga melibatkan narkotika ‘Angel’ yang ku temukan di
lokasi yang ditandai gadis itu, aku menjadi kurang yakin akan tuntasnya kasus
ini sepenuhnya.
Jarang
sekali aku menjadi ragu seperti ini. Qi yang menatapku dengan serius duduk di
sebelahku dan meletakkan kepala ku di pahanya. Aku sedikit kaget dengan apa
yang dilakukan Qi, tetapi ia juga nampak malu, pipinya sedikit memerah dan
begitu juga aku. Di elusnya kepalaku sambil berkata dengan lembut.
“Kau sudah berjuang
sekuat tenaga Nero. Kau boleh ragu, semua orang pernah ragu. Tetapi, keraguan
tidak cocok untuk mu. Dari pertama kali aku bertemu dengan mu di pesta malam
itu. Aku langsung menyukai mata tanpa keraguan itu. Sudah beberapa kali kau
menyelamatkan aku, kau lah pahlawanku, dan kaulah orang yang aku cinta”.
Qi berhenti bicara, wajahnya merah padam karena malu. Ia
memejamkan matanya, menyembunyikan mata cokelat terang itu dari ku. Aku bangun
dari pangkuan Qi dan memeluk dirinya sambil mengelus kepalanya dan membalas
perasaanya.
“Aku tak menduga kalau
kau yang mengatakan itu pertama kali Qi, padahal aku ingin menjadi yang pertama
mengatakan itu. Tapi semua itu tidaklah penting karena, aku juga mencintaimu”.
“A..Apa itu benar Nero?
A..apa kau benar-benar mencintaiku?”
“Tentu saja Qi, aku
akan selalu mencintaimu”.
Wajah Qi nampak sangat bahagia. “O ya...” katanya, “maukah
kau membuat janji pada ku Nero?”
“Janji apa?”
Diangkatnya jari kelingkingnya dan Qi berkata “Berjanjilah
pada ku, kalau kita tidak akan meninggalkan satu sama lain. Aku akan menjaga
mu, dan kau akan menjaga ku”.
“Baiklah. Aku berjanji
untuk tidak akan meninggalkan mu, dan akan selalu menjaga mu, dengan hidup ku” Sambil
melingkarkan jari kelingkingku pada jari Qi dan membuat janji. “Terima kasih
Qi, karena telah menenangkan ku, berkatmu aku bisa meyakinkan diriku”.
Qi mengangguk dan tersenyum manis padaku, dan tinggal satu
hal yang harus aku lakukan untuk kasus ini. Aku akan memanggil dia dan tak
perlu waktu lama dia menjawab panggilan ku.
Siang, pukul 13:00, orang-orang memenuhi resto Erina. Sudah
waktunya untuk makan siang dan orang-orang menyantap menu makan siang di tempat
itu. Menu andalannya adalah Robo de toro, sebuah sup buntut kerbau yang
disantap dengan kentang goreng. Biasanya ditemani dengan wine sebagai
pelengkap. Aku mencari tempat duduk yang kosong untuk menikmati hidangan ini,
dan menemukan tempat yang kosong di dekat jendela, tanpa berlama-lama aku
kesana. Karena padatnya resto ini di waktu makan siang ini aku harus berbagi meja
dengan orang berkulit sawo matang, dengan badan yang tegap yang mengenakan baju
dari pelayanan publik dengan tag nama bertuliskan Andre di dada kanan bajunya.
“Maaf ya pak, saya
duduk disni. Saya tidak mengganggu kan?”
“Tidak sama sekali.
Waktu makan siang selalu ramai disini”.
“Yah, tidak heran.
Hidangan ini sangatlah nikmat” kata ku sambil memakan robo de toro ini.
Andre juga menyantap makan siangnya dengan lahap. Ia
mengambil segelas wine dan meminumnya dengan puas. Aku mengamatinya dan melihat
ada yang sedikit aneh dari sikapnya. Aku bertanya padanya untuk mengamati
tindakannya.
“Apa kau tau
obat-obatan Angel, pak Andre?”
“Ya, aku tau. Itu
narkotika yang sedang viral itukan? Mau di televisi, koran, atau di internet
kabar mengenai obat-obatan itu terus saja diperbincangkan”.
“Kau benar. Dan setelah
melihatnya sekali, aku bisa langsung tahu kondisi orang yang menggunakannya”.
“B..Begitu... ya”.
Wajahnya sedikit pucat, dan keringat mulai mengucur dari
keningnya. Aku mulai menekannya untuk melihat kembali reaksinya.
“Aku bercanda. Aku
tidak pernah melihat pengguna angel selama ini”. wajahnya kembali tenang, dan
tebakanku benar. “Tapi, aku tau apa yang telah kau perbuat atas dua teman mu”.
Wajahnya mulai ketakutan dan ketenangannya mulai hilang, ia
membantah perkataan ku dan berkata “Apa maksudmu? Kau tidak mengetahui apapun
tentangku dan mulai bertindak kurang ajar dan menuduhku membunuh sahabatku?”
“Aku tidak pernah
menuduhmu membunuh temanmu pak Andre”. Ia menyadari kalau ia telah keceplosan,
aku memanfaatkannya, “Aku telah menyelidiki kegiatan mu dalam dua bulan
terakhir. Dan aku menemukan dana tak bersumber yang masuk ke rekeningmu. Selain
itu aku juga menemukan beberapa paket narkotika Angel di gorong-gorong, tempat
kau menyiksa kedua temanmu itu”.
“Bagaimana kau tau
tempat itu?” tanya Andre dengan panik.
Aku tersenyum padanya dan menjawab pertanyaannya,
“Kesalahan terbesarmu adalah membiarkan gadis kecil itu memasuki gorong-gorong
itu. Dan tanpa ia sengaja ia menemukan tempat yang mencurigakan, lalu menandai
lokasinya di buku notenya. Sedangkan aku hanya mengikuti rasa ingin tahu ku,
dan benar sesuai dugaan ku”.
“Kau tidak punya bukti
kalau aku pelaku dari semua ini, lagi pula bisa saja paket narkotika itu bukan
punya ku” katanya dengan sedikit mengancam ku untuk membantah tuduhan yang aku
utarakan.
“kau benar, bisa saja
barang itu bukanlah punya mu. Tapi, akan lain ceritanya jika kau bukanlah
pemilik, melainkan orang yang medistribusikan obat-obatan itu. Jadi pada
dasarnya, bos mu, orang yang memiliki obat-obatan ini bekerja sama dengan mu
dan kau adalah orang yangbertugas untuk mengedarkannya. Namun kedua sahabatmu
itu menyadari perbuatan mu. Karena tidak ingin ketahuan kau menangkap mereka.
Kau mencoba untuk meyakinkan mereka dan mengajak mereka untuk bekerja sama,
tetapi mereka menolak. Dan akhirnya kau membunuh mereka...”
“BUKAN!!...” teriak
andre memotong perkataanku. Dengan wajah panik dan ketakutan, ia berbicara “Bukan
aku yang membunuh mereka. Aku hanya di tugaskan untuk menjebak mereka masuk
kedalam gorong-gorong dan membuat mereka tak sadarkan diri. Orang itu, orang
itu mengatakan padaku untuk membunuh mereka. Tetapi aku tidak bisa
melakukannya, mereka adalah sahabat ku. Tetapi si bajingan itu menyuntikkan ku
obat itu dan memaksa ku melakukannya. Percayalah, aku tidak ingin melakukan
semua ini, aku terpaksa”.
Air mata jatuh, dan Andre menangis menyesali
atas apa yang ia lakukan. Aku tidak merasakan kebohongan dari perkataan dan
tindakannya.
“Beritahu aku, siapa
‘orang itu’?”
Andre menatapku dengan serius, tatapan itu penuh harap.
“Dia... namanya adalah G...”
Seketika kepala Andre pecah, otaknya berhamburan keluar dan
darah melompat kesana kemari. Aku terkejut melihatnya dan langsung melihat ke
arah jendela. Jelas sekali ada orang yang mengintai kami. Polisi yang menyamar
sebagai pelanggan langsung bergegas bertindak mengikuti arahan Hector. Tak
berselang lama Hector menghampiriku dan meminta maaf pada ku.
“Maaf Nero, kami tidak
dapat melacak si penembak jitu. Padahal aku sudah mengerahkan anggota untuk
mengawasi area 1 kilometer dari lokasi ini”.
“Tidak apa-apa Hector,
aku juga tidak menduga hal ini. dan terima kasih karena telah membantu ku”.
“Ya. Sama-sama. Kalau
begitu aku akan kembali mengumpulkan informasi dari anggota ku, dan sebaiknya
kau memcuci wajahmu Nero. Rambutmu berubah jadi merah karena terkena darah”.
Hector berjalan keluar dari resto mencari si penembak jitu
dan aku masih duduk di tempat yang sama. Resto ini menjadi sunyi, hanya aku
sendiri yang ada di dalamnya. Aku kepikiran akan sesuatu dan mencari sesuatu
dari badan korban. Dan tebakan ku benar, terdapat alat pelacak di kerah baju
korban. Seketika HP yang dibawa Andre berdering dan nomor yang memanggil tidak
diketahui. Aku menjawab telepon tersebut dan mendengar suara dari si penelopon.
“Senang bertemu dengan
mu detektif. Atau kupanggil saja penyihir putih”. Seketika amarah memuncak
karena tingkah orang ini. ia melanjutkan, “Bagaimana pertunjukan barusan? Itu
adalah balasanku karena kau telah mengambil paket obat itu”.
“Jadi kau orang yang
memanipulasi Andre dan Adikku Tifah?”
“Oooh maksud mu gadis
bodoh itu? Dia benar-benar bodoh sampai mau mengikuti perintahku layaknya
anjing. Dan itu semua karena cintanya di tolak, hahahaha. Sangat lucu sekali”.
“Apa yang kau lakukan
pada barang-barang guru itu?”
“Maksudmu, si tua Akil?
Aku hanya mengambil pesanan ku dan barang-barang yang lainnya aku tidak tau
menau”.
“Pesanan apa maksud
mu?”
“Aku tidak akan
memberitahukannya pada mu, lagi pula tidak akan seru kalau semuanya kau
ketahui”.
“Yah terserah.
Setidaknya hari ini kau telah melakukan kesalahan dengan tidak membunuhku”.
Orang itu tertawa sejenak dan berkata, “Aku bisa saja
membunuhmu kapan saja penyihir putih. Tetapi hal itu tidaklah akan menarik
lagi”.
“Aku akan membunuhmu
kalau kau memanggil ku dengan sebutan itu”.
“Coba saja, penyihir
putih”.
Teleponnya mati dan sepertinya melacaknya dari sim card
juga percuma. Aku pergi ke kamar mandi dan mencuci wajah dan rambutku yang
terkena darah. Kemarahan ku masih belum mereda akibat dari orang itu
sampai-sampai aku memecahkan cermin di kamar mandi dengan meninjunya. Aku pasti
akan menghajar si bajingan itu.
Aku pulang ke tempat Qi dan berpamitan pada Jasmin dan
Sebastian yang telah mengizinkan aku tinggal disini untuk beberapa waktu. Aku
dan Qi pulang ke kota Austral. Malam di hiasi dengan cahaya rembulan, kereta
yang kami naiki melaju dengan cepat, dan Qi tidur nyenyak di sampingku. Tetapi
aku masih kepikiran apakah aku bisa menjaga Qi dari segala ancaman yang
ditujukan pada ku. Qi pasti akan terseret ke dalam masalahku, kecuali...
kecuali aku melakukan ‘itu’. Tapi untuk sekarang aku tidak perlu memikirkan hal
itu, yang harus aku lakukan adalah mengantarkan Qi dengan selamat sampai ke
rumahnya. Dan untuk pertama kalinya kasus yang aku tangani tidaklah selesai
sepenuhnya
--Bersambung--











Komentar
Posting Komentar