THE LIGHTKEEPER

THE LIGHTKEEPER 

Karya : Ahmad Tetsuya



Burung camar terbang tinggi menantang birunya langit, bermandikan angin sejuk yang dibawa laut membantu si burung camar bisa terbang lebih tinggi dari biasanya. Mentari bersinar terang menyinari bumi hari itu para makhluk putih yang sedang asyik menikmati kebebasan tersebut menatap ke bawah dan menyaksikan manusia beraktivitas. Pedagang mendagangkan jualannya, nelayan membersihkan tangkapan ikannya, dan anak-anak berlarian bermain kejar-kejaran. Namun dari sekian banyak manusia yang menikmati hari mereka, hanya ada satu anak yang berlari bukan karena menikmatinya, tetapi karena untuk bertahan hidup dan lolos dari kejaran para orang dewasa.

“BERHENTI KAU PENCURI BUSUK!”

Makian dan hinaan terlempar dari mulut si pengejar, menunjuk-nunjuk ke arah anak laki-laki berusia 10 tahun itu dengan sebuah roti yang ada di genggamannya. Tarikan nafas yang kencang terdengar jelas dari si bocah, tubuhnya yang masih kecil harus dipaksa berlari sekuat tenaga dan jantung kecilnya berdegup kencang diambang batas. Komplotan si pengejar berhasil menyusul anak itu dan dengan cepat menyepak kakinya yang membuat si anak tersungkur jatuh ke tanah.

Para orang dewasa yang mengejar anak itu berhenti di hadapannya, menatapnya dengan mata yang merendahkan diri dan jiwanya. Salah satu orang dewasa yang berdiri mengelilingi anak itu mulai mencibir dan menunjukkan rasa jijik.

“Kau tak bisa lari kemana lagi, babi kecil. Kesabaran kami di sini sudah habis membiarkanmu mencuri makanan dari toko-toko kami dan membuat kami rugi”.

Tubuh kecil dari anak itu perlahan berusaha untuk bangkit, lengan kecilnya berusaha menolak tanah dan menguatkan kakinya agar bisa berdiri. Dengan mata yang membara penuh dengan harga diri ia membentak mereka yang sedari tadi merendahkan dirinya.

“Aku BUKANLAH babi kecil yang bisa kalian hina. Aku mempunyai nama, dan nama ku itu adalah Lux”.

Sikap berani dari dirinya yang kecil menentang tiga orang dewasa yang berdiri gagah di hadapannya membuat para orang dewasa itu semakin murka dan mulai melayangkan tinju yang keras dan menghantam tubuh rapuh dari Lux. Ia terlempar kembali ke tanah dan membuat ketiga pria dewasa itu mulai memukul, menendang dan menghajar dirinya lebih jauh. Dari bawah, Lux mencoba untuk menahan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Matanya menatap jauh ke kumpulan orang-orang yang hanya bisa menonton tanpa bisa melakukan apapun. Dirinya marah pada mereka yang sedari tadi hanya menyaksikan penderitaannya, namun dirinya lebih marah kepada dirinya lemah dan dihinakan oleh semua orang.

Puas menghajar tubuh Lux, para orang dewasa itu berhenti dengan nafas yang terengah-engah. Mereka memandang Lux yang meringkuk di atas tanah dan mulai terbatuk-batuk menahan rasa sakit.

“Kali ini kami melepaska mu cecunguk, tapi tidak akan ada ampun untuk berikutnya”.

Air liur terbang dan mendarat pada tubuh yang meringkuk itu, dan sandal mereka yang kotor masih sempat menginjak roti yang anak itu curi, lalu mereka meninggalkan Lux begitu saja tanpa merasa iba sedikit pun. Sekali lagi tubuh yang lemah dari anak usia 10 tahun itu mencoba untuk bangkit dan berdiri. Di tatapnya roti yang sudah diinjak sebelumnya untuk beberapa saat sebelum jari-jari kecilnya menggapai dan menggenggam roti itu untuk di bawa pulang.

Langkahnya pelan membawa dirinya pulang ke sebuah rumah yang hampir roboh. Pelan berderit suara pintu yang terbuka dan memperlihatkan sebuah rumah yang hampir kosong. Tidak ada perabotan mewah, karpet yang bagus dan lampu hias yang memperindah. Namun yang ada hanya lah sebuah ruangan kosong dengan kardus dan kain bekas yang berserakan di sebuah sofa tua. Lux kini tinggal sebatang kara, tanpa orang tua ataupun wali yang melindunginya.

Orang tua Lux menghilang di lautan pada saat badai hebat berlangsung ketika orang tuanya masih bekerja sebagai pelaut. Kini ia hanya lah seorang anak yatim piatu , dimana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dirinya sangat kesulitan. Dia hanya bisa mengandalkan orang yang iba kepada dirinya untuk hanya sekedar mendapatkan sepotong roti. Tentu Lux tidak ingin hanya berharap dari belas kasihan orang lain, ia sudah pernah mencoba untuk mencari pekerjaan, namun kebanyakan dari mereka menolak dengan alasan bahwa mereka tidak menerima anak-anak sebagai karyawan mereka. Hal itu membuat Lux kadang tidak punya pilihan lain untuk mencari makan, dan satu-satunya yang terpikirkan olehnya adalah dengan cara mencuri makanan. Itu masihlah urusan makan, belum lagi kalau musim dingin datang. Dirinya haruslah memutar otak agar ia bisa selamat dari neraka yang dingin itu.

Lux tinggal di sebuah desa kecil yang berada dekat dengan pantai yang dikenal dengan desa Litore. Desa Litore berpenduduk hanya sekitar kurang lebih 600 orang. Letaknya yang jauh dari pusat kota membuat desa itu tertinggal. Walaupun demikian desa Litore memiliki pemandangan yang indah serta menakjubkan dengan hamparan padang rumput yang luas dengan tebing yang mengarah langsung ke arah laut. Pantai putih yang masih asri dengan terumbu karang yang berada di dekat pesisir pantai.

Sandyakala memperlihatkan pesonanya, cahaya surya berwarna jingga kemerahan menghiasi angkasa raya. Lux berjalan-jalan di tepi pantai, tapak kakinya menginjak halus butiran pasir putih dan merekam jejaknya. Di tangannya ada ember kecil berisi cacing yang masih menggeliat segar dan di tangan yang satunya ia memegang joran pancing peninggalan ayahnya. Karena tidak bisa memakan roti tadi siang, perutnya kini mulai keroncongan. Cacing-cacing dalam perutnya memberontak melakukan perlawanan meminta makanan untuk datang. Dengan demikian untuk mengisi perut yang sedari tadi masih kosong, Lux berencana untuk memancing di sekitar pesisir pantai.

Suara deburan ombak terdengar dengan jelas, menciptakan buih putih yang terdorong ke tepi pantai. Sembari berjalan mencari tempat bagus untuk memancing Lux melihat seorang pria berbadan agak gemuk, mungkin sudah kepala lima, rambutnya sudah memutih begitu juga dengan kumis tebal yang menyatu dengan janggutnya yang panjang dan putih. Lengannya yang besar melemparkan umpan dari joran pancing dengan sangat jauh ke tengah laut. Lux berdiri agak jauh dari pria itu dan mulai memasang umpan cacing ke mata kailnya. Begitu ia ingin melemparkan umpannya jauh ke tengah seperti yang dilakukan oleh pria tadi, sayangnya umpan miliknya tidak bisa mencapai air yang lebih dalam.

Pipinya mulai menggembung dan cemberut bahwa ia tidak bisa meniru pria tadi. Disisi lain pria yang berada agak jauh darinya, mulai menarik kailnya dengan perlahan dengan tatapan yang lekat ke arahnya. Tentu Lux sadar akan hal itu tetapi ia mencoba untuk tidak mempedulikan hal tersebut. Tak lama berselang si pria besar itu mulai menarik kail pancingnya yang disambar oleh ikan. Tampak sang ikan tak memberikan perlawanan yang berarti dan hanya bisa pasrah terseret ke pantai, melompat dengan mengibaskan ekornya adalah satu-satunya perlawanan yang bisa ia berikan namun bagi si pria besar itu itu bukanlah apa-apa. Nampak cekatan tangan pria itu melepas mata kail dari mulut si ikan, menandakan betapa berpengalamannya dirinya.

“Bagaimana hasil tangkapanmu di sana anak muda?”

Suara yang besar terdengar diantara suara deburan ombak membuat Lux melirik ke arah pria besar itu yang sedang memasukkan ikan tangkapannya ke dalam ember besar di sebelahnya. Lux diam tanpa membalas pertanyaan dari pria itu dan kembali fokus pada pancingnya. Hanya ada suara ombak diantara mereka dan percakapan tak pernah dimulai karena Lux tidak memberikan respon. Langkah tegap dari pria besar itu datang menghampiri Lux dan memperhatikan anak kecil itu dari atas sampai bawah.

“Kau tidak akan mendapatkan ikan dengan menggunakan umpan seperti itu di sini” Lux kembali hanya diam memperhatikan apa motif dari pria yang ada di sebelahnya ini. “Kau tunggu lah di situ aku akan membagikan umpanku dengan mu.”

Perhatian kecil yang tidak biasa dari orang asing untuk Lux, membuat dirinya berpikir bahwa ada niat tersembunyi dari pria itu. Tak lama ia kembali dengan ember kecil berisikan udang dan meletakkannya di dekat Lux.

“Nah cobalah pakai umpan ini, dijamin kau akan mendapatkan tangkapan yang bagus”

Lux menarik kembali kailnya ke pantai dan di dalam matanya masih terdapat keraguan dan kebingungan akan apa yang dilakukan oleh si pria besar itu.

“Kenapa kau membagikan umpanmu? Kau pasti ingin menipuku kan?”

Menipu? Ya, begitulah orang dewasa yang Lux pelajari selama ini. Mereka kerap kali menipu dan mempermainkan dirinya karena masih awam dengan dunia. Pria besar itu hanya tersenyum dan kembali memasang umpan ke mata kailnya.

“Begitu ya. Dunia telah mengajarkanmu dengan sangat keras sehingga kau lupa bahwa dunia juga masih mempunyai kebaikan. Kau yang telah merasakan perih dan kejamnya dunia di usia yang sangat belia ini, aku tak menyalahkanmu untuk meragukan orang-orang dewasa seperti ku. Tetapi kau harus ingat nak, bahwa di dunia ini pasti ada yang namanya kebaikan.”

Lux mendengarkan perkataan dari pria besar itu dengan sangat mendalam. Matanya menatap ke depan namun jiwanya mungkin sudah ada di laut dalam. Ia memang sudah benar-benar lupa akan bentuk dari sebuah kebaikan. Bukan salahnya, namun itu semua karena dunia, takdir menuliskan kisahnya dengan sangat kejam.

“Namaku Custos”

Lux menatapnya, sedikit terkejut karena pria itu memperkenalkan dirinya begitu saja. Mulut Lux mendadak kering, bibirnya bergetar karena lupa untuk berbicara dengan biasa pada orang lain.

“Aku Lux...” suaranya pelan dan hampir ditelan oleh suara ombak yang kian keras menghantam bibir pantai.

“Lux? Hahaha, itu nama yang sangat bagus. Orang tuamu benar-benar pandai memilihkan nama untuk anak seperti dirimu”.

Pujian yang biasa dan mungkin ditujukan hanya untuk basa-basi belaka, namun entah kenapa air mata Lux jatuh membasahi pipinya. Ia sadar akan hal itu dan dengan cepat menyembunyikan wajahnya dari Custos karena ia tidak ingin orang asing melihat sisinya yang lemah ini. Untungnya dunia sudah hampir gelap dan sang surya sudah hampir ditelan oleh khatulistiwa. Hari semakin dingin dan angin bertiup sedikit lebih kencang menghempaskan ombak sedikit lebih kencang dari awalnya.

Datang tak diundang gemuruh terdengar kencang bukan dari langit yang sudah berhiaskan bintang melainkan dari perut kecil yang sudah tadi kosong dan meminta makan. Suara tawa yang besar datang dari Custos mengetahui bahwa teman kecilnya sedang keroncongan. Ia membawa joran, ember umpat dan ember hasil tangkapannya ke pantai dan mengajak Lux untuk ikut bersamanya. Lux mungkin sadar akan apa yang ingin dilakukan oleh Custos, tetapi ia tidak mempunyai pilihan dan dalam diam ia mengutuk kembali dirinya sendiri.

Rembulan sudah berdiri tegak, mengintip dari horizon menyaksikan api unggun yang menghangatkan tubuh dua insan yang sedang asyik membakar ikan di tepi pantai. Custos menancapkan ikan hasil tangkapannya dengan ranting yang telah dibersihkan dan di tusukkannya di dekat api agar ikan-ikan itu bisa matang dengan merata. Lux hanya diam duduk di batang kayu yang terdampar di pantai sambil memperhatikan Custos membalikkan ikan-ikan dengan kedua tangannya. Ia ingin membantu dan membuktikan bahwa ia bisa berguna untuk orang lain, namun kedua tangan dan mulutnya masih terkunci rapat tak tahu apa yang harus ia katakan dan memulai pembicaraan.

“Ini makanlah selagi masih panas”, sepotong ikan bakar segar disodorkan di hadapan Lux, kembali ia merasa ragu dan tak pantas untuk mendapatkan ikan itu.

“A.. aku tidaklah pantas mendapatkan ikan itu”

“Tidak pantas ya.”

Custos memikirkan apa yang ia harus lakukan di dalam kondisi seperti ini, sejenak ia merenung dan menatap rembulan yang sedang menyaksikan mereka dan seketika sebuah ide datang kepada dirinya.

“Baiklah Lux, kalau kau memang tidak menginginkan ikan ini dalam bentuk belas kasihan, maka kau bisa menganggap ikan ini dalam bentuk hutang yang harus kau lunasi.”

Mata yang bersinar dari anak 10 tahun itu menatap ke arah Custos dengan tidak percaya. Kenapa pria dewasa sepertinya ingin orang seperti Lux yang tak mempunyai apa-apa selain harga dirinya untuk berhutang kepadanya.

“Apa maksudmu? Kau tahu aku tidak punya apa-apa lagi. Jangankan uang atau barang berharga lainnya, yang ku punya saat ini hanyalah diriku seorang.”

“Itu benar, aku tahu kau tidak mempunyai apapun untuk ditukarkan dengan ikan bakar ini. Tetapi, kau bisa membayar ikan bakar ini nanti jika kau sudah mempunyai uang. Maka dari itu makanlah sekarang, jadilah lebih kuat, dan buktikan pada ku bahwa kau bisa membayar hutang yang kecil ini nanti.”

Lux mengerti dengan apa yang Custos sampaikan kepadanya sehingga keraguan dalam dirinya sedikit menghilang. Custos kembali menyodorkan ikan bakar tadi kepadanya dan sekarang ia mengambilnya dan mulai menyantapnya. Custos tersenyum dan ikut menyantap ikan laut bakar yang segar tersebut. Bermandikan dengan bintang-bintang dua manusia tersebut menikmati makan malam yang sederhana itu dengan penuh rasa syukur. Berbagai gemintang mulai bersinar terang seakan mulai menulis ulang takdir.

“Pak tua, untuk saat ini aku mungkin belum bisa membayar hutangku ini pada mu, tapi aku akan berusaha untuk mencari cara agar aku bisa membayarnya.”

“Kau tidak boleh mencuri untuk melunasi hutang ini”.

Seakan bisa membaca pikiran dari Lux, membuat ia kehilangan akal akan cara apa yang bisa ia lakukan untuk membayar hutang ini.

“Kalau aku tidak melakukan itu, bagaimana caraku bisa melunasi hutang ini? Aku tidak bekerja karena tidak ada yang ingin mempekerjakan ku.”

“Jika itu yang menjadi masalahnya, bagaimana kalau kau bekerja dengan ku? Dengan begitu kau bisa membayar hutangmu ini”.

“Bekerja denganmu? Memangnya apa pekerjaan yang kau bicarakan pak tua?”

“Pekerjaan sebagai penjaga mercusuar.”

Penjaga mercusuar, suatu pekerjaan yang cukup sederhana, namun mengingat di desa Litore ini hanya ada satu mercusuar yang terkenal dengan bahayanya, yaitu mercusuar Corallium. Mercusuar ini terletak hampir di tengah laut, lebih tepatnya di luar susunan batuan karang yang bisa menjebol lambung kapal nelayan, dan karena letaknya yang berada di tengah laut membuat mercusuar ini sering dihantam oleh ombak yang sangat besar dan tak bersahabat apalagi ketika badai hebat datang. Namun karena tak ada pilihan lain dan kesempatan tak datang dua kali, Lux pun menyetujui tawaran dari Custos untuk bekerja dengannya.

“Hahaha bagus, bagus. Kalau begitu kau harus makan lebih banyak lagi untuk persiapan. Aku tak ingin kau bekerja dengan perut kosong seperti tadi.”

Lux menolak dengan halus namun Custos tetap bersikeras dan mengatakan kalau hal ini tidak akan menambah total hutangnya. Pada akhirnya Lux menyantap ikan bakar yang ditawarkan oleh Custos dengan lahap hingga malam itu cacing dalam perutnya merdeka dari rasa lapar. Malam berlanjut dan rembulan menyaksikan Lux dari atap rumahnya yang bolong, menyaksikan tubuh kecil itu berbaring di atas sebuah sofa tua dan hanya berselimutkan kain tipis. Hangat senyum dari sang rembulan dan menyinari tubuh kecil yang sedang beristirahat itu dan mendoakan agar hari esok bisa sedikit lebih lembut pada dirinya.

Hari yang baru datang disambut dengan sinar mentari yang lembut menyapa bumi dengan kehangatan. Lux terbangun dari tidurnya dan mengingat akan janji yang ia buat kemarin malam, dimana ia diminta untuk menemui Custos di kediamannya agar mereka bisa berbelanja untuk membeli perbekalan. Tanpa ragu dan menunggu lama Lux mempersiapkan dirinya dan segera berangkat.

Berderap langkah kakinya ke alamat yang diberikan oleh Custos kemarin malam. Dari rumahnya, Lux berjalan lumayan jauh karena melewati pasar desa, menyeberangi padang rumput dan hampir sampai ke kaki bukit terdekat. Dari kejauhan nampak berdiri sebuah rumah dengan kebun yang lumayan luas berisikan berbagai sayuran, bunga, dan buah-buahan. Custos melihat teman kecilnya yang sudah datang menghentikan kegiatannya dalam menyiram kebunnya.

“Kau datang tepat waktu nak, kemari dan bantu aku memanen beberapa sayur yang sudah matang ini. Ini akan menjadi bekal kita nanti”

“Bekal apa yang kau maksud pak tua?”

“Karena mercusuar Corallium berada hampir di tengah laut, jadi kita tidak bisa kembali ke daratan untuk nanti malam.”

Pernyataan yang sedikit membingungkan keluar dari mulut Custos.

“Kenapa tidak bisa? Bukankah kita tinggal menggunakan perahu untuk kembali ke daratan?”

“Kalau di hari biasa itu memang benar, tetapi untuk nanti malam kita tidak bisa melakukan hal itu karena badai akan datang.”

Lux kembali bingung dengan pernyataan dari Custos. Mungkin saja pria kepala lima itu sedang membual tentang badai yang akan datang padahal hari begitu cerah dan matahari bersinar dengan teriknya.

“Jangan membual pak tua, kau tidak bisa membodohi ku.”

“Hahaha, berani juga kau yang masih bocah mengatakan kalau aku berbohong. Baiklah kalau begitu mari kita bertaruh. Kalau aku benar dan badai datang nanti, kau yang akan memasak makan malam.”

Tertantang dengan taruhan kecil yang diberikan oleh Custos, membuat Lux menyetujui hal tersebut. Dengan sigap ia membantu Custos untuk memanen sayuran seperti yang dimintanya tadi. Matahari tersenyum dan ikut bersemangat kepada mereka dengan memberikan sinarnya lebih banyak. Siang itu matahari menjadi sangat terik membakar kulit mereka dan memaksa Lux dan Custos untuk beristirahat sejenak di bawah bayang-bayang pohon yang memberikan kesejukan. Angin bertiup sepoi menyejukkan diri mereka sedikit dan meredakan kelelahan yang mereka rasakan.

Tepat saat matahari sampai pada puncaknya, mereka berhasil memanen kentang, tomat, wortel, beberapa jenis jamur dan beberapa jenis buah beri.

“Sepertinya sudah cukup. Selanjutnya kita akan membeli beberapa roti dan jagung di pasar nanti”

Lux mengangguk pelan mengiyakan ide itu. Dilihatnya Custos yang sedang menyandarkan punggungnya ke batang pohon saat mereka kembali bersembunyi dari sang surya.

“Hari-hari seperti ini, mengingatkanku dengan hari dimana putri dan istriku masih hidup.”

“Begitu ya...”

“Hahaha, sungguh teman mengobrol yang dingin sekali. Aku menceritakan ini bukan untuk mendapatkan empati nak, melainkan aku hanya ingin membagi dan bernostalgia kembali dengan masa lalu”.

“Apakah mereka meninggal karena kecelakaan?”

Jujur ada sedikit rasa penasaran dari Lux mengenai apa yang terjadi pada keluarga si tua Custos. Dan diketahui bahwa istri dan putri dari Custos meninggal karena penyakit. Awalnya putrinya terkena demam tinggi, tubuhnya memerah dan suhu tubuhnya mendidih layaknya teko panas. Karena tak kunjung sembuh, tubuh putrinya mengalami kejang hebat dan tak lama kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Istrinya mengalami guncangan hebat dan merasa syok yang membuat dirinya terkena darah tinggi hingga akhirnya mengalami serangan jantung. Kepergian yang begitu cepat dan mendadak, membuat Custos hampir mengakhiri hidup dengan menenggelamkan diri namun ia mengurungkan niatnya tersebut.

“Bagiku mengakhiri hidup seperti itu tidaklah berarti. Itu hanyalah tindakan pengecut yang ingin menyelesaikan masalah dengan mudah. Jadi nak, jikalau ada niatanmu untuk mengakhiri hidup, maka buanglah pikiran itu jauh-jauh.”

Dalam pesan yang disampaikan oleh si tua Custos pada Lux. Memang benar bahwa ia merindukan kedua orang tuanya, namun tak pernah sekalipun terbesit bisikan setan untuk mengakhiri hidup, seakan tekadnya untuk hidup sangat kuat layaknya sebuah cahaya dalam kegelapan samudera dalam. Ketika mereka selesai berbincang dan beristirahat, Custos mempersiapkan dirinya agar mereka bisa berangkat menuju mercusuar sebelum sore.

Di pasar, Lux dan Custos mampir sejenak ke toko roti milik perempuan berusia 60-an, rambutnya keriting kusut yang sudah memutih. Wajahnya sedikit berkeriput di bagian dahi, pipi, dan bawah mata. Orang desa memanggil perempuan itu dengan panggilan nenek Tost. Kedainya telah buka semenjak desa Litore berdiri dan ia menjual beraneka ragam roti gandum. Hari ini Custos sengaja mampir ke kedai nenek Tost karena dia ingin Lux, mengingat kembali rasa dari kelezatan yang bisa manusia dapatkan dari makanan olahan.

“Nenek Tost, aku ingin membeli beberapa rotimu untuk perbekalan.”

Ekspresi dari nenek Tost mendadak aneh ketika ia melihat seorang anak yang terkenal karena pembuat masalah berjalan dan mengikuti Custos dari belakang.

“Apakah dia membuat masalah pada mu Custos?”

“Lux? Tidak, tentu saja tidak.”

“Lalu kenapa dia bersamamu sekarang?”

“Dia bekerja denganku mulai dari sekarang.”

“maksudmu sebagai penjaga mercusuar?”

Keraguan dan kebingungan tergambar jelas dari wajah nenek itu, pupilnya membesar, dan alisnya terangkat naik. Bukan tanpa alasan karena kondisi alam yang sangat ekstrim di keadaan tertentu jadi tidak sembarang orang yang bisa dan mampu untuk mengambil pekerjaan itu. Tetapi Custos malah merekrut anak yang kurang lebih sekitar 10 tahun.

“Apa kau ingin mengantarkan anak itu untuk pergi ke surga dengan cepat, Custos?”

“Hahaha, tentu saja tidak nenek Tost. Jangan khawatir, dia adalah orang yang tangguh. Aku yakin itu. Selain itu walaupun aku meminta warga desa ini untuk ikut menggantikan posisi anak ini, mereka terlalu malas untuk itu. Kau tau sendiri nenek Tost, bagaimana perangai orang di desa ini.”

Walau masih tak tenang melihat anak sebelia itu mengambil pekerjaan yang berbahaya, ia mengingat bahwa mungkin inilah satu-satunya jalan yang dia punya. Diliriknya wajah Lux dengan lekat dan penuh dengan rasa iba, layaknya terakhir kali ia menyaksikan anak itu dihajar habis-habisan. Ia berpesan.

“Jangan sampai kau menghambat pekerjaan Custos nak. Dan Custos kalau ia memang tidak layak bekerja sebagai penjaga mercusuar bersamamu, biarlah aku yang akan menampungnya.”

“Bukankah itu bagus nak? Hahaha.”

“Jangan seenaknya menentukan nasibku, aku sudah cukup umur untuk memilih takdir ku. Kalau aku memang ditakdirkan mati di laut sana, maka biarlah aku tak apa.”

Suatu pemberontakan atau mungkin hanya lah suatu bentuk dari keras kepala anak seusianya, nenek Tost tidak yakin akan kedua hal itu. Atau mungkin itu adalah bentuk dari kepasrahan diri dalam menjalani hidup. Tidak ada yang tau. Tetapi yang nenek tua itu yakini adalah Lux telah siap akan konsekuensi dari jalan yang ia pilih.

“Jangan khawatir nenek Tost. Aku merekrutnya bukannya ingin agar ia dapat berjumpa dengan keluarganya sesegera mungkin, bukan. Melainkan aku melihat sosok diriku yang lama padanya. Yatim piatu, sendirian, kelaparan dan tak ada tempat mengadu. Tetapi saat itu kau yang datang membantuku. Jadi kini, giliranku melakukan hal yang sama seperti apa yang kau lakukan dulu. Jadi kau tidak perlu khawatir akan keselamatannya, dan jika ada suatu hal yang mengancam dirinya maka aku yang akan menjaga anak ini dan bertanggung jawab sepenuhnya padanya meski itu harus mengorbankan diriku.”

Kedua kalinya Custos menenangkan rasa khawatir dari nenek tua itu, dan kali ini rasa khawatir darinya mulai sedikit menghilang. Setelah sekantung roti gandum diberikan dan ditukarkan dengan beberapa koin silver, Lux dan Custos pergi menuju dermaga tempat dimana perahu Custos berada. Hari mulai semakin sore dan angin mulai bertiup dengan kencang. Di ufuk barat gumpalan awan gelap mulai merangkak dari kejauhan.

Tali perahu dilepas dan mesin di nyalakan, kipas berputar mendorong perahu meninggalkan pesisir lebih jauh. Di bawah perahu mereka nampak air laut yang biru jernih, menyikap terumbu karang indah di bawahnya. Ikan-ikan terumbu karang berenang bebas bermain dibalik anemo laut, gurita menyatu dengan batu koral dan yang lainnya bersembunyi di balik pasir putih dasar lautan.Sungguh indah nuansa laut desa Litore dan masihlah sangat asri. Tak lama dari sana, nampak sebuah mercusuar setinggi 20 meter berwarna merah dan putih yang dicat secara diagonal, dan terdiri di sebuah pulau kecil yang tersusun dari batuan koral yang keras.

Kembali ditambatkan tali perahu ke dermaga dengan simpul yang kuat. Kini nampak megah mercusuar itu berdiri menantang angkasa. Custos dengan antusias mengajak Lux untuk melihat-lihat apa yang ada di mercusuar dan dimulai dari sebuah bangunan kecil yang menyatu dengan dasar mercusuar. Ketika dibuka ternyata itu adalah sebuah gudang untuk menyimpan kayu bakar yang akan digunakan untuk memasak dan juga digunakan pada saat musim agar menjaga ruangan di dalam mercusuar tetap hangat. Di sebelahnya tumpukan kayu bakar terdapat sebuah generator listrik yang digunakan untuk menjadi sumber daya dari mercusuar.

Selesai keluar dari gudang kini Custos mengajak Lux untuk masuk ke dalam mercusuar, di dalamnya terdapat ruang jaga yang ada di bagian dasar dari mercusuar. Di dalamnya terdapat sebuah sofa, tungku kayu bakar berukuran kecil yang berfungsi sebagai penghangat ruangan dan sekalian tempat memasak makanan. Kemudian terdapat sebuah kamar mandi berukuran kecil yang cukup untuk keperluan buang air besar dan kecil. Tak lupa pula ada sebuah tangga spiral untuk menuju ke ruang lentera yang ada di bagian teratas dari mercusuar. Karena mercusuar ini telah berumur cukup tua, kondisi tangga spiral yang menghubungkan ruang jaga dan ruang lentera sudah cukup buruk. Anak tangganya telah lapuk dan penuh dengan karat, namun tidak ada yang bisa Custos lakukan selain melakukan perawatan skala kecil untuk hal itu. Di bagian ruang lentera Custos menjelaskan semua hal kepada Lux, seperti mengenai lampu dan lensa yang ada di dalam ruang lentera dan segala hal kelistrikan yang ia ketahui.

Di luar, terdengar rintik suara gerimis mulai datang tak diundang. Langit di atas mereka telah menggelap karena awan hitam datang bergerombolan tanda badai telah datang. Angin bertambah kencang ditambah gelegar suara guntur yang terus bertaut tanpa putus. Tak berselang lama langit menumpahkan segala isinya, hujan kian lebat dan ombak kian mengganas. Mercusuar dan pulau kecil itu dihempas tiada henti, mengguncangnya dengan pasti. Walau begitu, di ruang jaga Lux yang kalah taruhan memasakkan makan malam sederhana berupa sup kentang tumbuk yang sangat pas dimakan dengan roti gandum yang mereka beli tadi.

“Kau cukup pandai juga dalam hal memasak nak.”

“Ibu pernah mengajariku, jadi aku cuma mengulang apa yang dia ajarkan.”

“Kau pasti membuat dirinya bangga.”

Kembali, pujian yang tulus oleh Custos membuat hati kecilnya terasa hangat. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan hangat seperti sedang bersama ayahnya. Tak perlu menunggu lama, mereka mulai menyantap makan mereka dengan lahap. Kilatan petir dan suara guntur tetap mengamuk di luar namun di dalam mercusuar mereka merasa aman. Begitu seharusnya.

Sebuah petir menyambar tepat pada ujung menara di mercusuar dan lonjakan arus yang tinggi mengalir masuk dan langsung memadamkan generator, seketika ruang jaga di dalam mercusuar gelap gulita. Custos dengan cepat mengambil senter yang ia simpan di sebuah lemari kayu kecil di sebelah sofa tempat mereka menyantap makan malam.

“Sungguh sial sekali hari kita ini nak. Kita harus kembali menghidupkan generator agar mercusuarnya menyala.”

“Biar aku yang pergi menghidupkan generatornya.”

Respon yang tidak terduga dari Lux membuat Custos sedikit tidak percaya. “Apakah kau yakin nak?”

Lux hanya mengangguk, wajahnya penuh dengan keyakinan yang membuat Custos percaya pada dirinya. Lux membuka pintu mercusuar dan nampak keadaan di luar sangat mengerikan. Alam benar-benar mengamuk dengan angin berkecepatan tinggi menghembuskan tetesan air hujan dengan sangat cepat. Ombak menghantam dinding mercusuar dengan sangat keras, serta kilatan petir yang terjadi sepersekian detik menerangi langit malam yang gelap gulita dengan waktu singkat. Lux melangkahkan kakinya menuju ruangan gudang, begitu pintu dibuka ia langsung mencoba untuk menghidupkan kembali generator dengan menarik tali starter. Dicobanya berulang kali namun tetap saja tidak bisa. Diutak-atiknya generator listrik tersebut bukan karena ia ahli akan hal itu, melainkan dia hanya meniru apa yang ayahnya lakukan ketika ia membantunya dulu. Selesai mengutak-atik generatornya, Lux menutup mata dan menarik nafas dengan dalam, berdoa agar ia berhasil. Di tariknya tali starter dengan kuat dan memutar mesin generator untuk kembali menyala.

Dengan uporia ia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, merayakan keberhasilannya dengan bangga dan senyum tergambar lebar di wajahnya. Lux kembali ke dalam mercusuar, dan melihat Custos mendengarkan panggilan radio dengan wajah yang begitu serius untuk beberapa saat. Panggilan itu berakhir, Custos menatap wajah Lux dengan lekat.

“Nak, aku baru saja mendapat kabar bahwa ada sebuah kapal nelayan yang mendekat ke pesisir dan ia tidak melihat cahaya dari mercusuar. Itu berarti lampu mercusuar di atas sana tidak menyala. Kita harus menggantinya tepat waktu sebelum kapal itu memasuki batuan karang di dekat pesisir. Jika itu terjadi maka kita tidak tahu bagaimana nasib mereka di tengah badai seperti ini.”

“Kalau begitu apa yang kita tunggu?”

“Aku ingin kau untuk tetap di sini!”

“Apa maksud mu?”

Nampak wajah Custos begitu berat untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya. Kata-kata itu tersangkut di kerongkongan dan menolak untuk keluar tetapi harus tetap keluar. Ia menjelaskan bahwa dengan badai hebat yang sedang terjadi di luar membuat struktur bangunan mercusuar itu bergoyang hebat di bagian atasnya. Ditambah ombak yang sedari tadi terus menghantam dinding mercusuar membuatnya semakin bergoyang lebih kuat lagi. Dan tangga spiral yang ada di dalam mercusuar sudah cukup tua yang bisa membuat mereka terjatuh dan langsung terjun ke dasar mercusuar. Custos tidak mengarang dan ingin memperlakukan Lux layaknya seorang anak kecil yang harus dilindungi, melainkan ia meyakinkan Lux karena ia belajar dari pengalamannya yang beberapa kali harus cedera karena hal serupa terjadi.

Disisi lain Lux merasa di khianati, ia sempat berpikir bahwa ia mungkin telah menemukan orang yang mengerti dirinya dan tidak memperlakukan dirinya selayaknya orang lemah. Lux hanya diam seribu bahasa menundukkan kepalanya dengan memasang wajah sedih dan tersakiti. Walau begitu, Custos telah menetapkan dirinya untuk pergi sendiri. Diambilnya lampu mercusuar yang masih baru dan segera ia memanjat tangga spiral yang sudah usang itu. Perlahan dengan pasti ia melangkahkan kakinya ke setiap anak tangga yang sedang bergoyang.

Kilatan petir datang dan turun menyambar tanah di sebelah mercusuar, dan gelegar suara guntur menggetarkan bumi. Sebuah ombak tinggi di luar menghantam keras dinding mercusuar yang membuat salah satu anak tangga patah karena telah lapuk dimakan waktu, dan tak beruntung pula salah satu kaki Custos menginjaknya dan membuat dirinya terjatuh ketika ia hampir sampai di ruang lentera di lantai atas. Tubuhnya terjun bebas ke bawah dan menghempas tungku perapian yang ada di ruang jaga. Kejadiannya sangat cepat dan terjadi dihadapan Lux. Matanya terbelalak menatap tubuh Custos menghempas tungku perapian dan langsung membuatnya tidak sadarkan diri.

“Oi pak tua? Pak tua?”

Lux terus memanggil Custos dan tangannya bergetar hebat saat ia menggoyangkan bahu yang telah kaku itu. Air mata jatuh tanpa ia sadari dan Lux terus berteriak memanggil Custos yang masih tergeletak tak sadarkan diri. Satu tangannya pergi memeriksa detak jantungnya, tapak tangannya yang telah mengeras mencoba mencari detak jantung yang tak bisa ia temukan. Matanya melotot tak percaya dan ia menangis sejadi-jadinya dengan mengubur wajahnya di tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Hal itu mengingatkan dirinya bahwa ia hanyalah anak kecil yang tak berdaya dan tak bisa apa-apa.

Di tengah kesedihan yang mendalam, suara radio kembali berbunyi dengan frekuensi yang terputus-putus.

“Di sini kapal Amas, kami hampir dekat dengan batuan koral, mercusuar kami tidak melihat dimana posisi mu.”

Lux menyeka air matanya dengan lengannya, diambilnya kembali lampu mercusuar yang berada di tangan Custos yang masih menggenggam nya dengan erat. Setidaknya masih ada satu hal yang bisa ia lakukan untuk sekarang, itu bukanlah menangisi keadaan tetapi menyelesaikan apa yang harus ia selesaikan sebagai penjaga mercusuar. Dengan cepat ia bergegas menuju tangga spiral dan memegang kuat-kuat pegangan tangga tersebut ketika mercusuar kembali bergoyang dengan hebatnya. Beberapa kali ia terpeleset dan hampir terjatuh ketika ombak besar menghantam dinding mercusuar, menginginkan dirinya untuk bergabung bersama Custos. Namun keinginannya untuk menyelesaikan pekerjaan ini memberikan dorongan yang kuat untuk Lux berhasil masuk ke ruangan lentera.

Dari ruangan lentera Lux bisa melihat ombak menggulung lautan dan sebuah kedipan kecil nampak dari kejauhan, menandakan bahwa kapal tersebut hampir sampai ke susunan batuan karang. Mengingat apa yang dijelaskan oleh Custos tadi, ia mulai mengganti lampu mercusuar yang rusak dengan yang baru. Tak begitu sulit untuk Lux karena ia benar-benar mengingat penjelasan yang diberikan oleh Custos sehingga lampu mercusuar dapat kembali menyala dengan terang menandakan serta memperlihatkan keberadaannya.

Tak lama Lux berada di lantai atas dan dengan segera ia kembali turun ke ruang jaga, rasa sedih dan bersalah kembali datang menghantui dirinya yang membuat dirinya kehilangan fokus dan ketika ombak besar kembali datang dan menghantam mercusuar, membuat dirinya terjatuh dari tangga spiral. Namun karena posisinya yang tidak terlalu tinggi, cedera yang ia dapatkan tidaklah begitu serius melainkan cedera ringan yang membuat pergelangan kakinya sedikit terkilir. Suara panggilan radio kembali berbunyi dan orang yang berada di balik kemudi kapal melaporkan bahwa mereka berhasil menjauhi susunan batuan karang dan selamat dari hal yang terburuk. Di sini, Lux hanya duduk diam, memandangi jasad Custos yang terkapar tak bernyawa di tengah ruangan jaga. Dihabiskannya malam dengan ditemani diam, dan kesunyian. Walau badai berkecamuk di luar, di dalam mercusuar ini ia bisu, kosong, dan hanya bisa meringkuk di tengahnya malam. Ia bukanlah seorang pahlawan yang baru saja pulang dari medan perang, ia hanya lah seorang anak yang baru saja kehilangan seorang teman, guru, sekaligus sosok yang bisa ia lihat sebagai ayah.

Fajar datang menyapa toko roti dari nenek Tost, dan nenek tua itu baru saja keluar dari rumah untuk bersiap-siap membuka tokonya. Belum ada manusia yang bangun selain dari nenek Tost, bahkan ayam masih sibuk berkumandang dengan lantang menyambut hari dengan penuh semangat. Dari kejauhan, nampak seorang anak laki-laki berusia 10 tahun berjalan dengan lesu, kantung matanya menghitam dan ia berjalan sempoyongan. Nenek Tost yang mengenal sosok itu berlari menghampirinya dan merasa ada yang tidak beres.

“Lux? Apa yang terjadi? Di mana Custos? Dia tidak meninggalkan mu sendirian kan?”

Nenek tua itu berlutut dan matanya menatap lekat ke wajah Lux. Masih nampak bekas air mata di pipinya, matanya yang masih basah dan berkaca-kaca. Tangan nenek Tost meremas kedua bahu anak kecil itu dengan penuh rasa khawatir. Air mata kembali menetes tanpa Lux bisa berkata-kata, kakinya bergerak mendekat dan langsung melampiaskan segalanya dalam tangisan di dalam dekapan orang tua itu. Nenek Tost, bingung dengan apa yang terjadi namun ia mengerti suatu hal, telah terjadi sesuatu.

“Maafkan aku, seharusnya aku... Seharusnya aku tidak mendengarkan apa yang dia suruh”

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“pak tua sudah meninggal.”

Terlihat wajah tidak percaya dari nenek tua itu dengan kabar yang baru saja menghantam dirinya. Sebuah kabar duka yang datang secara tiba-tiba.Setelah itu terungkap semua. Nenek Tost meminta beberapa orang desa untuk pergi ke mercusuar dan mereka menemukan jasad Custos sudah pucat dan kaku. Mereka bergotong royong membawa kembali cangkang kosong itu ke desa dan segera memakamkannya di sebelah keluarganya. Dalam doanya, Lux dan nenek Tost berharap Custos dapat berkumpul kembali dengan keluarganya dan bahagia dalam keadaan yang amerta.

Kepergian sang penjaga mercusuar merubah segalanya, orang-orang desa sadar bahwa mercusuar yang ada di desa mereka berada dalam kondisi yang buruk dan minim perawatan, mendesak mereka untuk memperbaiki dan memberikan rasa aman. Lux yang kini tinggal bersama nenek Tost bekerja membantu menjajakan roti di kedai. Di bawah asuhan nenek yang cerewet itu Lux kini tumbuh menjadi seorang pemuda yang penuh tanggung-jawab terhadap pekerjaan yang ia kerjakan. Orang-orang desa yang dulunya mengasingkan dirinya akibat situasi ekonomi dan sosialnya yang dianggap tak layak bagaikan serangga, kini mulai menerima keberadaan Lux. Dan ketika usia Lux dianggap telah cukup nenek Tost melepasnya dan mengizinkannya untuk kembali ke mercusuar yang telah lama tidak ia kunjungi.

Sandyakala kembali menjadi saksi disaat Lux mengasingkan diri di tepi pantai, duduk di sebuah batang kayu yang terdampar dengan api unggun yang menyala dan beberapa tusuk ikan yang dibakar di dekatnya. Matanya lekat menatap lautan dalam, deburan ombak menggebu memecah kesunyian. Dalam pelan ia berbisik, suaranya lirih tenang seakan berbicara dengan seseorang.

“Ku bayar lunas hutangku pada mu, pak tua. Kau tidak perlu mengkhawatirkan ku lagi. Berkat dirimu aku belajar hal yang berarti. Tenang lah di alam sana...”.

Tangannya diangkat tinggi ke udara dengan ikan bakar yang matang di genggamannya, ditatapnya angkasa raya dengan lekat, Lux pun tersenyum.

“Selamanya”.


****TAMAT****


Komentar

Postingan Populer