HILANG

 HILANG

Karya : Latifah Hanum



Aku kehilangannya di tempat favorit ku dan di waktu terindah ku. Sungguh. Bolehkan ia tetap menjelma menjadi air?

        Bekerja di coffeshop sangat lah menyenangkan. Aku bekerja di coffeshop milik ku dan sahabat ku, Ume. Ia sudah kuanggap seperti saudara ku sendiri. Kami mendirikan tempat ini berdua atas cita-cita kami bersama. Ume yang mengambil alih dapur dengan di bantu kekasihnya Hithori sebagai kasir dan aku sebagai pramusaji. Pekerjaan ini sangat cocok untuk ku yang selalu ceria dan bersemangat. Coffeshop kami terletak di atas bukit dengan pemandangan pantai yang luas di belakangnya. Ahh.. tempat ini cocok sekali dengan ku. Angin, rerumputan di atas bukit dan suara deburan ombak itu membuatku selalu bersemangat.

        Hari ini sangat melelahkan bagiku,banyak sekali pelancong yang mampir di kedai kami. Weekend ini kami merencanakan untuk tutup saja, karna bahan-bahan dapur kami sudah mulai menitipis dan harus segera di refill. Ume dan Hithori yang akan pergi ke pusat kota untuk membeli semua perlengkapan itu. Sedangkan aku akan berkunjung ke toko bunga milik Hiru juga besok. Sudah lama aku tidak mampir kesana. Aku rindu warna warni bunga di tokonya, apalagi wanginya yang semerbak memenuhi sudut ruangan disana. Ah..aku juga jatuh cinta dengan tempat itu.

        Pagi-pagi sekali aku bangun weekend ini, sebelum ke sana aku membersihkan rumahku dulu. Ya maklum saja rumah ini sudah satu minggu kiranya tidak ku rapikan. Ya tentu saja karna sibuk di coffeshop kami. Selesai merapikan rumah, aku mandi sejenak dan sarapan. Selesai semua itu, aku bergegas dengan sepeda ku menuju toko bunga milik sahabat ku itu. Ahh benar saja wangi tokonya sudah bisa kucium dari jauh dan deretan bunga mawar itu membuat hati ku senang.

 “Selamat pagi.” dengan semangat.

 “Wahh pagi sekali kau datang” ucap Hiru.

 “Tentu saja, aku sudah rindu dengan toko mu ini”

 “Ada yang bisa ku bantu di toko mu yang cantik ini” membujuk menawarkan bantuan.

 “Hahaha.. Aku suka sekali semangat mu ini, kalau kau memaksa boleh saja”

 “Terimakasih” teriak ku yang kegirangan.

        Tak berapa lama, setelah melihat bunga-bunga yang baru datang di toko Hiru, kami kedatangan pengunjung. Ia terkejut melihat ku, karna biasanya yang menyambut pengunjung adalah Hiru.

 “Permisi, pemilik toko dimana?” tanyanya.

 “Ah iya, ada” jawab ku gugup.

 “Hiru….” Panggil ku.

 “Siapa Hinako?” Hiru keluar dari bilik penyimpanan bunganya.

 “Ohh Minato ya” jawab Hiru

 “Pesanan ku sudah di buatkan Hiru? Taya Minato

 “Tentu saja sudah, sebentar akan ku ambilkan” Jawab Hiru kembali. Hiru pun masuk kembali ke dalam bilik penyimpanan bunganya. Sungguh canggung sekali suasana saat itu. Tak pernah ku melihatnya. Yang kutemui biasanya pengunjung wanita, ibu-ibu rumah tangga yang ingin membeli seikat bunga yang akan dihias di ruang tamu mereka atau ruang makan mereka barang kali.

 “Pekerja baru ya disini? Tanya minato tiba-tiba kepada ku.

 “Ah bukan” jawab ku.

 Tiba-tiba Hiru keluar dari bilik penyimpanan bunganya.

 “Ini pesanan mu Minato, dandelion putih dan kuning sesuai dengan permintaan mu.”

        Lagi-lagi aku terpukau dengan rangkaian bunga yang dibuat Hiru. Bunga itu tampak cantik sekali walaupun hanya berwarna putih dan kuning saja, tapi itu terlihat mewah sekali. Setelah itu, Hiru mengenalkan ku kepada Minato, dan Hiru menjelaskan bahwa Minato adalah pelanggan setianya. Ia akan datang setiap minggu untuk membeli bunga. Itu awal aku bertemu dengan Minato. Setelah hari itu aku dan Minato menjadi akrab. Benar saja Minato selalu datang setiap minggu untuk membeli bunga kepada Hiru. Ntah untuk siapa bunga itu, tak pernah ku tanyakan dan Minato tak pernah memberi tahu ku. Begitu juga dengan Hiru, ia tak pernah tau untuk siapa bunga dandelion itu dibeli.

    Aku dan Minato teryata mempunyai banyak kesamaan. Kami sama-sama menyukai bunga, bersepeda, pantai, dan surving. Kami sama-sama menyukai itu, bergelut dengan ombak. Ooo iya, minato bekerja di toko yang menjual papan selancar untuk surving. Ahh, pantas saja. Pekerjaanya sama persis dengan hobinya. Minato juga sering berkunjung ke coffeshop kami setelah berkenalan dengan ku. Ia sering mampir hanya untuk melihat ku saja atau mengajak ku ke pantai barang kali. Kami jadi sering bersama setelah hari itu.

        Lama saling kenal akhirnya kami menjalani hubungan yang serius. Aku dan Minato pun akhirnya menikah. Ia menyatakan perasaanya saat kami berkunjung ke pusat kota saat malam pergantian tahun. Kami bersenang senang menikmati liburan kami di awal tahun itu. Kami menikmati indahnya langit kota yang dihiasi kembang api dimana-mana. Kami juga akan merencanakan liburan ke Hawai. Satu bulan menikah kami pun melakukan perjalanan ke Hawai. Kami akan berbulan madu disana. Ku dengar disana juga punya ombak pantai yang bagus, tentu saja cocok dengan kami yang menyukai berselancar dengan ombak.

         Dua minggu kami habiskan waktu berdua disana. Kami benar-benar menikmati liburan disana. Kami juga merayakan ulang tahun Minato. Sebagai hadiah ulang tahun, aku memberikan hadiah balon besar berbentuk lumba-lumba. Hahaha tak ku sangka Minato sangat menyukai hadiah itu. Dia bilang dia sangat menyukai hewan itu karna lumba-lumba adalah temannya saat bergelut dengan ombak. Hewan itu juga cukup ramah dengan manusia. Lumba-lumba juga mempunyai insting penyelamat. Aku tak akan khawatir jika Minato berselancar sendirian.

        Dua minggu liburan bersama, kami pun kembali ke Jepang. Sekarang kami sudah tinggal bersama dengan rumah yang baru. Rumah yang cukup luas untuk kami berdua. Jendela yang besar menghadap ke arah laut lepas dengan balkon impian yang juga menghadap ke arah laut. Memiliki dua kamar dengan ruang bersantai yang cukup luas yang bergabung dengan area dapur kami. Jadi saat aku memasak untuk Minato nanti, Ia bisa melihat ku secara langsung. Benar-benar rumah impian bagiku, walaupun tidak terlalu besar. Kami habiskan masa-masa kami setiap harinya. Minato selalu menjemputku setelah selesai pulang bekerja. Kami selalu pulang bersama. Terkadang Minato juga membantu kami di coffeshop jika banyak pengunjung. Setiap akhir pekan kami habiskan untuk bermain di pantai atau jalan-jalan keliling kota, atau berburu kuliner di pusat kota. Ntah lah pantai tidak pernah membuat kami merasa bosan. Kami sangat menikmati hari-hari kami.

        Minato sangat menyayangi ku. Begitu juga dengan ku. Bertemu dengannya merupakan suatu keberuntungan bagi ku. Dialah laki-laki idaman ku. Dia romantis, humoris, dan juga tampan. Ahh aku beruntung sekali mendapatkannya. Minato sangat perhatian dengan ku, dia sangat mengerti sekali dengan ku. Minato adalah segalanya bagi ku sekarang. Karna aku tidak punya siapa-siapa lagi selain Minato dan sahabat ku Ume dan Hiru. Berbeda dengan Minato, ia masih punya keluarga yang lengkap. Dan kami akan berkunjung ke rumah orang tuanya Minato awal bulan besok.

“Awal bulan depan kita ke rumah ibu ya” kata Minato

“eemm” angguk ku sambil tersenyum.

        Minato memeluk ku dari belakang saat kami bersantai di balkon rumah kami malam itu. Duduk berdua sambil meneguk secangkir kopi dengan ditemani suara ombak dan angin sepoi-sepoi dari barat dengan dihiasi langit yang cerah dan di penuhi bintang. Kami habiskna malam kami yang mesra itu berdua. Minato pandai sekali menggoda ku. Senyumnya, matanya, bibirnya membuat ku selalu terpukau. Tidak lupa kami melakukan ritual itu setiap malam. Ssstt ini rahasia. Malam berlalu dengan cepatnya, tibalah hari dimana kami akan berangkat ke rumah ibu Minato. Ya sekarang Ibu Minato juga sudah menjadi ibu ku bukan. Ibu sangat menyayangi kami, tentu saja karna aku adalah menantu pertamanya. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menuju ke rumah ibu, itu di desa Hokkaido. Desa yang sangat cantik dan damai. Disana banyak sekali bunga-bunga tumbuh dengan suburnya. Termasuk juga bunga kesukan Minato yaitu Dandelion kuning dan putih.

        Lima jam lamanya kami menempuh perjalanan dari Kyoto ke Hokkaido. Tapi lima jam itu tidak kami rasakan, karna selama dalam perjalanan, kami selalu disuguhkan pemandangan yang indah. Melewati hamparan padang rumput dan tepi pantai dengan tebing karang yang indah. Akhirnya kami sampai juga di Hokkaido. Ibu dan ayah langsung menyambut kami dengan hangat. Ahh sudah lama aku tidak merasakan pelukan hangat seorang ibu. Rasanya teramat beda. Ada kasih sayang yang berbeda di dalamnya. Selesai kami melakukan ritual pertemuan itu, ibu langsung mempersilahkan kami masuk. Musim panas saat itu lumayan membuat kami kegerahan untuk berlama-lama di luar.

        Kami akan menginap selama 3 hari di rumah ibu. Panjang lebar kami mengobrol dengan ibu dan ayah. Sesekali kami membantu ibu ke kebun sayur di dekat rumah. Ibu mengajarkan banyak hal pada ku. Bagaimana menjadi istri yang baik tentunya. Ibu juga memberi pesan agar kami cepat memberinya cucu. Hahaha itu sungguh menggelikan untuk dibicarakan saat ini. Kami masih menikmati masa-masa berdua kami. Sangat menyenangkan di rumah ibu, makan bersama, berkebun, menonton televisi, bersantai bersama, dan masih banyak lagi. Tiga hari berlalu, akhirnya kami harus pulang. Layaknya seorang mertua, ibu selalu membungkuskan banyak hal untuk kami bawa pulang. Ibu bilang tak perlu lagi berbelanja selama satu bulan. Tak lupa ibu bilang untuk segera memberikannya cucu. Wajah kami langsung memerah, tersipu malu.

“Kalau datang lagi kemari, bawakan kami kabar gembira.” Berbisik sambil tersenyum

“Hahaha sabar lah ibu, akan kami usahakan” jawab Minato. Kami pun berangsur pulang meninggalkan Hokkaido. Dan aku mulai berbicara dengan Mnato.

“Jadi kapan kita akan mengabulkan permintaan ibu dan ayah” tanya ku tersipu.

“Jika kau sudah siap, ayo kita rencanakan” jawab Minato dengan gagahnya.

        Sesampai kami di Kyoto, kami langsung beristirahat karna kami akan masuk bekerja lagi besok. Minato tampak kelelahan setelah perjalanan panjang itu. Sudah tujuh bulan kiranya umur pernikahan kami. Dalam tidurnya aku selalu menatap wajahnya itu. Aku selalu berdoa untuknya. Tuhan jangan pisahkan kami. Sesekali pikiran nakal ku juga memikirkan jika kami nanti mempunyai anak, aku ingin anak kami nanti mirip dirinya. Hari-hari kami selanjutnya kami jalani seperti biasa. Pergi bekerja, pulang bersama, bersantai di balkon, jalan-jalan, dan juga berselancar di pantai.

         Tapi ntah lah, perasaan aneh apa yang aku rasakan hari itu. Itu hari liburan kami. Seperti biasa, saat Minato mengajak ku untuk berselancar, ia mendapati ku sedang sakit. Tubuh ku tidak karuan rasanya. Seakan-akan tubuh ini tidak mempunyai tulang penyangga. Lemas sekali. Minato yang mengetahui aku terserang demam langsung khawatir. Ia membujuk ku untuk berobat ke rumah sakit di pusat kota, tapi aku menolaknya. Aku memilih untuk beristirahat saja. Layaknya seorang dokter, Minato memperlakukan ku dengan sangat baik. Ia membuatkan ku bubur dan sup rumput laut. Ia juga memberikan obat penurun panas saat itu. Setelah itu ia membiarkan ku beristirahat sejenak. Sambil memeluk ku ia selalu mengusap kepala ku dan mengecup kening ku. Ia bilang itu obat yang manjur untuk ku. Tak akan lama lagi aku akan sembuh ucapnya. Aku larut dalam pelukannya itu. Terasa nyaman sekali.

     Cukup lama aku tertidur, saat terbangun aku tak mendapati Minato di rumah. Ia hanya meninggalkan sepucuk surat yang bertuliskan “Aku akan berselancar ke pantai, cuaca hari ini sangat cerah. Kau istirahat saja. Cepat sembuh istri ku.” Dengan gambar lumba-lumba di bawah tulisannya. Tapi perasaan apa yang aku rasakan, ini aneh sekali. Langit tidak secerah yang ia sebutkan. Langit yang mendung dengan angin yang kencang dan ombak yang tak bersahabat. Aku sangat takut sekali waktu itu. Pikiran ku bergejolak. Hanya hal-hal yang buruk yang ada di pikiran ku. Sekuat tenaga aku mengayuh sepeda ke tempat kami biasa biasa berselancar. Ketakutan ku mulai nyata. Kudapati disana mobil polisi dan ambulance. Ku lihat papan selancar Minato sudah hancur tersapu ombak. Perasaan ku mulai hancur saat ku dapati Minato terbujur kaku di dalam mobil ambulance itu. Aku mulai tak sadarkan diri saat megetahui minato sudah meninggal.

         Ombak merenggutnya hari itu, penyesalan demi penyesalan selalu menghantui ku. Kenapa aku harus sakit hari itu? kenapa aku tidak mendengarkan Minato untuk mau di bawa berobat saat itu? kenapa aku tidak menahan Minato untuk tidak berselancar hari itu? kenapa aku tertidur di hari itu? Silih berganti penyesalan itu menghantui ku. Aku kerap berulang kali tak sadarkan diri saat upacara pemakaman Minato. Mata ku sudah bengkak sekali. Air mata tidak mau berhenti keluar saat itu. Selesai upacara pemakaman Minato, aku pun pulang. Banyak sekali kenangan di rumah itu. Lagi-lagi air mata itu keluar lagi. Aku menangis sejadi-jadinya di rumah itu. Hingga sampai aku tertidur karna telalu lelah. Satu minggu aku meratapi kepergian Minato. Aku merasa ia tak pernah pergi dari ku.

         Keanehan itu mulai terjadi, saat itu hari minggu. Saat aku mulai berdamai dengan kepergian Minato, akhirnya aku beranikan diri untuk bangkit kembali. Rumah itu berantakan sekali. Tak pernah ku kemasi semenjak kepergian Minato. Aku mulai kembali membenahi rumah itu, ku buka jendela besar balkon kami, ku biarkan angin dan udara pantai itu masuk. Setelah selesai, aku pun beristirahat sejenak. Ku ambil segelas air putih lalu ku letakkan di meja ruang bersantai kami. Sebelum meminum air itu, lama ku tatap langit dan pantai dari arah balkon kami.

 “Apa yang sedang kau pikirkan Hinako?”

         Aku terkaget, ku palingkan wajah ku dari balkon dan mata ku mulai mencari dimana sumber suara itu. Tapi tak kudapati sumber suara itu.

 “Hinako, istri ku”

         Lagi-lagi aku terkaget, ku palingkan lagi wajah ku berusaha mencari sumber suara itu. Aku pun bertanya pada diri ku sendiri apakah aku sedang berhayal? Tapi suara itu jelas sekali terdengar dan nyata sekali. Aku mulai memukul-mukul kepala ku dengan tangan, seolah-olah ingin menyadarkan pikiran ini.

 “Berhenti lakukan itu Hinako”

 “Aku disini”

 Suara itu nyata sekali.

 “Aku di bawah sini, liat kedalam gelas mu sayang”

         Betapa terkejutnya aku, aku melihat Minato di dalam gelas itu, apakah ini hanya hayalan karna aku belum bisa kehilangan Minato? Ku beranikan diri kembali melhat ke dalam gelas itu. Itu benar-benar nyata. Minato seperti hidup kembali di dalam air itu. Aku pun menangis.

 “Jangan menangis, aku sudah kembali” ucapnya.

 “Maafkan aku karna lama sekali meninggalkan mu”

 “Benarkah itu Minato” tanya ku sambil menghapus air mata.

 “Tentu saja, aku ini suami mu. Apa kau sudah lupa Hinako” jawabnya sambil cemberut.”

 “Aku tidak sedang berhayal kan” tanya ku.

 “Tentu saja tidak, aku ini nyata. Hanya saja aku tidak bisa keluar dari air” jawabnya.

         Air mata ku menetes kembali, kali ini air mata bahagia. Ku angkat gelas itu ke wajah ku, lalu ku lekatkan gelas itu ke pipi ku, aku sangat bersyukur karna masih bisa menjumpai Minato. Begitu juga dengan Minato, ia seakan-akan sedang memeluk ku saja. Aku sangat gembira saat itu. Ku pindahkan air itu ke dalam toples yang lebih besar. Dan Minato juga ikut berpindah. Ia sudah menyatu dengan air. Setelah hari itu aku mulai berbicara dengan air. Anehnya hanya aku saja yang bisa melihat Minato di dalam air. Aku tidak peduli orang-orang menganggap ku gila atau apa, tapi ini sungguh nyata. Aku tidak sedang berhayal. Ku masukkan ke dalam botol dan ku bawa berjalan-jalan kesana kemari. Apakah kalian masih ingat hadiah ulang tahun Minato, aku mencoba memindahkannya kedalam balon besar lumba-lumba itu. Ajaib sekali, Minato berubah menjadi seukuran manusia biasa, mungkin memang karna ukuran balon itu cukup besar. Ku ajak ia berdansa, menari, lalu ku peluk ia. Itu nyata sekali.

        Dua bulan lamanya Minato menjelma menjadi air. Sampai akhirnya minato bercerita pada ku bahwa ia menjelma menjadi air karna aku belum bisa mengiklaskan kepergiannya. Aku termenung dan yang ada di pikiran ku hanya rasa bersalah. Bahkan saat Minato sudah tiada pun, aku masih saja menyusahkannya. Aku Hinako menghambat jalan kekasih ku ke surga. Begitu lah mitosnya jika kita belum bisa mengiklaskan kepergian seseorang. Setelah itu aku putuskan untuk mengiklaskan kepergiannya. Lambat laun Minato pun akhirnya menghilang, ia tak menjelma lagi menjadi air. Itu artinya Hinako sudah mengiklaskan Minato.

Tamat


Komentar

Postingan Populer