Menanti Pilihan-Nya

 Menanti Pilihan-Nya

Oleh: Yola Fauzaliah



“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi melainkan telah tertulis di Lauhul Mahfuz sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah

Q.S Al-Hadid:22”


    Ketika sendiri menjadi lebih taat, berbanding terbalik dengan berdua mengundang hasrat. Tak ada rasa yang baik pada asa yang tak pantas hadir, sebagai penghuni hati untuk seseorang yang belum pasti. Untuk apa bicara cinta jika menoreh luka. Hati itu bersih, maka janganlah nodai pada rasa cinta yang semu. Cukuplah cinta itu tersimpan, jika telah terucap janji suci yang diridhio sang ilahi. Teruntuk hati yang sudah siap menikah, maka bersabarlah dengan sabar yang baik.

    Menikah, kata itu begitu familiar dimasa kini. Bahkan, tak sedikit dari kaula muda yang berencana untuk menikah muda. Terkadang, banyak orang beranggapan jika umur sudah memasuki usia 25 tahun. Maka, sudah sepantasnya ia membangun bahtera rumah tangga. Namun, tak semua orang beranggapan menikah itu adalah perihal mudah. Banyak hal-hal yang harus dipersiapkan, baik ilmu, mental, dan kesanggupannya. Ya, itulah yang selalu menghantuiku. Rentetan pertanyaan tak henti-hentinya perihal umurku yang genap 27 tahun bulan ini. Aku tak terlalu mengambil pusing. Hanya saja, terasa malas menjawab pertanyaan, yang Aku sendiri tidak mampu menjawabnya. Memangnya siapa yang bisa menjamin. Kapan seseorang bertemu jodohnya? Kapan seseorang akan tiada dibumi Allah yang Maha luas ini? Seakan mereka lupa, hal tersebut cukuplah menjadi rahasia Allah yang sudah tertulis, jauh dari lima puluh ribu tahun lalu.

    Bagiku, menikah bukanlah suatu perkara mudah. Bukan pula persoalan cinta seperti kata pepatah ‘Ketika Aku dan Kamu Menjadi Kita’. Menikah juga bukan tolak ukur tanda seseorang itu sudah laku. Jika pun dikaji secara keseluruhan, mungkin tak cukup waktu sehari dalam membahasnya. Karena, begitu banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum menuju jenjang pernikahan. Sesekali, Aku bertanya pada diriku sendiri.

“Apakah Aku benar sudah siap?” “Sudah sejauh mana bekalku?” “Bagaimana dengan tanggung jawabku? “Atau Aku hanya sekedar ingin saja?”

    Untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu, Aku pun mulai membekali diri. Mulai dari datang ke majelis ilmu, mengikuti kajian pra nikah. Serta bertanya kepada orang yang berpengalaman akan hal itu. Namun, satu tujuanku jika nanti Allah hadirkan ia sebagai penyempurna iman, ialah untuk ibadah kepada sang pemilik cinta. Dialah Rabbku.

    Beberapa tahun yang lalu, Aku pernah terjerumus dengan kata jatuh cinta pada pandangan pertama. Hubungan yang cukup lama menurutku, sekitar 4 tahun kami jalani hubungan yang jelas-jelas Allah larang, dalam Al-Quran surah Al-Isra ayat 32: ‘Dan janganlah kamu mendekati zina’. Aku paham akan hal itu, tapi mata seolah tak melihat dan telinga seakan tuli. Aku pun terus melanjutkan hubungan, sampai lelaki yang menjadi pilihanku. Datang melamarku, tanggal pernikahan pun sudah ditetapkan. Namun, bagai petir disiang bolong. Lelaki yang menjadi impianku. Memutuskan sebelah pihak pernikahan itu, tak kuasa Aku menahan sesak dan sakit yang berkecamuk. Bagaimana tidak, undangan yang sudah dicetak masih tersusun rapi tinggi menggunung. Belum lagi, seluruh sanak dan kerabat serta tetangga sudah tahu tentang berita pernikahanku.

    Sejak peristiwa itu, Aku merasa tertampar. Mungkin ini adalah ulah perbuatanku. Jatuh cinta sebelum halal. Dari situ pun Aku belajar banyak hal, tentang proses pendewasaan diri. Belajar lebih sabar terhadap takdir yang Allah pilihkan. Bukan yang Aku pilih. Tak hanya itu, Aku pun memutuskan untuk hijrah dijalan Allah. Memperbaiki diri serta akhlakku. Tiga bulan Aku berusaha bangkit sendiri, menghapus bayang dan kisahnya dalam memori. Tapi, entah angin apa yang membawa berita ini sampai ketelingaku. Tentang kabar pernikahan lelaki yang telah membuat keluargaku menanggung malu. Sejenak Aku berpikir ‘Tuhan tidak adil kepadaku? Kenapa dia yang lebih dulu dipertemukan?’.

    Kukembalikan kesadaranku, atas ucapan yang baru saja terucap. ‘Astagfirullah, ya Allah maafkan Aku yang tak luput dari kesalahan.

    Sepanjang tahun ini, banyak sekali undangan pernikahan yang harus Aku hadiri. Mulai dari tetangga, sahabat, bahkan tak terkecuali teman lama yang menghilang. Sekalinya datang, berjumpa bawa undangan.

“Nis, jangan sibuk dengan karir melulu. Nah, ini ada undangan lagi. Tetangga sebelah rumah mengundang mu diacara walimahannya.” Kata Ibu, sembari menyodorkan kertas persegi itu.

“Terima kasih, Bu.” Ujarku yang terus fokus pada layar laptop didepanku. “Terus, kamu nya kapan? Masa di undang terus. Kapan mengundang?” 

“Nanti, Bu. Kalau sudah saatnya.”

    Tak kuhiraukan Ibu yang terus berceloteh, masalah yang tiada pertanyaan lain yang harus ditanyakan. Bukan Aku tak menghargai Ibu yang terus berkomat-kamit. Hanya saja, pekerjaanku dikantor membuat kepala ku sedikit pusing. Kulirik jam dinding yang berdetak terasa waktu cepat berlalu. Hampir 3 jam Aku menghabiskan waktu didepan layar. Kupercepat jari-jemariku bergerak melahirkan huruf-huruf dilayar laptop. Tiba-tiba otakku kehabisan stok kata-kata. Aku terdiam, dan berpikir keras.

“Ah, Sudahlah! Lebih baik Aku istirahat dulu.”

    Kutarik nafas panjang, lalu kuambil segelas air untuk melegakan tenggorokan yang sudah mengering.

Drrrrt...Drrrt

Tiba-tiba benda pipih persegi itu bergetar. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, sudah lama tak mendengar suaramu. Kemana saja, Nis?” tanya Mira.

“Sedari dulu disini saja? Kamu tuh, yang hilang nggak berkabar.” Ujarku pada Mira sahabatku.

“Oh, iya, Nis. Ada salam dari Mas Fauzan, dia nanyain kamu terus. Sampai-sampai Aku capek diteror mulu. Mas Fauzan ganteng loh, Nis. Udah gitu idamannya para kaum hawa. Kamu mau nggak?” tanya Mira padaku.

“Hmmm... Maaf, Mir Aku kapok pacaran. Kayaknya nggak dulu deh, Aku lagi fokus memperbaiki diri.”

“Iya udah, nggak apa-apa. Kamu pasti dapat yang lebih baik, Nis. Kamu kan baik, Insya Allah jodohnya juga orang baik.”

“Terima kasih, Mir.”

“Eee.. Tapi, jangan lama-lama. Anakku udah dua loh! Jangan sampai, Aku punya cucu dulu baru sahabatku yang paling cantik ini baru mau nikah.”

    Percakapan kami terus berlanjut, detik di layar hampir satu jam lebih. Namun, panggilan terpaksa diputus. Baby mungilnya Mira menangis.

    Kuakhiri segala aktivitas hari ini, memilih rebahan diatas kasur yang empuk, sejenak merenggangkan otot-otot yang kaku. Pandanganku tertuju pada langit-langit kamar. Samar- samar barisan pertanyaan tentang kapan Aku menikah, seperti berputar memenuhi sudut ruangan. Sejujurnya, memanglah Aku ingin menikah untuk bisa menyempurnakan separuh agamaku. Menjalankan sunnah rasullulah, menundukkan pandangan serta beribadah bersama pasanganku. Namun, apalah daya. Jika waktu belum berpihak pada takdirku. Sembari memperbaiki diri, tak lupa kupinta kepadaNya untuk menjaga hati pada yang seharusnya. Senantiasa Aku hadir disepertiga malam untuk berjumpa dengan semesta. Dengan lirih Aku meminta ‘Ya Allah, sekiranya dengan hadirnya hamba yang Engkau pilihkan dapat mendekatkan Aku dengan diriMu maka kabulkanlah. Sekiranya pertemuanku dengannya membuat ibadahku lebih bertambah dan solatku lebih khusyuk maka permudahlah, dan jika dengan hadirnya membuat Engkau lebih memandangku maka pertemukanlah’. Rencana sang semesta pasti jauh lebih indah dari yang Aku harapkan. Meskipun hati telah ingin terpaut dengannya. Namun, hanya doalah yang mampu untuk menyapa.

    Beberapa hari kemudian, Aku dikenalkan dengan seseorang oleh Ustadzah Salmi. Pertemuan itu, tepatnya di Mesjid Al-Hakim tak jauh dari rumahku. Disana, ada Aku, Ustadzah Salmi, Ustad Ridwan serta Mas Hadi. Pembicara dibuka oleh Ustad Ridwan yang menjadi penengah diantara Aku dan Mas Hadi dalam proses ta’aruf . Aku hanya bisa berikhtiar, karena keputusan terbaik tetaplah Allah yang berkendak. Aku pun percaya, bahwa setiap yang terjadi ada hikmahnya. Layaknya ikhtiar yang selama ini Aku lakukan, dibaliknya ada pahala sabar, kenikmatan dalam mencarinya, serta indahnya ta’aruf yang sedang Aku jalani dengan Mas Hadi.

    Sepekan setelah awal ta’aruf, Mas Hadi meminta izin untuk berjumpa dengan keluargaku. Bukan datang untuk berbasa-basi ataupun sekedar silaturahmi. Tapi, Mas Hadi datang untuk mengkhitbahku. Saat itu Aku sedikit terkejut, apa tidak terlalu cepat pikirku. Namun, untuk apa berlama-lama. Bukankah hal baik harus disegerakan. Sedangkan, hatiku juga ridho memilih Mas Hadi. Kuterima pinangan Mas Hadi karena iman yang melekat pada jiwanya.

    Dua minggu lagi, acara walimahanku akan dilaksanakan. Sampailah hari bahagia itu menemui jalannya. Tak henti pula Aku berucap syukur pada yang Kuasa. Betapa indah skenarioNya. Jodoh itu tak akan pernah tertukar, begitupun dengan waktu yang tak pernah menghianati takdir. Sekuat apapun kita mengikatnya, jika bukan hak kita maka akan lepas jua. Sejauh apapun ia pergi maka ia akan kembali. Ada yang di pertemukan lebih cepat, dan ada pula yang menunggu untuk belajar sabar. Namun, percayalah. Allah lebih tau mana yang kita butuhkan. Teruslah memperbaiki diri, agar kelak ketika Allah mempertemukan dengan orang yang tepat. Saat itu pula, hati sudah siap. Jiwa telah ikhlas, dan ilmu telah cukup.

    Teruntuk hati yang saat ini masih setia menanti tentang sesuatu yang pasti. Percayalah, kamu orang yang hebat. Teruslah palingkan wajah ke langit, memohon pada semesta. Berdoalah kepada Allah agar diberikan yang terbaik menurutNya.



--------------------------------------------Bionarasi Penulis-------------------------------------------


Yola Fauzaliah lahir di Sumatera Barat, Padang dan menghabiskan masa kecil hingga masa sekarang di Kota asalnya. Penah bersekolah di Tk, Sd, Smp, Sma di kota Padang. Hingga sekarang sedang menempuh pendidikan lebih tinggi di salah satu Universitas yaitu UPGRISBA ( Universitas PGRI Sumatera Barat) pada bidang studi Pendidikan Bahasa & Sastra Insonesia. 

Selamat di perkuliahan, beliau sering membaca buku yang berkaitan dengan sasta, yaitu ada cerpen, novel dan beberapa puisi. Setelah membaca beberapa buku itu, beliau memulia niat untuk memcoba menulis sebuah cerpen. Di tahun 2022 ini lah beliau mencoba menulis cerpen. Ia juga pernah menulis pantun, namun pentun tersebut belum bisa di publishnya, karena beliau beranggapan kalo pantun itu belum memberikan makna yang mendalam untuk pembaca. 

Untuk akun sosmed yang bisa dihubungi, dm instargam @yolafauzaliah, akun pinters @yolafauzaliah/ k_ ulaa, https://pin.it/4AlvtQr.


Komentar

Postingan Populer